Eccedentesiast

Eccedentesiast

Eccedentesiast*
Oleh : Aisyahir25

Selalu ceria dan tersenyum di hadapan orang lain adalah suatu kebiasaan yang selalu dilakukan oleh seorang gadis bernama Putri. Menyembunyikan segala luka dalam balutan senyum manis yang selalu ia tunjukkan. Tidak peduli kapan pun itu, ia akan selalu tampak ceria setiap saat. Hingga semua orang mengira bahwa Putri tidak pernah merasakan kesedihan sedikit pun.

Namun, siapa sangka. Di balik keceriaannya, ada beribu kesedihan yang ia simpan sendiri. Menutupnya rapat-rapat, hingga tidak ada sedikit pun celah untuk bisa menembus dinding rahasianya. Ia dijuluki sebagai seorang Eccedentesiast.

***

Seperti biasa di hari Minggu pagi, Putri akan melakukan aktivitas rutinnya, membantu orangtuanya di kebun sawit milik keluarga sendiri. Hari ini mereka sedang panen. Untuk itulah, ia harus bekerja keras hari ini. Mengumpulkan semua buah hasil panen, lalu mengangkutnya menuju pinggiran jalan untuk dibawa ke pabrik menggunakan mobil khusus.

Walau ia seorang perempuan yang umurnya bahkan masih sekitaran 15 tahun, tapi ia begitu kuat melakukan semua pekerjaan berat seperti itu. Bukan hanya berat, tapi juga sangat sulit. Tak semua orang bisa melakukannya, termasuk kaum laki-laki. Karena tidak memiliki saudara laki-laki, maka Putri harus melakukannya sendiri. Sedangkan ayahnya, hanya membantu memanen tanpa ikut mengangkut hasil panen.

Peluh membasahi seluruh wajah. Tubuhnya yang hanya setinggi 145 cm itu tampak letih. Kulitnya yang putih terlihat pucat karena kelelahan. Namun, siapa yang peduli? Tidak ada! Bahkan orangtuanya sekalipun. Terlebih lagi, hasil panen kali ini begitu banyak dan buahnya besar-besar. Duri-duri memenuhi setiap celah bijinya, membuat Putri semakin kesusahan. Entahlah! Ia bingung. Apakah ia harus bersyukur atau malah mengeluh?

“Selesaikan cepat pekerjaanmu! Hari sudah mulai gelap. Jika kita terlambat mengangkutnya, bisa-bisa sopirnya marah. Jadi, cepat angkut!” titah ayah Putri tanpa melihat anaknya yang tengah kelelahan. Putri hanya mengangguk sambil tersenyum, menyembunyikan segala rasa lelahnya. Dengan segera, ia mengangkat satu per satu buah sawit itu lalu mengankutnya mengunakan gerobak besi menuju ke pinggiran jalan yang jauhnya sekitar 100 meter.

Rasa letih, pegal, berat dan lelah, sepertinya ia sudah tak mengenal rasa itu. Tubuhnya sudah seperti baja yang selalu kuat dalam kondisi apa pun.

Dari wajahnya, tak ada sedikit pun rasa letih yang terlihat. Tapi jika dilihat dari matanya, beribu beban tercetak jelas di sana. Dan, tidak ada satu pun yang tahu soal itu. Hanya ia dan Tuhan yang tahu.

Cahaya senja tampak jelas. Suasana di kebun mulai lengang. Tempat yang sebelumnya ramai oleh para petani, kini telah sepi karena telah pulang ke rumah masing-masing. Begitu pula dengan Putri serta orangtuanya. Letak kebun yang tidak terlalu jauh dari rumah, membuat Putri harus berjalan kaki untuk pulang. Lelahnya berada seharian di kebun ternyata belum usai.
Tubuhnya begitu pegal, betisnya terasa membatu akibat terlalu lelah, dan lengannya begitu berat karena terlalu dipaksakan untuk mengangkut banyak buah. Tenaganya habis terkuras. Lengkap sudah lelahnya saat ini.

Sambil berjalan, tak lupa Putri menyapa orang-orang yang dilewatinya dengan senyuman hangat. Bukan dengan suara, tapi hanya dengan senyuman. Balasan serupa pun ia dapatkan. Masyarakat di desa ini memang sudah sangat mengenalnya. Raut wajah cerianya selalu ia tunjukkan, walau hatinya sedang menahan tangis yang sangat ingin ia keluarkan.

Jika di usia seperti ini gadis seusianya menikmati masa remaja bersama teman-teman, Putri justru sebaliknya. Ia selalu menghabiskan waktu di kebun, menguras banyak tenaga untuk membantu orangtuanya mencari nafkah. Walau sebenarnya, ia berasal dari keluarga yang mampu. Ya, mampu! Ayahnya seorang guru PNS, dan ibunya memiliki sebuah toko. Bahkan, mereka memiliki area kebun yang luas. Tapi tetap saja, ia harus bekerja begitu kerasnya. Mungkin orangtuanya terlalu sayang uang jika harus mempekerjakan orang lain. Sehingga mereka lebih memilih untuk mengelolanya sendiri.

Ketika malam datang, inilah saatnya untuk beristirahat. Namun, tidak untuk Putri. Ia harus membantu ibunya di dapur serta membantu mengurus adik-adiknya. Memasak, mencuci piring, serta membersihkan ruang dapur adalah kebiasaannya di setiap malam. Setelah itu, barulah ia beralih ke urusan adik-adiknya. Memandikan si bungsu, membantu tugas sekolah adiknya, serta tugas lain seperti menyetrika dan melipat pakaian.

Ia tidak memiliki waktu untuk istirahat. Bahkan hanya untuk duduk bersantai sesaat. Namun, ia tidak pernah mengeluhkan semua itu. Selalu tersenyum dan ceria, ia tunjukkan pada keluarganya walau hatinya sedang menangis atas beban hidup yang harus ia rasakan.

“Jangan lupa bantu adikmu untuk mengerjakan PR-nya! Dan selesaikan tugas sekolahmu juga! Jangan lupa menyetrika pakaian juga harus kamu selesaikan sebelum tidur!” titah ibunya tanpa menerima penolakan. Tanpa memedulikan rasa lelah yang dirasakan Putri saat ini. Sungguh tak ada yang peduli.

“Iya, Bu. Nanti Putri kerjakan,” balas Putri sambil tersenyum. Padahal ingin sekali ia menolak semua itu. Saat ini ia hanya ingin beristirahat. Tapi apalah daya, ia tidak bisa.

“Kakak Putri juga harus temenin aku main,” pinta Adi. Ia adalah adik bungsunya. Putri hanya mengangguk.

“Kak Putri juga jangan lupa bantuin aku kerjain tugas!” kata Resti, adik pertamanya. Lagi-lagi Putri hanya mengangguk, tak lupa senyum ia sertakan. Senyum yang menyimpan banyak arti, tapi tak ada yang peduli.

***

Pukul 23.00 WITA, ketika semua orang telah beristirahat, Putri malah menggunakannya untuk berdiam diri di ruang tamu. Semua pekerjaan telah ia selesaikan dan inilah saat yang paling tepat untuk menangis. Mengeluarkan segala kesedihannya lewat deraian air mata. Dengan begini, segala penderitaannya akan hilang, dan lelahnya pun akan berangsur-angsur menghilang. Ia tak bisa menyebut anggota keluarganya egois karena tak pernah memperhatikan dirinya dan tak pernah memedulikan rasa lelahnya. Ini adalah tugasnya sebagai anak sulung. Ia harus kuat seperti baja. Kurangnya kasih sayang pun harus ia rasakan.

Ruangan yang cukup luas itu terasa sangat cukup untuknya menyendiri. Hanya terdapat sofa, beberapa bingkai foto keluarga yang terpajang di dinding, serta meja kecil yang ada di tengah-tengah barisan sofa yang saling berhadapan. Ia berbaring di lantai, memeluk lututnya seperti orang kedinginan.

“Semangat, Put! Kamu harus kuat! Ini memang kewajibanmu, jadi kamu harus menerimanya dengan ikhlas dan menjalaninya dengan sepenuh hati,” ucapnya memberi semangat pada dirinya sendiri. Ia masih menangis. Dengan begini, kesedihan untuk hari ini telah usai sampai di sini.

***

Esoknya, setelah menunaikan shalat Subuh, Putri mulai bersiap untuk pergi ke sekolah. Tak lupa ia juga membantu ketiga adiknya untuk bersiap. Ia adalah anak sulung dari lima bersaudara. Adik bungsunya masih berumur lima tahun.

Usai melakukan tugas serta bersiap, Putri berdiri di depan rumahnya menunggu jemputan menuju ke sekolah. Angkutan yang ia tumpangi itu berbayar setiap bulannya. Ia harus membayar 300 ribu setiap bulannya untuk antar-jemput ke sekolah yang menempuh perjalanan selama satu jam.

Tak lama angkutannya datang. Putri naik ke mobil yang tampak seperti angkutan umum seperti di kota-kota. Ini kehidupannya sebagai anak desa. Di mana kehidupan di desa sangat berbeda jauh dengan kota.

Perjalanan berlangsung cukup lama. Tak lupa, sopir angkutan itu akan menjemput setiap penumpangnya di lokasi yang berbeda, barulah setelah itu mereka berangkat ke sekolah.

Hiruk-pikuk pedesaan begitu menenangkan. Sawah-sawah yang dilewatinya memberi kesan pada perjalanan mereka. Pohon sawit, cokelat, durian, langsat, jeruk, serta rambutan pun mereka temui di setiap kebun yang terletak di pinggir jalan. Para petani yang berjalan menuju kebun mereka menambah kesan keramaian desa ini. Seperti inilah kebiasaan penduduk desa.

Jalanan yang berlubang-lubang dan sempit membuat angkutan yang ditumpanginya bergerak lambat, hingga membutuhkan waktu satu jam untuk bisa sampai ke sekolah.

Tidak terasa mereka telah sampai di sekolah. Sekolah yang setiap bangunannya tidak berukuran besar, namun masih bisa menampung banyak siswa. Di sinilah Putri menimba ilmu bersama teman-temannya. Baik dari desanya, maupun dari desa lain.

Keceriaan selalu Putri tampakkan di hadapan teman-temannya. Ia memang dikenal sebagai orang yang supel dan ceria. Senyum manis selalu menghiasi wajahnya, tak pernah sekali pun wajah itu kehilangan senyuman, sehingga tidak ada yang tahu kesedihannya. Selalu tertawa dan cerewet, itulah kesan pertama yang ditangkap tentangnya. Tidak ada satu pun yang tahu bahwa semua itu tidaklah benar. Putri hanya sedang bersembunyi di balik topeng kesedihannya.

“Kenapa, An? Kok sedih gitu?” tanya Putri pada sahabatnya. Entah kenapa dari tadi ia terlihat murung.

“Aku banyak masalah, Put. Dan semua ini membuatku frustrasi. Sedih aku, tuh!” keluhnya begitu sedih. Sesaat Putri tertawa. Tentu saja Anna heran melihatnya. Dalam keadaan seperti ini pun ia masih tertawa.

“Kenapa harus sedih? Bawa santai ajalah, An! Selesaikan setiap masalahmu dengan bijak. Setiap masalah itu, pasti ada solusinya. Makanya, temukan solusi itu, lalu selesaikan masalahmu. Ingat, jangan terlalu larut dalam kesedihan!” jelas Putri, memberi pencerahan pada Anna. Ia memberi saran itu seolah-olah dirinya tak pernah mendapatkan masalah. Ia memang pandai seperti itu. Itu adalah salah satu kelebihannya. Ia senang menghibur orang lain, tapi ia tidak bisa menghibur dirinya sendiri.

Ia harus selalu terlihat kuat, walaupum aslinya begitu rapuh. Itulah Putri, gadis periang yang aslinya justru pendiam. Membalut segala lukanya dengan senyuman. Menyembunyikan kesedihan adalah kehebatannya. Ia suka seperti itu. Di hadapan orang lain ia tertawa, tapi di belakang ia menangis. Sungguh, ia hidup di balik topeng!

*Eccedentesiast adalah julukan bagi orang yang menyembunyikan banyak hal di balik senyumnya. Misalnya: sedih, kecewa, dan marah.

Aisyahir. Lahir pada 25 September 2001. Sangat suka membaca dan menulis. Suka dengan hal-hal yang baru dan menantang.
Bisa dikenal lebih dekat lewat akun sosialnya:
FB: Aisyahir, IG: Aisyahir_25, dan WA: 085340292689.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply