Menghentikan Nyanyian Angsa

Menghentikan Nyanyian Angsa

Menghentikan Nyanyian Angsa

Oleh: Devin Elysia Dhywinanda

 

Sebuah penafsiran dari mahakarya W.S. Rendra: Nyanyian Angsa.

 

Kamu adalah tokoh di luar cerita. Kamu adalah tokoh yang tidak diceritakan, yang mengintai dari kejauhan, bahkan barangkali kerap dilupakan, diluputkan, dari karakter utama. Kamu adalah sosok yang peduli tetapi tidak dipedulikan. Kamu adalah rerumputan, angin, dan cahaya, yang nyata ada tetapi tidak difokuskan dalam cerita. Kamu adalah bunga-bunga yang merindukan mentari tetapi tertutupi oleh persepsi bulan sebagai belahan matahari.

Kamu adalah sosok yang menjadi saksi ketika wanita menjadi yatim piatu—tatkala kesia-siaan, kesialan, keputusasaan datang, dan ia merupa apa yang disebut orang-orang dengan dosa. Kamu adalah sosok yang mengantar ayahnya ke alam entah, tepat saat ia berada dalam kandungan. Kamu adalah sang penoreh luka tepat setelah ia dan ibunya mandi di kali. Kamu adalah yang dititah, diperintah; yang termaktub dalam kitab-kitab, sekaligus yang merasa bersalah akan garis hidupnya di masa mendatang.

Kamu, barangkali, juga merupakan notulen hidupnya, yang dahulu cukup normal—wanita itu belajar dengan baik, berpacaran sesuai batas, beribadah dengan taat, bahkan punya impian mulia—sebelum ia diharuskan merangkak ke dunia nyata. Kamu adalah saksi ketika kekhawatiran sesamamu dahulu menjadi nyata: dunia menua; dunia menjadi keras dengan caranya sendiri. Dunia adalah rimba, sedangkan wanita itu serupa makhluk tidak berdaya yang jadi alas kekuatan, kemiskinan, yang menyingkirkannya ke pojok-pojok kota, gang-gang berbau bacin, di bawah talang air berkarat, sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, ia mesti menanggalkan semua—harga diri, kewanitaan, kehidupan—untuk bertahan.

Kamu adalah saksi nyata lehernya yang digorok sehingga ia lamat-lamat menggelinjang, menari, bernyanyi … sekarat. Menyedihkan.

*

Kamu adalah sosok yang bertandang ke hadapan Dia, sekali waktu, dan meminta izin untuk menghentikan nyanyian angsa.

Kamu adalah sosok yang termangu ketika Dia menjawab dengan Kerahasiaan Paling Kudus: Aku tahu apa yang kamu tidak tahu.

*

Ia adalah angsa yang sekarat sejak kemiskinan menggorok dan dunia menyetubuhinya berulang kali. Ia adalah si Malang yang melacurkan diri—atau barangkali dilacurkan—demi mempertahankan hidup yang sebetulnya tidak layak dipertahankan. Ia adalah si Buruk Rupa yang mau tidak mau mengangkang ketimbang menggantungkan diri di langit-langit kamar lembab pun menjijikkan. Ia adalah wanita yang, barangkali, tidak lagi melafal ayat-ayat Tuhan lantaran malu, tidak punya muka, usai melayani “dunia”.

Ia, baginya, adalah dosa tidak termaafkan. Baginya, ia—yang digerogoti penyakit jantung dan raja singa; ditendang keluar karena tidak lagi ayu, atau laku, dan punya utang bertumpuk—adalah kegagalan.

Sedangkan, kamu adalah notulen yang, barangkali, tahu bahwa itu tidaklah benar. Kamu, mungkin, adalah si Tidak Tega yang merasa wanita itu sudah cukup menari dan menyanyi—bahwa ia tidak perlu lagi hidup, sebab hidup telah menyia-nyiakannya, melacurkannya sedemikian rupa.

Kamu adalah pemotong waktu yang ingin mencabut nyawanya segera. Saat itu juga. Biar tidak ada lagi luka. Biar ia tertawa, entah di surga atau neraka.

*

Kamu adalah sosok yang berandai pada satu waktu—memutari dunia untuk mencabut sekian nyawa—dan membayangkan tentang angsa-angsa: halus bulu mereka; keanggunan mereka tatkala menyeberangi kolam; kekeraskepalaan mereka untuk mati. Kamu adalah segelintir perenung angsa-angsa sekarat yang menduduki sudut-sudut dunia ini: angsa-angsa yang telah digorok, dibuat buruk rupa, disebut sebagai dosa atas segala alur, kompleksitas, yang tertulis dalam Lauh Mahfuz. Kamu adalah salah satu, yang barangkali, ketika terlibat pembicaraan khayali dengan sesamamu, berkata tanpa sadar: aku ingin menghentikan nyanyian angsa.

Dan, setelah borok dunia ini bersarang pada selangkangan wanita itu yang telah kaku pun tidak lagi laku, kamu sekali lagi menghadap Dia, dan mendengar jawaban serupa: Aku tahu apa yang kamu tidak tahu.

*

Tiba-tiba saja, kamu jadi penghitung waktu. Kamu berharap dapat mempercepat detik jam, atau barangkali meminta lebih banyak daftar nama untuk dibawa pergi, agar ketika kembali, kamu hanya perlu melihat tarian serta nyanyian terakhirnya. Supaya kamu tidak perlu melihatnya merangkak ke rumah Dia: memohon sebuah pengampunan dosa, atau minimal seseorang untuk mendengarkan pengakuan dosanya—seseorang yang dapat “menemaninya” menyeberang—dan justru berujung penolakan. Hinaan.

Kata pelayan Tuhan itu: kamu telah tergoda setan! Kamu telah terbujuk setan! Kamu tak perlu saya—kamu perlu dokter jiwa!

Wanita itu mengiyakan: saya tidak tergoda, tetapi melulu berdosa. Saya terdesak kemiskinan. Dan, gagal mencari kerja. Tapi, saya tak butuh tahu asal usul dosa saya. Hidup saya sudah gagal. Dan, saya mau mati. Tapi, saya takut sekali mati.

Lantas, yang kamu lihat adalah pembuangan, kesia-siaan, kesialan. Kamu bergetar akan suatu ketidakterimaan. Kamu terdiam amat lama ketika wanita itu merangkak, berjalan seumpama sapi, meninggalkan rumah Tuhan; menyusuri kerumunan amoral; mengais kotoran dan borok dunia; menghamparkan diri di tepi kali. Pasrah. Ia barangkali tidak lagi peduli akan dilecehkan seperti apa, akan dibawa ke mana, akan jadi apa. Ia barangkali telah kehabisan daya untuk berjuang, atau mencari kawan, atau mengais pengampunan, dan tidak lagi peduli akan alam entah; nasib entah; balasan entah.

*

Kamu adalah bagian dirimu yang kembali menghadap. Meratap. Retak. Berontak.

Kamu adalah “kamu” yang berkata, meminta, untuk mencabut, mengambil, menghentikan, satu nyanyian angsa.

Kamu adalah “kamu” yang mendengar Dia menjawab dengan Kebijaksanaan Paling Kudus: kamu akan tahu sedikit yang Aku tahu.

*

Kamu adalah sosok yang menunggu lama—amat lama—dan mau tidak mau mengunyah waktu yang sekarat untuk menghentikan nyanyian menahun wanita itu. Kamu adalah rerumputan, angin, cahaya, yang mengingatkannya pada masa lalu: ketika wanita itu dan ibunya mandi di kali, atau ketika ia bersama pacarnya memanjat pohon di sebuah sabana bermandikan cahaya matahari. Kamu adalah bunga-bunga yang jadi alasnya bernostalgia, entah mengingat yang baik-baik, merutuki yang buruk-buruk, atau malah menangisi ia yang sedemikian berdosa.

Kamu adalah mendung yang urung menurunkan hujan, yang, bersama alam, menunggu jam pasir habis dan waktu wanita itu terhenti.

Kamu adalah “kamu” … yang akhirnya menghentikan nyanyian angsa.

Kamu adalah peluruh batas dimensi; pengantar wanita itu menuju pemberhentian selanjutnya.

Namun, tugasmu purna lebih cepat, ternyata, dan pinggiran kali merupa sudut Surga, Nirwana, Taman Eden, Jannah, dan sebutan lainnya, dan kamu lihat seorang pria berambut ikal datang—bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya: di lambung kiri; dua tapak tangan; dua tapak kaki—dan suara Dia bergema, amat bijaksana, sedang Lauh Mahfuz berpendar, amat kudus. Kamu lihat kegandrungan wanita itu pada penerimaan, dan tepi kali meluap, menyapu tubuh keduanya, membawa ranum buah-buahan serta manis lautan susu, sedang nyanyian-nyanyian angsa berubah jadi suka cita agung. Balasan agung.

Dan, kamu terdiam. Merunut debu waktu sampai kisut.

*

Kamu adalah Yang Setia di Antara Mereka Yang Setia. Kamu adalah cahaya kudus yang mengitari Surga, Nirwana, Taman Eden, Jannah, dan sebutan lainnya. Kamu adalah mereka yang tetap bersujud pada manusia pertama kendati tanya terus berkecamuk: kenapa Dia menciptakan manusia jika hanya merusak, memperkosa, menyia-nyiakan bumi sekaligus kehidupan yang Dia berikan? Kamu adalah mereka yang, barangkali, saat pengusiran bersejarah itu terjadi—dan membikin prolog atas kisah terlalu panjang pun nyaris tanpa batas di kitab-kitab—masih juga bertanya-tanya, tidak mengerti. Kamu adalah ia yang tidak setuju wanita itu dibiarkan sedemikian tersiksa, diludahi oleh dunia, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menunggu kapan Dia memberikan titah atasnya.

Kamu adalah ia, mereka, yang menunggu angsa-angsa yang digorok untuk berlari, menari, merangkak, bernyanyi, kemudian mengambilnya ketika mereka tidak lagi berdaya. Kamu adalah mereka yang kadang kala meragu dan yakin pada satu waktu. Kamu adalah ia yang termangu memandang Lauh Mahfuz, bertanya skenario seperti apa, keadilan seperti apa, kompleksitas seperti apa, yang telah Dia tuliskan pada awal penciptaan dahulu.

Kamu adalah ia yang beranjak, hendak mengitari bumi dalam tujuh puluh kali putaran, ketika wanita itu tengah menyesap ranum buah serta manis lautan susu. Lantas, ketika Lauh Mahfuz berpendar, begitu kudus, kita berkaca satu sama lain: kamu adalah … aku? (*)

 

Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply