Tradisi Tebus Weteng Wanita Hamil
Oleh : Rachmawati Ash
Pulau Jawa memiliki banyak budaya dan tradisi keturunan leluhur yang masih dilakukan sampai sekarang. Salah satunya adalah upacara tebus weteng atau mitoni yang dilakukan untuk mengungkapkan syukur kepada Sang Pemberi Hidup. Jabang bayi yang ada di kandungan ibu telah mengalami kesempurnaan bentuk dan ruh pada usia ke tujuh bulan. Hal inilah yang akhirnya menjadi dasar masayarakat Jawa melakukan upacara tebus weteng atau mitoni (tujuh bulanan).
Ada pun sejarah tebus weteng atau mitoni berawal dari masa pemerintahan Kerajaan Kediri oleh Prabu Widayala atau Jayabaya yang masih menganut ajaran Hindu. Ada sepasang suami istri bernama Niken Satingkep dan Sadiya menghadap kepada sang Prabu. Keduanya menyampaikan kesedihannya karena telah melahirkan sebanyak sembilan kali, namun tak satu pun bayi mereka yang selamat dan bertahan hidup.
Sang Prabu Jayabaya memerintahkan kepada keduanya untuk melakukan 3 hal, yaitu: setiap hari Rabu dan Sabtu sore Niken dianjurkan untuk mandi (siraman) menggunakan gayung tempurung kelapa (bathok), setelah mandi, lalu memangku kelapa gading yang digambar bentuk wajah Arjuna dan Shinta. Kemudian kelapa gading dijatuhkan dari pangkuan istri dan segera ditangkap lalu digendong oleh calon nenek seolah-olah bayi yang lahir dari perut Niken Satingkeb. Setelah melakukan ritual tersebut beberapa kali, maka Niken Satingkeb melahirkan bayi dengan mudah dan selamat.
Oleh karenanya masyarakat Jawa menyebutnya sebagai upacara tingkeban. Sampai akhirnya muncul beberapa istilah di daerah-daerah Jawa yang berbeda penyebutan tetapi memiliki makna yang sama. Mitoni yang berasal dari kata pitu (bahasa Jawa) yang artinya tujuh. Sedangkan tebus weteng, tebus artinya mengganti dan weteng artinya perut. Jika digabungkan maka artinya akan menjadi mengganti isi perut. Maknanya adalah ucapan terima kasih karena telah diberi calon keturunan di dalam rahim calon ibu.
Dengan hadirnya Wali Songo (Sembilan Wali) di pulau Jawa, maka tradisi ini diselipkan ajaran Islam. Prosesi mitoni diawali dengan siraman yang dilakukan oleh wanita hamil tujuh bulan, disiram oleh suami, ayah, ibu dan mertua. Sebelum mandi atau siraman diawali dengan membaca Al Fatihah, Al Ikhlas 3 kali, Al Falaq 1 kali, Annas 1 kali, dan Ayat Kursi sebanyak 7 kali. Pembacaan juga ditambahkan surat Maryam dan surat Lukman.
Dahulu siraman dilakukan di sumber air desa. Calon ibu yang hamil disiram oleh sebanyak tujuh orang termasuk suami, orangtua, mertua dan kerabatnya. Siraman bertujuan agar calon bayi lahir dengan suci dan bersih. Tujuh artinya tujuh bulan usia kandungan dan pitulungan (pertolongan) agar bayi dilahirkan dengan mudah dengan pertolongan Tuhan. Dilanjutkan memasukkan telur ayam ke perut istri dari atas sarung/ kain menggelinding jatuh ke bawah. Dengan tujuan agar bayi dilahirkan dengan lancar tanpa hambatan.
Calon Ayah memecahkan batok kelapa (cengkir) dengan tujuan agar bayi lahir dikaruniai pikiran yang jernih dan kuat dalam mengarungi bahtera kehidupan. Karena dalam bahasa Jawa cengkir dapat diartikan kencenging pikir (kekuatan berpikir).
Upacara dilanjutkan dengan ritual menjual dawet dan rujak. Beberapa daerah di Jawa ada yang membeli dawet dan rujak menggunakan uang simbolis, ada yang menggunakan daun, pecahan genting atau replika uang mainan. Keluarga dan kerabat yang datang pada upacara diminta membeli dawet dan rujak dengan harga semahal mungkin (diucapkan nominalnya), hal ini diharapkan jabang bayi lahir dengan rezeki yang berlimpah.
Beberapa daerah juga percaya bahwa rujak yang dijual oleh calon ayah dan calon ibu memiliki makna tersendiri. Jika rujaknya terasa sangat pedas, maka bayi yang dikandung adalah laki-laki. Dan jika rujak terasa tidak pedas, maka bayi yang dikandung adalah perempuan. Pembuatan rujak juga tidak direkasaya jumlah bahan dan cabainya, tetapi jika sudah siap dimakan rasanya akan muncul seketika antara pedas atau tidak pedas.
Pada malam harinya upacara tebus weteng ditutup dengan acara kenduri (selamatan). Ada beberapa hal yang harus disajikan dalam kenduri, yang pertama adalah tumpeng berjumlah tujuh tingkat. Yang melambangkan usia bayi dalam kandungan sudah mencapai usia tujuh bulan. Tumpeng dapat berbentuk tujuh tingkatan, yang paling tinggi adalah nasi yang meruncing ke atas sebagai simbol bersyukur, sedangkan yang enam adalah sayur dan lauk pauk di sekitar undakan nasi. Berikutnya bubur merah dan putih dalam takir (mangkuk daun pisang) melambangkan putih adalah wanita dan merah adalah laki-laki. Calon ayah dan ibu harus siap menerima apa pun jenis kelamin dari bayi yang akan dilahirkan nanti.
Yang terakhir adalah tradisi nyeret kelasa (menarik tikar) setelah kenduri berakhir. Filosofi dari tradisi ini adalah agar calon bayi dapat dilahirkan dengan cepat dan tidak menimbulkan rasa sakit pada ibunya. Beberapa daerah ada juga yang mengakhiri acara kenduri dengan tradisi calon ibu menyobek kain yang dikenakannya dari ujung bawah kain ke atas. Jika sobekannya cepat dan lebar, maka jalan bayinya akan sama dengan cepat dan mudah saat melahirkan.
Budaya ini menunjukkan bahwa pulau Jawa memiliki tradisi yang dijunjung tinggi. Filosofi dari acara tebus weteng atau mitoni ini mengajarkan kepada kita bahwa masyarakat harus selalu mengingat siapa yang menciptakan hidup. Manusia harus selalu berusaha, berdoa dan bersyukur. Upacara ini juga melestarikan silaturahmi dan menjalin kerjasama dengan sesama serta berbagi kebahagiaan dengan sesama.
Narasumber : Drs. Soesiono Edhi Purwanto, Rosyidin, A.Md, Warisah, Sapuroh, dan Taryami.
Rachmawati Ash, generasi menolak tua.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata