Sepenting Apa Memindahkan Ruang Tamu?
Oleh : Lutfi Rose
Sebenarnya aku paling tidak suka dengan perdebatan, apalagi itu masalah yang sebenarnya tidak terlalu prinsip dalam idealisme hidupku. Selama hal itu tidak mengusikku secara langsung, aku lebih memilih diam, mengembalikan semua keputusan kepada yang maha berkehendak di rumah ini: suami. Sayangnya … dengan berbagai pertimbangan, kali ini aku harus membuat beberapa opsi untuk keputusannya.
“Ayah yakin dengan rencana itu?”
“Tentulah, Bund. Apa lagi yang harus diragukan?”
“Tentu saja banyak, lah! Pertama, jelas efisiensi. Yakin bakal lebih baik jika ruang tamu kamu pindah ke situ?”
“Ini tentu sangat efisien, Bund. Letak ruang tamu akan berada tepat di tengah-tengah rumah. Kamu tahulah … betapa besar rumah kita ini, jika ada tamu dan kita berada di dapur, butuh waktu yang cukup lama untuk berjalan ke ruang tamu yang berada di bagian depan rumah kita. Itu gak efisien, Bunda cantik ….”
“Halah, itu kan teori, Yah. Memang pada praktiknya tak akan seribet itu. Toh, zaman sekarang gak setiap saat ada tamu berkunjung. Apalagi kalau tamu anak-anak, mereka lebih memilih janjian di luar via ponsel, atau langsung nyelonong ke kamar masing-masing.”
“Justru karena itu, Bund. Kita bisa lebih mudah memantau siapa-siapa saja yang datang ke kamar anak-anak. Ya … meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan.”
“Tetap saja kita tak bisa memantau mereka 24 jam, Yah.”
“Ya, setidaknya kita usahakan, Bunda.”
“Kalau hanya untuk memantau anak-anak gak perlu sampai memindah ruang tamu juga.”
“Selain itu, juga banyaknya sampah yang menumpuk di pinggir jalan raya, menganggu rasa nyaman jika ada tamu, Bund.”
“Ya dibersihkan, dong, Yah!”
“Kan bukan Ayah yang bikin kotor, Bund. Itu sampah dari para pemakai jalan yang suka sembarangan buang, juga sampah tetangga sebelah.”
“Ya kita kasih tahulah. Biar mereka sadar sampah, Yah!”
“Sudah. Tapi tetap saja diulangi.”
“Kita kasih tahu lagi. Kalau masih tetap, ya … tetap kita kasih peringatan terus, kasih contoh kalau tertib sampah itu bikin nyaman. Masak iya lama-lama mereka gak pengin juga?”
“Capek, Bund. Pindah ruangan saja, ya?”
“Gak, Ayah. Masalahnya, biayanya mau dari mana?”
“Halah, Bund, itu urusan Ayah.”
“Tetap bakal jadi urusan Bunda, dong. Kalau ada kurangnya?”
“Ya … ambil kredit. Kan kurang setahun lagi utang kita sudah lunas.”
“Nambah utang lagi, dong? Lalu sampai kapan rumah tangga kita akan terbebas dari belitan utang, Yah?”
“Halah, Bunda, jangan terlalu serius begitulah. Santai saja.”
“Kita ini bicara soal utang, Yah. Mana bisa santai? Mau sampai kapan jadi pengutang? Tahun lalu Ayah bilang hampir lunas, eh! Ayah nambah lagi, molorlah sampai tahun depan. Sekarang?”
“Nambah setahun saja, Bund?”
“Untuk hal yang gak terlalu penting ini? Lalu persiapan untuk masuk SMA si Adek?”
“Halah, masih tahun depan.”
“Ayah! Kita juga harus bantu si Kakak nyari modal usaha, lho. Dia juga akan mulai membuka bengkel tahun ini.”
“Iya iya.”
“Belum lagi biaya pemindahan perabot dari ruang tamu lama ke ruang tamu baru. Lalu seluruh berkas Ayah, apa semua bisa kita lakukan sendiri?”
“Ya … kan, sebagian barang bisa diloakkan, Bund. Lumayan buat nambah pemasukan, bisa untuk ongkos.”
“Yakin? Memang berapa duit? Yakin bakal laku dengan harga pantas? Gak mungkin.”
“Tapi ini penting, Bund.”
“Pindah ruang tamu?”
“Iya.”
“Gak, lah!”
“Biar lalu lintas rumah lebih mudah, Bund.”
“Gak, ah!”
“Iya.”
“Gak! Kali ini Bunda gak sependapat dengan Ayah.”
“Kenapa?”
“Karena tadi, sesuai apa yang Bunda jabarkan. Ayah tak punya cukup alasan yang kuat untuk pindah ruang tamu. Dan terlebih Ayah tak memiliki cukup dana juga. Jadi lebih baik urungkan niat itu, Ayaaah. Atau kita bakal makin tenggelam dalam utang. Mau dikasih warisan utang anak-cucu kita?”
“Jadi gak boleh, nih?”
“Gak!”
“Tapi … coba pertimbangkan lagi, Bund. Masak Ayah harus cabut keputusan? Kan malu?”
“Malu sama siapa?”
“Sama teman-teman Ayah, lah. Kan Ayah sudah cerita kepada mereka semua.”
“Ayaaah, ini soal keberlangsungan rumah tangga kita. Gak ada hubungan dengan orang di luar rumah ini. Kita hidup-mati gak bergantung pada mereka. Lalu apa yang harus dimalukan? Kalau kita nurutin omongan orang, ya, repot.”
“Jadi?”
“Gak!”
“Bunda ….”
“Kalau memang mau lebih baik, kita cari solusi lain. Jangan mindahin ruang tamu! Jangan nambah utang! Nanti kita rapat keluarga di ruang utama. Kita akan tanya pendapat anak-anak.” (*)
Lutfi Rose, seorang ibu yang punya banyak mimpi, namun tetap keluarga adalah pilihan utama. Silakan follow akun FB @Lutfi Rosidah, Ig @Arifa Style, dan Wattpad @LutfiRose.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata