Yang Menghantui
Oleh : Ning Kurniati
Ada banyak hal yang merasuki benakku akhir-akhir ini. Membuat banyak berpikir dan karena pikiran-pikiran itu aku menjadi sulit berkonsentrasi pada satu hal. Beberapa kali Professor memukul pundakku karena mendapati bawahannya berdiam diri dengan pikiran yang mungkin terlihat melanglang ke mana-mana. Ia memberikan saran untuk berjalan-jalan ke suatu tempat di akhir pekan, tetapi seperti yang diketahui orang-orang, aku amat malas untuk melakukan hal-hal yang seperti itu. Memang ada saatnya, berjalan keluar memberikan efek yang baik untuk psikologis manusia, tetapi bukan itu yang aku butuhkan saat ini.
Biasanya aku meninggalkan rumah pada jam 7.20 menuju kampus tempatku diterima sebagai laboran. Kemudian, sebelum memasuki fakultas dengan dominasi warna cerah: kuning dan coklat muda—tempat di mana lab yang menjadi tanggung jawabku berada—aku mengarahkan motor ke samping kampus untuk membeli kue-kuean. Sudah kusediakan bekal air minum dan wadah plastik untuk menampung makanan tersebut. Selanjutnya tujuan akhir, lalu kembali berkutat dengan laporan dan penelitian-penelitian.
Sama halnya dengan dosen dan mahasiswa, pakaianku tidak ada bedanya dengan mereka. Bebas menggunakan warna dan model apa pun, terpenting menutup dan tidak ketat untuk menjadi alasan orang-orang sibuk berbicara di belakang. Sudah umum diketahui, apa yang tampak berbeda akan segera menjadi topik hangat misal: celana yang terlalu ketat. Sering kali hal itu menjadi perbincangan di antara kami sesama pegawai. Bila mahasiswa sering menjadikan dosen dan para bawahannya di lab sebagai bahan olokan di sela kesibukan, maka kami pun begitu, kebalikannya. Kemudian, hal itu akan berakhir bila salah satu dari kelompok penggosip ini mengatakan “Lagi, barusan kita melakukan transfer pahala ke mereka”.
Sama sekali yang mengganggu pikiranku, tidak ada hubungannya dengan aktivitas pekerjaan sebagai laboran. Hanya saja, pikiran terkait itu menjadi penghibur dan pengecoh dari pikiran-pikiran yang tak kuinginkan. Bila yang tak kuinginkan itu mengecoh pikiran penting ketika aku sedang berhadapan dengan cawan petri dan mikroba, maka ia kukecohkan dengan pikiran aktivitas harian. Benar-benar merepotkan memang, harusnya pikiran itu dapat dikontrol oleh individu pemiliknya, tapi agaknya hal semacam itu tidak terjadi pada semua orang, aku termasuk. Lain orang lain cerita, sehingga tak ada satu teori yang benar-benar cocok untuk diterapkan ke satu hal yang sama. Meski terlihat sama, pastilah ada perbedaan sekecil apa pun, lantaran tidak ada yang benar-benar sama di dunia ini. Kembar identik sekali pun, pastilah memiliki perbedaan, hanya saja tidak terlalu mencolok.
***
Aku lahir dan di dibesarkan di sebuah desa yang cukup terpencil, di selatan pulau Sulawesi. Kata Ibu, aku duduk di kelas tiga ketika ia pertama kali menginjakkan kaki sekaligus untuk kali terakhir. Informasi tentangku Ibu dapat dari tetangga yang sekarang sudah tidak sekompleks lagi dengan kami. Tak banyak yang aku dapat ketahui, selain karena waktu yang tidak memungkinkan untuk bertanya pada Ibu saat sakratul maut, juga karena ia sama sekali tak ada gelagat bahwa aku bukanlah anak kandungnya semasa hidup. Terlebih Ayah, meski aku bukan satu-satunya anak, perlakuannya tetap seolah semua anak yang dimiliki sebagai emas berharga.
Ditilik dari kehidupan kami ke belakang, bisa dikatakan semuanya baik-baik saja. Kecuali satu hal, terkait asal-usulku yang sering kali akhir-akhir ini begitu mengganggu. Silih berganti memenuhi pikiranku dengan pikiran-pikiran yang selanjutnya akan kusebutkan.
Potongan-potongan masa kecil. Dua orang anak perempuan, satu anak laki-laki bermain-main di sebuah pekarangan yang dilihat dari ukurannya mirip lapangan di sekolah-sekolah dasar saat ini, cukup luas untuk menampung satu sekolah ketika upacara. Celana anak laki-laki itu hanya sampai di pertengahan paha, sedangkan anak perempuan menggunakan baju terusan di bawah lutut dengan motif bunga-bunga yang sama. Yang membedakan baju keduanya adalah anak dengan rambut ekor kuda berlengan panjang, sedangkan yang satunya dengan rambut yang dikepang, mengunakan baju berlengan pendek.
Tidak bisa kusimpulkan anak perempuan itu adalah dua anak yang kembar, meski menggunakan baju yang sama. Entah kenapa, meski tak disebutkan, aku merasa anak laki-laki itulah yang bersaudara dengan salah satu dari mereka—yaitu dengan yang menggunakan baju berlengan panjang. Selain itu, tak ada lagi yang jelas, pikiran-pikiran yang lain, tak ada yang utuh, sebagiannya salah satu dari mereka menangis sendiri, termenung di bawah pohon, di marahi oleh orang dewasa yang tak pernah jelas rupanya, dipisahkan oleh entah apa hanya gambaran mereka saling menjemba untuk saling menarik dan bertahan, tak ada yang bisa dijadikan semacam petunjuk. Aku bahkan merasa keliru bila menyebut pikiran-pikiran itu adalah ingatan masa kecil, kekhawatiran yang lain, itu hanyalah potongan mimpi dari mimpi-mimpi dalam tidurku.
Dalam tidurku biasanya aku bermimpi tentang hal-hal yang akan terjadi di masa yang datang. Kadang tentang diriku sendiri kadang juga tentang orang yang ada di sekelilingku. Begitulah yang sering terjadi. Aku harusnya terbiasa dengan semua itu, tetapi tidak untuk belakangan ini, tidak untuk pikiran-pikiran itu. Pikiran-pikiran itu seolah nyata pernah terjadi. Lebih nyata dari pikiran-pikiran yang pernah menghantuiku.
***
Seperti kukatakan di awal, Ibu telah meninggal dan Ayah juga mengikut tak lama setelah kepergian istrinya. Meski ada cukup waktu untuk menggali informasi pada Ayah, tetapi ia tak pernah bersedia menjawab. Sering kali, tanpa kusadari Ayah membawa pembicaraan kami jauh dari masa lalu anaknya, seperti dengan pertanyaan: bagaimana dengan perempuan tempo hari itu? Tak ada petunjuk dan semakin lama pikiran yang menghantui itu seolah mendesak untuk dibuktikan kebenarannya.
Maka aku pergi dari kampus, lebih tepatnya menghilang tanpa memberitahu siapa-siapa, termasuk Professorku yang akan kelimpungan. Ini salah, memang, tetapi aku harus menempuh jalan untuk mencari tahu dan menghentikan pikiran-pikiran yang menghantui itu. Semuanya harus diakhiri dan aku merasa jalan untuk mengakhiri itu ada. Hanya saja aku belum menemuinya dan untuk menemukannya, aku harus hengkang dari tempatku berada. Itulah perasaan yang kurasakan, semacam ada dorongan dalam benakku untuk bepergian.
Di rumah hanya ada aku dan Kakak. Kesibukan Kakak yang membuatnya berada di luar rumah selama berhari-hari untuk bulan ini dan bulan-bulan sebelumnya, membuatku tak perlu memberitahunya sebagai orang rumah. Toh, aku tidak yakin kami bisa disebut serumah atau tidak. Aku sangsi akan definisi rumah dan serumah itu bagi kami.
Dengan mencangklong ransel yang isinya beberapa pakaian yang seperlunya, aku meninggalkan rumah. Aku tipe orang yang jarang berkeringat, hanya bila melakukan pekerjaan yang berat barulah akan muncul butir-butir hasil ekskresi kulit itu sehingga adalah pilihan yang tepat dengan beberapa helai pakaian. Tujuanku juga pedesaan, aku pikir tak akan sepanas kota.
Menaiki mobil yang khusus menampung orang bepergian dengan jarak jauh, tanpa mesti berpindah-pindah dari mobil satu ke yang lain, aku merasa seolah menuju sebuah cahaya. Cahaya yang akan menyibak masa lalu yang ditutupi orangtuaku. Ada perasaan menggebu untuk tiba di sana secepatnya, meski aku tidak tahu seperti apa suasana desa yang akan kutuju. Sebagai masyarakat rural, keramahan itu harusnya masih melekat, jauh dari sifat egoisme dan individualisme. Namun, tidak bisa serta-merta dilakukan penggolongan seperti itu, determinasi boleh saja, tetapi tak ada teori yang benar-benar bisa diberlakukan pada satu hal. Waktu mengubah segalanya: makroorganisme, mikroorganisme, faktor internal, faktor eksternal. Percaya atau tidak, itu terjadi.
***
Matahari mulai memuncak ketika aku diturunkan pada alamat yang diberikan tetangga Ibu, setelah susah-payah menemui dan membujuknya. Sebuah desa yang bila diartikan dalam bahasa Indonesia adalah hutan. Namun, kondisinya tidaklah benar-benar seperti hutan. Malah sangat jauh dari interpretasi nama itu. Rumah-rumah yang ada tak jauh berbeda dengan rumah yang kami lewati sepanjang perjalanan. Masih didominasi dengan rumah semi-permanen dan pintu-pintu yang senjaga dibiarkan terbuka, tanpa ada ketakutan terjadi tindakan kriminal, seperti kasus pencurian.
Ibu itu—bekas tetangga Ibu, bisalah digolongkan seorang perempuan yang setia. Aku menyebutnya seperti itu, lantaran bila seorang perempuan sanggup menjaga amanah seseorang untuk tidak membocorkan informasi yang diketahuinya, maka ia serorang yang sanggup memegang penuh tanggung jawab—kesetian tak bisa diragukan ada padanya. Dan, karena alasan itulah, ia hanya memberikan petunjuk dengan nama desa tanpa alamat rumah yang jelas atau nama seseorang. Tetapi tak apa, aku sudah bersyukur kepada Tuhan untuk itu. Setidaknya hatinya bergerak dengan nama desa yang ia berikann. Bila di lab aku dihadapkan untuk mencari tahu sejauh mana kandungan suatu zat sebagai pemicu pertumbuhan atau justru menghambat, maka sekarang mencari tahu pemicu keberadaanku. Siapa aku?
Tak perlu memeras otak untuk berpikir ke mana harusnya kakiku melangkah. Aku mendatangi kantor desa yang, letaknya berada di salah satu dusun berkat informasi dari pak sopir. Memasuki gapura dengan tulisan tanggal kemerdekaan, aku semakin yakin, tujuanku semakin dekat. Perasaan yang menyiratkan begitu, aku tak bisa menekannya. Itu kentara dari semangat dan senyum yang baru kusadari setelah kutunjukkan, kepada orang yang memandangku sejak menampakkan diri, dengan tatapan penuh tanya. Namun, bersamaan dengan itu, ada sesuatu yang lain, seolah kedatanganku memang seharusnya dan sudah ditunggu. Tetapi, siapa juga yang menungguku? Ada-ada saja. Aku semakin tidak bisa membatasi pikiranku ke mana arahnya.
Mereka semua tersenyum ramah, mula-mula menanyakan dari mana asalku setelah memperkenalkan diri. Tak lama serbuan tanya mulai keluar hampir tak ada jeda antara pertanyaan satu dan selanjutnya, antara orang satu dan satunya lagi. Sehabis meladeni mereka, aku diarahkan menemui seorang bapak tua yang kelihatannya tak lebih rapuh dari pohon cemara yang sebentar lagi roboh akibat kekeringan. Aku tahu mereka tahu sesuatu, tetapi merasa diri, bukan orang yang tepat untuk menyampaikan. Sebelumnya, aku kira akan dipertemukan dengan kepala desa karena itu memang tujuan awalku dan sudah terutarakan, tetapi tidak. Bapak tua itu seseorang tukang kunci dan perawat tanaman, mereka tidak menyebutnya tukang kebun.
Bapak itu tersenyum seperti senyuman kepada orang yang sudah lama dikenalnya. Ada keramahan dan tatapan seolah rindu. Tidak, aku merasa dalam hal ini sudah melebih-lebihkannya, tetapi lagi-lagi aku mau bilang, aku merasa seperti itu. Perasaan tak bisa berbohong, hanya akal yang sering melakukannya dan pikiran memedia itu semua.
“Cari saya?”
“Saya tidak tahu, Pak.”
“Eeh—“
“Iya, saya tidak tahu bapak—orang yang harus saya temui.”
“Ya, kalau begitu bukan saya yang adek cari. Eh, adek sudah bisa saya panggil nak, ‘kan?”
Aku tidak tahu, malah cengengesan dengan tangan menggaruk kepala yang tidak gatal sama sekali, melihat bapak menggenggam sabit. Ia baru saja menyabit gulma di sekitar bunga soka di belakangnya. Kami bergeming selama beberapa lama, hingga akhirnya ia berucap, “Ya, sudah ke rumah saya saja, anak tidak punya tempat tujuan, ‘kan? Tadi pak dusun bilang.”
Memang benar aku tidak punya tempat tujuan. Jadi, aku mengangguk dan mengikut di belakangnya. Ia menyuruhku untuk duduk di tempat dua orang tadi, lalu masuk ke kantor dan kembali lagi setelah beberapa menit tanpa sabit di tangannya.
Rumah bapak tidak jauh dari kantor desa, kalau tak salah sekitar enam atau tujuh rumah. Sebuah rumah panggung dengan cat yang sudah tak berwarna lagi—nyaris hilang bekasnya. Kami disambut seorang perempuan tua seusia bapak, serapuh bapak. Dia ramah, sambutannya nyaris sama seperti didatangi saudara lama, seperti kenal sebelum hari ini.
“Eh, siapa nama anak, kita belum kenal, ya?”
“Saya Agus, Pak,” jawabku dengan mengulurkan tangan untuk berjabat
“Saya namanya Amin. Kalau istri, Farida,” ucapnya sambil menjabat tangan.”
Aku tersenyum, makin kikuk dibanding tadi ketika di kantor desa. Sama sekali tidak ada dalam anggapanku akan berakhir di sini. Segera saja setelah kembali diliputi keheningan, aku sadar dari tadi sudah degdegan. Perjalanan yang asing, tempat yang asing.
Pak Amin tampak asyik dengan pikirannya yang mengawang sambil meniup asap rokok ke udara. Di dalam benakku, tergambar paru-paru yang menghitam seperti yang sering aku pelototi dahulu dalam materi anatomi, di mulutnya kubayangkan jenis-jenis bakteri mulai dari Entamoeba, Treponema, Streptococcus, …. Aku tersentak, tiba-tiba istri pak Amin bersuara di sisiku menyuruh minum, kopi hitam buatannya dengan biskuit.
“Anak mau ke mana?” ucap ibu Farida.
Pertanyaan yang aku bingung menjawabnya. Aku punya tujuan, tetapi tidak tahu menyampaikannya dengan singkat dan benar untuk mudah dipahami. Jadi, aku hanya bergeming dan menatap sepasang suami-istri senja itu.
“Anak datang dari Makassar jauh-jauh ke desa ini, pastilah ada yang mendorong hati anak. Ada yang mengganjal yang anak ingin lepas. Tentu agar bisa tenang.”
Sehabis mendengar perkataan pak Amin, aku merasa yang penting menceritakan. Paham atau tidaknya, urusan belakang. Jadi, aku memulai dari pikiran yang menghantui itu, yang aku sendiri tidak bisa mengkategorikannya sebagai masa lalu atau jejak mimpi yang berlalu. Namun sehabis menuturkan semuanya, mereka berdua bergeming, menatapku, kemudian tersenyum.
“Itu pikiran anak?”
“Yah, itu pikiran saya.”
“Pikiran!”
“Memang pikiran, Pak.”
“….”
(*)
Ning Kurniati, perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Dapat disapa melalui nining.kurniati11@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata