Mari Bijak Bersampah

Mari Bijak Bersampah

Mari Bijak Bersampah
Oleh : Lutfi Rose

Setiap kali aku menghadiri sebuah acara–hajatan, pensi, pengajian dan acara sejenisnya yang mendatangkan massa–selalu ada rasa sebal usai acara. Bukan karena tak suka keramaian, tetapi lebih pada apa yang mereka tinggalkan usai pesta. Mereka akan menghasilkan sampah yang berserakan di segala sudut dan aku harus menahan gondok selama acara berlangsung karena melihat orang-orang melempar atau menjatuhkan begitu saja bekas bungkus makanan mereka. Mengapa juga semua makanan harus dibungkus satu-satu? Bukankah lebih mudah jika makanan itu disajikan di atas piring tanpa disertai kertas juga plastik pembungkus?

Demi mengurangi rasa sebalku, aku mulai membuat acara sendiri: memperhatikan setiap tingkah laku orang-orang di sekitar. Ya! Aku mengamati semua kelakuan aneh mereka. Perlahan aku mulai mendapat benang merah penyebab kelakuan unik masyarakat Indonesia memproduksi sampah, antara lain:

Pertama, anggapan lumrah ketika seseorang membuang sampah seenaknya.

Ini sepele tetapi sangat penting dalam menciptakan kekotoran ekosistem lingkungan kita. Coba saja kalian amati! Pernah lihat pengendara mobil mewah menepi hanya untuk membuang sekantong keresek sampah ke luar jendela, atau bahkan tanpa menghentikan mobil hanya cukup membuka jendela lalu melempar sampah dari dalam? Atau malah kalian adalah salah satu dari mereka? Jika itu kalian, kuharap setelah membaca tulisanku ini, kalian akan belajar berubah dan tak akan mengulangi lagi.

Jika saat itu kalian adalah orang yang menjadi saksi kelakuan buang sampah sembarangan oleh seseorang, apa yang kalian lakukan? Menegur, mengumpat, atau malah memaklumi saja? Nah! Pemakluman itulah yang perlahan merusak moral generasi berikutnya. Bisa dibayangkan ketika ada seratus mobil yang melakukan pembuangan sampah secara bersamaan, jika satu sampah terdiri dari sekitar satu ons sampah, maka akan ada sepuluh kilogram sampah dibuang sembarangan saat itu juga. Dan jika itu dilakukan secara periodik, bisa dibayangkan tak akan butuh waktu sampai tahunan, seluruh jalan akan dipenuhi sampah dan itu mulai tampak di beberapa titik di beberapa daerah saat ini.

Kedua, anggapan rese pada orang yang menegur pelaku pembuangan sampah sembarangan.

Ini aku pernah mengalami sendiri, bagaimana ketika aku menegur seseorang yang telah membuang sampah seenaknya dan dia malah pasang mimik tak sedap mata. Lho, kan! Kenapa jadinya aku dianggap rese dengan kesenangan dia? Apakah kalian pernah mengalaminya? Atau jangan-jangan kalian malah si pembuang sampah itu? Tutup mata, deh. Keterlaluan!

Ternyata hal semacam ini gak aku alami sendiri. Ketika aku mencoba mengedukasi anak-anak tertib sampah dan meminta mereka menularkannya pada teman-teman di sekolah, mereka mengalami hal yang tak jauh berbeda: dicibir dan dianggap rese.

Ketiga, kebanyakan orang-orang menganggap bahwa membuang sampah itu hak pribadi masing-masing.

Karena itu hak, maka tak ada seorang pun berhak melarangnya. Padahal nih, ya, yang punya hak bukan dia saja, orang lain juga memiliki hak yang sama, termasuk hak untuk memiliki lingkungan yang bersih. Kalau memang setiap orang menuntut kebebasannya dalam merusuhi dunia, lalu bagaimana dengan orang lain yang juga ingin menuntut haknya hidup sehat?

Keempat, masyarakat kita tidak pernah benar-benar membersihkan sampah di lingkungannya tetapi memindahkan sampah dari lingkungan sekitarnya ke lingkungan lain.

Kok bisa? Pernah berpikir gak? Saat kalian menyapu, mengumpulkan sampah plastik, dkk., selanjutnya kalian buang ke mana?

Nah! Sampah tersebut rata-rata akan dibuang kembali ke tempat lain: bisa selokan, pekarangan, jurang, bahkan sungai. Lalu ke mana selanjutnya sampah itu? Ya bakal berakhir di satu tempat yang sama, kalau gak nyangkut di saluran air, maka akan berkumpul di lautan. Lalu apa yang terjadi? Laut akan penuh dengan sampah, kotor, tercemar dan akhirnya kita akan kehilangan pemandangan indah di pantai. Sekali lagi ayo dibayangkan, jika pantai penuh sengan sampah, apa yang bisa kita nikmati? Janganlah kita mengeluh dengan penuhnya sampah tetapi tidak ada tindakan konkrit dalam pencegahan juga pengolah sampah itu sendiri.

Terakhir, tidak ada aturan yang tegas mengenai sampah.

Pemerintah seolah tutup mata atas problem sampah negri ini. Seandainya ada aturan yang ketat tentang cara pembuangan sampah atau minimal ada pembatasan yang jelas tentang produksi barang yang menghasilkan sampah, tentunya problem sampah tidak akan sepelik ini. Kembali lagi sampah menjadi masalah yang berakar dari kesalahkaprahan masyarakat yang kemudian ditularkan ke anak-cucu sehingga menjadi kebiasaan buruk yang seakan mendarah daging.

Baiklah, sebagai penutup uraianku yang rada gak jelas ini, cukup satu kalimat saja:

Yuk, kita mulai dari keluarga dulu, ajari anak-anak bijak bersampah, buang di tempatnya, pisahkan sampah organik dan non, kurangi penggunaan kemasan plastik dan sebisa mungkin daur ulang sampah.

Semangat ya, mari kita mulai kebaikan dari diri sendiri dan lingkungan keluarga terdekat. Percayalah kelak tindakan kita akan bisa meng-influence orang lain untuk mulai berubah menjadi lebih baik. (*)

 

Lutfi Rose, seorang perempuan yang punya banyak mimpi dan selalu percaya pada keajaiban.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply