Halu
Oleh : JMaulana
Aku berdiri di depan cermin kamarku. Sekali lagi memperhatikan penampilanku. Dress sepanjang lutut bermotif bunga dengan cardigan putih, juga slim bag dan sneekers putih yang menyempurnakan penampilan. Terakhir kutambahkan jepitan rambut untuk mempermanis rambut panjang yang sengaja kubiarkan tergerai. Kuputar sekali lagi tubuhku di depan cermin dan tersenyum melihat pantulan yang ada di sana. Sempurna!
Aku melihat jam dinding di kamar yang menunjukkan pukul 15.00 WIB. Padahal kami, maksudku aku dan Satria, janji bertemu di kafe favorit kami pukul 16.00 WIB. Sembari menunggu, aku merapikan kembali alat make up yang baru saja aku pakai. Kemudian kuambil bingkai foto yang menampilkan dua motor yang berjejer. Itu motorku dengan Satria saat SMA dulu, banyak tempat parkir yang kosong namun sepertinya dia memilih memarkirkan di dekat motorku, membuat motor kami beriringan manis di pojok parkiran. Saat itu aku menatapnya senang karna hanya motor kami berdua yang ada di situ, saat itulah aku memotretnya kemudian kupajang dalam bingkai yang kutaruh di meja riasku.
Satria merupakan teman SMA juga tetanggaku. Rumahnya hanya berbeda kompleks dari rumahku, namun kami masih satu perumahan. Aku mengenalnya ketika hari pertama masuk SMA. Saat itu aku lupa membawa topi untuk masa ospek sekolah, kakak kelas menyuruhku berdiri di lapangan, kemudian Satria datang mengaku tidak membawa topi dan menemaniku menerima hukuman itu, setelah selesai kegiatan ospek barulah aku tahu Satria sengaja menjatuhkan topi miliknya untuk menemaniku di lapangan. Saat itu Satria tahu bahwa aku adalah tetangganya, dan dia ingin berteman denganku.
Menjelang kenaikan kelas dua, Satria memutuskan mengikuti klub musik sekolah kami, sedangkan aku mengikuti ekskul gemar menulis. Satria menjadi lebih sibuk dengan teman-temannya namun tak pernah absen menyapaku ketika kami berpapasan, bagiku itu cukup membuktikan kalau Satria masih memiliki rasa peduli padaku. Atau ketika aku sakit selama hampir seminggu, Satria datang membawa sekotak tolak angin, sebungkus koyo dan juga nasi padang favoritku. Mama menahan tawa saat melihat apa yang dibawa Satria, karena saat itu aku menghadapi sakit maag yang justru dilarang makan makanan bersantan dan juga obat yang membuat panas di perut. Aku mengucapkan terima kasih atas perhatiannya. Barulah ketika Satria pulang, aku dan mama tertawa. Namun rasa bahagiaku itu membuatku lebih bersemangat untuk pulih dan kembali berangkat sekolah bertemu satria.
***
“Lo … ada seseorang yang lo sukai, Sat?” Aku bertanya pada saat kami berjalan bersama menuju perpustakaan.
“Ada,” jawabnya memamerkan giginya yang rapi.
“Siapa?”
“Ada deh, suatu hari lo bakal tau, Sel. Yang jelas yah, sekarang gue mau fokus dulu sekolah. Abis itu gue mau kuliah jurusan teknik bangunan biar bisa wujudin mimpi gue, terus gue mau kerja dan baru deh gue mau deketin gadis itu pas gue udah jadi pribadi dewasa yang matang,” jawabnya kemudian tersenyum menatapku.
Aku tak bisa menyembunyikan rasa bahagiaku, aku membalasnya tersenyum, membiarkan kebahagiaan memenuhi perasaanku. Aku akan menunggumu Sat.
***
“Lo mau kuliah di mana, Sel?” tanya Satria di tengah-tengah dia menghabiskan semangkuk baksonya.
“Kuliah di sini ajalah yang deket, nemenin Ibu jualan juga,” jawabku sambil mengaduk segelas es teh manis di depanku. Aku memang tidak memesan makanan, hanya menemaninya makan di kantin sekolah kami.
“Oh. Gue mau ngambil di Yogyakarta, Sel. Lo setuju?”
“Jauh amat sih, lo. Tinggal kuliah yang deket sini aja kan, banyak.”
“Gue takut khilaf.”
“Khilaf?”
“Iya, khilaf minta dinikahin sama gebetan gue.” Satria tertawa. Sungguh lelucon yang tidak lucu namun mampu membuat hatiku berdetak. Aku melemparnya dengan tisu yang ada di depanku, mendengus, menyembunyikan gugup yang tiba-tiba hadir.
“Menurut lo, Sel, cewek kalo engga gue tembak mau nungguin sampe gue sukskes nggak, ya?” kali ini dia menatapku, aku buru-buru mengalihkan pandanganku pada es teh yang tinggal setengah.
“Tergantung ceweknya, sih. Lagian nih ya, lo itu gentle dong, sebagai cowok. Masa nyatain perasaan aja gak berani, sih!”
“Ya nggak gitu Sel, gue berani tapi kan, gue maunya datang ke dia pas gue udah sukses. Nih ya, kalo tipenya kaya lo gitu kira-kira mau nggak nungguin cowok yang lagi ngejar cita-citanya buat sukses?”
“Maulah. Tipe gue ini kan, setia,” kataku sombong.
“Kan, gue nggak salah pilih lo jadi temen gue,” katanya lalu mengusap kepalaku.
Aku menunduk, menyembunyikan muka yang memerah.
***
Waktu menunjukkan pukul 15.30 WIB. Aku mengambil kunci motor dan helm, kemudian berjalan menuju bagasi rumah. Satria menawarkan menjemputku, namun aku menolak dan mengatakan akan mampir ke suatu tempat terlebih dahulu. Padahal itu hanya alasanku saja menyembunyikan gugup agar tidak hadir terlalu dini.
Kami sudah lulus kuliah dua tahun yang lalu, Satria merintis karirnya di kota itu setelah dinyatakan lulus, ayahnya mendapat mutasi tugas di kota yang sama dengan Satria bekerja, mereka sekeluarga tinggal di kota itu, hanya sesekali pulang ke kota ini ketika libur lebaran tiba. Kami menjadi jarang bertemu sejak kami disibukkan dengan kegiatan kami masing-masing. Hanya komunikasi lewat email atau sesekali menyapa lewat chatting WhatsApp.
Dua bulan yang lalu Satria mengatakan sudah siap mengatakan perasaannya, saat itu juga hari-hariku menjadi lebih berwarna. Dan seminggu yang lalu, Satria mengajaku bertemu di kafe langganan saat kami masih SMA dulu. Aku menyetujuinya. Bersiap bertemu dengan dia saat hari ini tiba.
Suasana kafe cukup ramai, selain letaknya yang strategis, kafe ini juga cukup murah sehingga menjadi tempat berkumpul remaja berpakaian putih abu-abu menghabiskan sore, seperti aku dan Satria dulu. Aku mengambil tempat duduk menghadap jendela, di hadapanku pemandangan lalu lalang sore cukup padat.
Aku membenarkan posisi dudukku ketika melihat mobil Satria memasuki halaman kafe. Aku sudah memesan cappuccino untukku dan green tea untuk Satria, karna dia tidak pernah menyukai kopi. Aku melihat pantulan diriku di cermin kecil yang aku bawa. Hari ini memang sengaja aku memakai blush on lebih tebal agar segala perasaanku tersamarkan olehnya. Buru-buru aku memasukan lagi cermin ke dalam tas setelah memastikan dandananku baik-baik saja.
Aku menahan gugup, menunggunya memasuki kafe. Harus aku jawab apa nanti? Aku bersedia? Yes, I will marry you? Atau apa?
“Sel ….” Suara beratnya menyapaku. Aku melihatnya menarik kursi di sampingku menghadap jendela kemudian menyeruput green tea-nya.
“Hai, Sat.” Hanya itu yang sanggup kuucapkan , aku masih gugup memikirkan apa jawabanku nanti.
“Ini buat lo, dan lo harus bangga karna lo orang pertama yang gue kasih ini,” katanya mengeluarkan sebuah kertas, menaruhnya di depanku.
Aku melihatnya, sebuah undangan warna hitam dengan gambar dua merpati putih. Menampilkan namaku di sana sebagai nama penerima, dan menampilkan nama Satria dan Mega sebagai calon pengantinnya. Tanganku gemetar meraihnya.(*)
14 Oktober 2019
Tentang Penulis:
JMaulana, perempuan ’96 penyuka biru. Ig: jihanalmasm
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata