Pria yang Merindukan Senja
Oleh : Reza Agustin
Ada seorang pria yang disebut-sebut sedang patah hati. Jika patah hatinya dapat diobati, maka perkara tak akan berlarut-larut. Namun, patah hati pria ini terjadi setiap hari. Dua puluh empat jam sekali, tujuh kali dalam satu minggu, dan kalikan saja satu untuk tiga ratus enam puluh lima hari dalam satu tahun. Orang yang mendengarnya mungkin akan menyebut pria ini gila. Ya, pria gila yang patah hati karena senja. Senja yang bahkan tak akan pernah berbagi cinta padanya.
“Dia memang gila! Semuanya dimulai sejak tunangannya kabur dibawa pria lain yang lebih kaya.” Itu kata seorang penjual kopi yang biasa berkeliling di kompleks.
“Karena dia terlalu gila, sekarang tak ada perempuan muda atau janda-janda yang mau padanya. Padahal dulu dia terkenal sebagai pria idaman. Tampan, bisnis sebagai pengusaha jangkrik pun sukses, perilakunya juga baik. Tapi, coba lihat dia sekarang!” Telunjuk seorang pria tua menuding sebuah jembatan tua yang dipenuhi goresan vandalisme.
Kosong, tak ada sesuatu yang menarik di sana.
“Nanti dia akan duduk di sana, di badan jembatan sambil menangis. Dia akan menyebut tentang senja berulang kali, kadang dia menangis, kadang tertawa macam orang kehilangan akal. Ketika hari sepenuhnya malam, barulah dia pulang. Menghabiskan malam ditemani suara nyaring ribuan jangkriknya,” imbuh pria itu sembari menyeruput kopi instannya yang masih panas. Ada asap yang mengepul dari dalam cangkir bermotif kembang itu.
Omongan pria tua itu tak meleset, lima menit setelahnya pria berambut gondrong itu datang. Ada sebuket bunga warna-warni yang ditimang dalam pelukan. Dan, penjual kopi yang melihat kelakuan baru si pria menggelengkan kepalanya prihatin. Pun dengan pria tua penikmat kopi yang juga ikut berdecak sebal.
“Ada-ada saja kelakuan orang gila sekarang.”
“Jangan bergaul dengan orang seperti itu.”
“Siapa yang mau bergaul dengan orang seperti itu. Kita ini sehat, waras, bergaul juga dengan orang yang waras.”
“Kau selalu berhutang kopi padaku, masih menyebut dirimu waras? Kau seharusnya masuk rumah sakit jiwa sekarang!”
Dan, dua pria yang tadinya akur karena bergunjing itu pun akhirnya saling adu mulut. Entah kapan pertengkaran mereka menemukan akhir. Yang jelas, mereka akan bertingkah seolah tak ada masalah keesokan harinya, di tempat yang sama.
***
“Tak bisakah kau melupakan kepergiannya?” tanya itu meluncur, oleh seorang wanita berpakaian perawat warna putih.
Pria itu melongok, balas menatap sang wanita dari balik buket bunganya yang layu. “Maksudmu senja?”
“Memangnya ada orang lain yang selama ini suka kamu?” balas si wanita retoris.
Si pria balas tertawa renyah. “Ya, kau sudah tahu pasti jawabannya, ‘kan?” Pria itu kembali bersandar pada jembatan. Matanya menatap pada matahari yang mulai tenggelam, sedangkan langit di atasnya mulai dipenuhi titik-titik bintang yang berkilau.
“Kalau kau meneruskan kebiasaan ini, mungkin kau bisa menyusul salah satu dari mereka.” Wanita itu menujuk dua orang pria yang beradu argumen di salah satu sudut gedung. Entah apa yang sedang mereka ributkan sampai-sampai beberapa pasien lain ikut mengerubungi.
“Entahlah, aku tak tahu. Mungkin tinggal menanti waktu saja sampai aku benar-benar gila.” Pria itu tak terlalu acuh. Ia kembali bersandar pada jembatan. Tentu saja ia tak ingin dicap gila. Biarlah pasien-pasien rumah sakit jiwa itu menyebutnya demikian. Namun, ia lebih senang dengan panggilan pria yang merindukan senja.
Reza Agustin, kunjungi Facebook dengan nama yang sama. Seorang pecinta fiksi dan budak kucing.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata