RINDU BERTALU DI JANTUNGMU
Fika Anggi
Langit serupa Blue lagoon yang kamu sesap di sudut suatu kafe sore ini. Sejuk dan segar, memindahkan aroma mint ketika nanti kalian berciuman. Kamu mengulum senyum, seolah malu dengan angan-anganmu sendiri. Di ceruk yang terhalang rumpun palem bambu kamu menunggu lelaki yang tak pernah sanggup kamu usir dari hatimu meski tujuh tahun telah berlalu. Kamu –meski tidak mengakuinya— dipenuhi buncah-buncah harapan berjumpa saat ia menghubungi dan berkata merindukanmu. Bukankah kamu pun tak berhenti merinduinya?
Jumat minggu kemarin, kamu tengah mengernyit di depan laporan keuangan yang harus kamu revisi ketika ikon messeger muncul di layar gawaimu dan menampilkan foto yang tak kamu kenal. Bukan dari seseorang yang ada di daftar pertemanan. Biasanya kamu tak menghiraukan pesan dari orang yang bukan temanmu, tapi di hari itu, kamu sedang suntuk menekuri deretan angka di layar monitor.
Kamu membuka pesan dan seketika memekik tertahan. Ibra, mantan kekasih yang tak pernah bisa kamu gantikan oleh pria mana pun yang pernah dekat denganmu. Keningmu mengerut makin dalam, kelihatan sekali kalau kamu berusaha mengira-ngira bagaimana lelaki itu bisa menemukanmu. Tujuh tahun ini kamu memutuskan untuk menutup semua hal yang terhubung dengan lelaki yang pernah menghuni botol jantungmu. Kamu bahkan membuat akun media sosial baru dengan nama yang sama sekali berbeda dengan nama aslimu. Kamu sangat jarang mengunggah foto diri dan yang kamu gunakan sebagai profil biasanya gambar animasi. Seorang kawan lawas yang sebulan lalu berkunjung ke kotamu pasti telah memberi tahu lelaki itu. Kamu merutuki kecerobohanmu yang enteng memberitahukan akun facebook lain milikmu.
Kamu tidak memblokir akun lelaki itu, percuma saja, ia bisa membuat seribu akun baru dan mengirim permintaan pertemanan padamu. Seselektif apa pun, kamu bisa saja kecolongan suatu waktu. Meski begitu, alih-alih menjawab pertanyaan soal kabar dari Ibra, kamu meluncur ke laman media sosialnya. Menghabiskan beberapa menit untuk mencari tahu tentang keadaannya saat ini. Saat itu mula-mula kamu menyadari bahwa rindu kembali bertalu di hatimu.
Tak ada yang istimewa, tak banyak foto yang diunggah oleh Ibra. Namun, kamu menemukan juga foto Ibra bersama perempuan yang kamu tahu adalah istrinya. Kamu tak merekam jelas sosok perempuan itu saat ia dan kekasihmu duduk bersanding di pelaminan. Kamu ingat, kamu menjabat tangan perempuan itu dengan erat, mengucapkan selamat dengan tulus. Bagaimana pun perempuan itu lebih beruntung darimu.
“Kita tak akan kemana-mana, Apri, kecuali kamu bersedia mengalah dan mengikuti aturan keluargaku.”
“Kamu gila jika mengira aku bersedia menukar tuhan yang menghidupiku 27 tahun ini.”
Itu adalah perselisihan terakhir sebelum hubungan kalian beku beberapa minggu. Kekasihmu kemudian memilih mengakhiri kisah di tanggal peringatan hari jadi kalian yang ke enam. Sejak awal kalian sepakat ‘jalan’, kamu tahu salah seorang dari kalian mesti menyeberang. Mulanya Ibra setuju untuk mengikutimu, beberapa kali ia bersedia masuk saat mengantarmu ibadah minggu. Seiring waktu berlalu, ayah dan ibu Ibra lebih suka jika kamu yang mengalah. Mereka bukan tak menyukaimu, tapi mereka tak mau anak satu-satunya berpindah agama. Setelah enam tahun berkasih, tak ada di antara kalian yang bersedia menurunkan nilai tawar jika sudah menyangkut keyakinan. Meski perasaanmu hancur berkeping-keping, kamu melepaskan Ibra tanpa air mata.
Enam tahun bukan waktu yang sebentar untuk menumpuk kenangan. Senyum simpul, tawa renyah dan tangis sesenggukan pernah kalian lakukan bersama. Pahit, manis, getir, asam kalian cecap bergantian. Suka dan duka selalu kalian tanggung berdua. Pada akhirnya berpisah adalah jalan damai bagi masing-masing keluarga. Sejak kakimu keluar dari gedung tempat resepsi pernikahannya dihelat, kamu memutuskan menyingkir. Sejauh ini kamu menyeberang pulau agar tak bersentuhan dengan tempat-tempat yang memuat kenangan kalian.
Meski demikian, bukan berarti kamu tak mencari pengganti Ibra, hanya saja setiap lelaki yang dekat denganmu kamu anggap tak pernah sebanding dengan mantan kekasihmu itu. Dalam kurun tujuh tahun, tak lebih dari tiga kali kamu punya kedekatan khusus dengan lelaki. Itu pun tak pernah kamu bawa serius dalam hidupmu. Jauh di dasar hati, kamu masih mengharapkan Ibra meski tahu hal itu musykil belaka.
Dalam pesan berikutnya lelaki itu mengaku bahwa minggu ini ia punya sebuah urusan pekerjaan di kota tempatmu mukim sekarang. Ia meminta waktu untuk bertemu sekadar melepas rindu. Mulanya kamu menolak, tapi ketika ia nekad melakukan panggilan video call kamu menerima juga. Ada sesuatu selain rindu yang mengambang dari palung hatimu saat lelaki itu minta waktu ingin bertemu. Kamu merasa bahagia bahwa lelaki itu ternyata masih mencarimu. Kamu merasa menang bahwa namamu masih dikenang olehnya. Kamu mulai berandai-andai, bilamana pernikahan Ibra tak bahagia. Dan kamu merasa bahagia karenanya.
Matamu mengerjap ketika pintu yang sejak tadi kamu amati terbuka. Ibra tiba dengan mengenakan kemeja biru bergaris, celana chino dan sepatu fantovel coklat. Di matamu, ia tak berubah dari terakhir kali kamu memeluknya. Hanya sedikit terlihat terlalu tua dengan kacamata yang bertengger di hidung bengkoknya. Tanpa sadar tanganmu merapikan rambut, sedapatnya menyamarkan helaian uban.
Pelan kamu menggeser kursi ke belakang, beranjak berdiri dan menangkap pandangannya yang beredar memindai seantero ruangan: mencarimu. Kamu memasang senyum paling menawan yang sanggup kamu lakukan, kamu ingin hati lelaki itu –sekali lagi—terjerembab pada pesonamu. Kamu meraba dada kirimu, lagi, rindu bertalu di jantungmu.
Tiba-tiba kamu terkesiap. Sesosok tubuh semampai mendorong pintu di belakang kekasihmu, merapikan ujung kerudungnya. Aroma parfum menyerbu cuping hidung dan membuat pening kepalamu. Kamu tak pernah melupakan perempuan itu.
Kamu kembali duduk kemudia menyembunyikan tubuh layumu di balik rumpun palem bambu. Sebuah panggilan masuk. Buru-buru kamu menolaknya dan mematikan sambungan internet. Rindu berhenti bertalu di jantungmu. (*)
Fika Anggi, seorang perempuan yang sedang belajar menjadi ibu, manusia dan penulis yang baik.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata