Sang Pembunuh
Oleh : Aisyahir25
Setiap hari aku melihat orang itu. Berjalan dengan pelan sambil menunduk. Menutup wajahnya dengan masker, serta selalu memakai penutup kepala hoodie-nya. Hingga tak satu pun yang tahu rupa orang itu.
Setiap ada kejadian pembunuhan, pastilah dirinya selalu muncul di lokasi itu. Memantau sesaat lalu pergi begitu saja. Ada separuh orang yang mencurigainya, mereka menganggap bahwa orang itulah pembunuhnya. Tapi, tak ada sedikit pun bukti yang bisa membenarkan tuduhan tersebut. Hingga pembunuh itu belum juga ditemukan, dan orang itu bisa bebas berkeliaran ke mana saja.
Akhir-akhir ini, kerap kali terjadi peristiwa pembunuhan. Dan lokasinya selalu berada di tempat yang sama, waktu yang sama, bahkan dengan luka penusukan yang sama. Sepertinya pembunuh misterius itu hanya memiliki satu selera saja.
Jika lokasi dan waktunya selalu sama, lantas kenapa polisi tidak bisa menangkapnya?
Itu karena pembunuh tersebut memiliki kecerdikan yang luar biasa. Bahkan jejaknya pun tak bisa ditemukan. Hingga pembunuhan itu hanya menjadi sebuah misteri, yang mungkin tak dapat dipecahkan oleh siapa pun!
Aku masih fokus menatap lokasi pembunuhan yang berada tepat di sebelah rumahku. Tempat itu juga sebuah rumah yang telah lama tak dihuni oleh pemiliknya. Ukurannya sedang, cat pada dindingnya mulai terkelupas, atapnya juga sudah mengalami kebocoran, halamannya dipenuhi rerumputan, dan rumah itu tak memiliki pintu. Hanya sebuah jendela yang kacanya sudah pecah dan tak berbentuk. Dan rumah itu sudah dianggap sebagai rumah hantu, sebab sering kali terjadi pembunuhan di sana. Bahkan para warga sering mendengar tangisan seorang wanita dari dalam rumah itu.
Semakin kutatap, aura horornya makin terpancar. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Hanya ada suara-suara aneh yang terdengar.
“Kamu liat apa dari tadi?” tanya Andi sambil menepuk pundakku. Ia adalah sahabatku, lebih tepatnya sahabat karibku. Ia seumuran denganku. Hanya saja badannya lebih tinggi dan berisi.
“Aku lagi liatin rumah itu,” jawabku sambil menunjuk ke sana.
Andi mengikuti arah petunjukku dan ikut menatap rumah itu. Namun hanya sebentar, setelah itu ia menatapku tajam.
“Kamu tidak takut melihatnnya? Rumah itu berhantu, bukan? Lantas kenapa kamu sangat suka melihatnya?” tanyanya seperti sedang mengintrogasiku. Ia duduk di sebelahku, menatap tajam ke arahku dengan ekspresi serius.
“Aku hanya ingin menatapnya saja. Siapa tahu aku bisa melihat pembunuh itu!” jawabku santai.
“Aku kamu pernah melihatnya?”
“Pernah!”
“Kamu mengenalinya?”
“Tidak! Wajahnya tak terlihat. Kenapa?” tanyaku penasaran. Entah kenapa sikap Andi sedikit berbeda hari ini.
“Aku pernah melihatnya. Itu pun hanya sekali. Dan ia suka berkeliaran di sekitar sini, mencari target baru untuk dijadikan korban!” jawabnya terlihat santai. Rasanya aku semakin tertarik dengan pembahasan ini.
“Kamu tahu kenapa ia melakukan ini semua?” tanyaku serius.
“Mana aku tahu? Kalau mau tahu, tanya saja langsung padanya! Sebab, bukan aku pembunuhnya! Lagi pula aku tak tahu banyak tentangnya, kenal aja nggak! Aneh kamu ini, Key,” katanya, lalu tertawa. Ia memang selalu seperti ini. Awalnya mengajakku pada keseriusan, lalu mengakhirinya dengan candaan. Aneh tapi nyata.
“Kebiasaan!” ucapku kesal.
Ia masih tertawa, sepertinya aku sangat lucu baginya.
***
Malam telah tiba. Suasana sunyi semakin terasa. Ayah dan ibuku masih belum pulang juga dari tempat kerjanya. Mereka baru akan pulang setelah pukul 21.00. Suasana terasa berbeda. Begitu sunyi dan tak berpenghuni. Ya, aku sendiri di rumah saat ini. Menghabiskan waktu dengan menulis buku harian tentang yang kualami hari ini. Terdengar membosankan. Tapi inilah kebiasaanku setiap malam. Menulis setiap kejadian yang kualami setiap harinya. Dan jika ada yang menanyakan tentang apa saja yang kulakukan di tanggal sekian, pastilah aku bisa menjawabnya. Sebab aku sudah menulis semuanya dalam buku harianku. Termasuk juga kapan aku selalu melihat pembunuh itu.
Setelah selesai menulis, aku pun menyimpan buku harianku di dalam laci. Membereskan meja belajarku, lalu bersiap untuk tidur. Namun, saat hendak mematikan lampu kamar. Aku seperti mendengar suara jeritan seorang wanita. Kadang terdengar jelas, dan kadang juga terdengar samar.
“Aaa, tolong!” Suaranya makin terdengar.
Tapi aku mengabaikannya, mematikan lampu lalu berjalan menuju tempat tidurku.
“Tolong aku! Tolong!”
Lagi-lagi aku aku mendengarnya, kali ini sangat jelas. Dari mana asal suara itu? Akankah pembunuh itu beraksi lagi? Aku mulai bertanya-tanya. Hingga rasa penasaranku tak bisa ditahan lagi. Dengan segera aku berlari keluar, tak lupa senter kubawa serta untuk menjadi alat penerangku di sana. Dan aku yakin suara itu pasti berasal dari rumah kosong itu.
Aku terus berlari menuju sumber suara. Dan semakin aku mendekati rumah itu, suaranya semakin terdengar jelas. Dengan begitu berani aku berlari ke tempat itu. Tanpa memedulikan apa pun yang kulewati, dan tanpa memedulikan keselamatanku sendiri.
“Tolong! Tolong!” suaranya semakin jelas.
Aku sudah sampai di rumah itu.
Dengan langkah yang pelan aku mulai memasukinya. Senter yang kubawa tadi sengaja kumatikan, agar tak memicu perhatian si pembunuh itu.
Aku semakin berjalan masuk. Melewati setiap ruang kosong yang dipenuhi dengan sarang laba-laba. Ada banyak ruangan di sini. Dan rata-rata telah hancur karena dimakan usia.
Suasananya begitu sunyi, gelap, dan kotor. Suara tadi tiba-tiba menghilang. Dan aku pun semakin berjalan masuk ke dalam. Hingga sampai di bagian paling belakang rumah ini, aku menemukan setitik cahaya.
Berjalan mendekat adalah hal yang paling konyol aku lakukan. Seakan-akan aku tengah berjalan mendekati lembah kematianku sendiri.
“Jangan mendekat!” teriak seseorang tiba-tiba.
Aku terkejut dan berhenti melangkah. Kunyalakan senter untuk mencari tahu keberadaannya.
“Jangan menciptakan cahaya! Itu akan menciptakan petaka!” teriaknya lagi. Sentak saja senter yang tadinya mulai kunyalakan, kumatikan kembali.
“Di mana kamu?” tanyaku mencoba mencari tahu.
“Di sini! Tolong lepaskan aku! Sebelum pembunuh itu datang kembali!” jawabnya. Dengan segera aku mendekati sumber suara. Dan betapa terkejutnya aku melihat seorang wanita cantik yang terikat dengan beberapa luka di sekujur tubuhnya. Dengan segera aku melepaskan ikatannya.
“Kenapa kamu bisa ada di sini? Tertangkap?” tanyaku seraya melepas ikatannya satu per satu. Bau darah begitu menyengat, entah sudah berapa korban yang pembunuh itu tewaskan di tempat ini.
“Tolong bawa aku cepat pergi! Ia akan kembali! Ia akan kembali!” jeritnya histeris.
“Siapa? Pembunuh itu?” tanyaku penasaran. Ia hanya menangis, lukanya begitu parah. Dua bekas sayatan pisau di lengannya, tiga bekas sayatan di wajah dan kakinya, dan dua tusukan di bagian dadanya. Pendarahannya semakin parah, aku mulai membantunya untuk berdiri. Agar aku bisa membawanya ke rumah sakit. Aku rasa orang itu bukan hanya seorang pembunuh tapi juga seorang psikopat.
“Ayo cepat kita pergi!” ajakku sambil membantunya berjalan. Kondisinya semakin lemah, darahnya semakin banyak keluar, bahkan telah mengotori piamaku.
“Aku tidak kuat,” gumannya lirih.
Aku masih terus membantunya. Aku harus cepat sebelum pembunuh itu datang. Namun, seketika langkahku terhenti saat ada badan kekar yang menghalangi jalanku.
“Itu mangsaku! Lantas kenapa kamu ingin membawanya?” Suaranya serak dan tegas, hingga membuat nyaliku menciut seketika.
Perlahan aku mulai memberanikan diri menatap wajahnya.
Deg!
Aku mengenali wajah itu.
“Andi!” panggilku tak percaya. Seketika lututku lemas. Pakaiannya sama seperti pakaian yang sering kulihat pembunuh itu kenakan. Tapi, aku tak percaya jika pembunuh itu adalah dirinya.
“Ternyata kamu, Key!” ujarnya sembari tersenyum. Namun, senyum itu sangat menakutkan bagiku.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyaku mulai ketakutan.
“Dialah pembunuh itu! Ayo kita lari sebelum ia menangkap kita!” teriak wanita yang aku bantu itu dengan wajah ketakutan.
Pembunuh? Andi, pembunuh itu? Bagaimana mungkin?
“Diamlah, wanita jalang!” bentaknya lalu menyeret wanita itu pergi, bahkan aku juga ikut diseret olehnya. Cengkeramannya begitu kuat, ia menyeret kami kembali ke tempat itu. Mengikatkan tali, lalu menatapku dengan tajam.
“Apa maksud semua ini, Andi? Apakah benar kamu pembunuh itu?” tanyaku tak percaya. Wanita tadi telah pingsan. Sepertinya ia sekarat sebab kehabisan banyak darah.
“Diamlah, Key!” bentaknya lalu menamparku begitu keras, hingga darah segar mulai keluar dari hidung mancungku. Tangan dan kakiku terikat dengan kencang, hingga aku tak bisa apa-apa.
“Auuh …,” ringisku kesakitan.
“Kamu sudah bertindak bodoh, Key! Dengan datang ke tempat ini, sama saja kamu telah masuk ke lembah kematianmu!” ucapnya sinis. Kulihat ia mulai mengambil sebuah pisau berukuran kecil. Mungkin pisai itulah yang ia gunakan selama ini, untuk melenyapkan para korban. Aku semakin ketakutan. Tempat yang semula gelap ini, tiba-tiba menjadi terang sebab pancaran sinar bulan purnama. Apakah ini malam kematianku?
“Aku tak menyangka, bahwa ternyata kamulah pembunuh itu! Cih, kamu itu seorang penjahat! Pembunuh! Psikopat!” teriakku memaki dirinya.
Ia hanya menyengir lebar, khas seorang Andi. Namun, sekarang aku tak menumukan sosok Andi dalam dirinya. Yang kutemukan hanyalah sosok pembunuh yang begitu menakutkan.
“Berteriaklah sesukamu, Key! Tak akan ada yang mendengarmu! Termasuk ayah dan ibumu. Sebab mereka sudah tewas di tanganku! Dan kali ini giliranmu, Key!” ucapnya lalu berjalan mendekat.
Sesaat aku mematung. Perkataannya begitu menohok hatiku. Ia adalah sabahabtku, tapi mengapa ia melakukan hal sekeji ini?
“Dasar penjahat kamu, An! Tak berperasaan!” makiku padanya. Aku tak tahu apa yang telah membuat Andi seperti ini. Andi tidaklah seperti ini. Ia humoris, ceria, dan sangat perhatian padaku. Lantas kenapa saat ini ia berubah menjadi monster mengerikan? Andai aku punya waktu, ingin sekali aku mendapatkan jawaban dari setiap pertanyaanku itu.
“Aaakh,” pekikku saat satu tusukan sukses menembus perutku. Rasanya sakit sekali.
“Ini semua terjadi karena kebodohanmu, Key! Seandainya kamu tak mengurusi kesenanganku, pastinya aku tak akan melakukan ini semua. Namun sayang, kamu terlalu berbahaya untuk dibiarkan!” jelasnya. Ia menatapku tajam. “Dan sepertinya, wajahmu cocok untuk menjadi kanvas dari karya seniku,” lanjutnya lalu mulai menggoreskan sayatan kecil di wajahku. Rasanya semakin perih, aku pun tak bisa melakukan perlawanan. Aku hanya berharap seseorang datang membantuku.
“Penjahat!”
Ia semakin melukiskan karyanya di wajahku. Entah apa yang ia gambar, aku hanya merasakan rasa perih itu semakin menyengat. Darah segar mulai memenuhi wajahku. Hingga membuatku tak sadarkan diri. Mungkin inilah akhir hayatku. Tapi aku berharap bisa bangun kembali untuk menuliskan kisahku malam ini dalam buku harianku. Serta meminta jawaban dari setiap pertanyaanku tentang Andi.
Aisyahir. Lahir pada 25 September 2001. Sangat suka membaca dan menulis. Dan berharap bisa menjadi seorang penulis yang berbakat. Dapat dikenal lebih dekat lewat akun media sosialnya:
FB: Aisyahir, IG: Aisyahir_25, dan WA: 085340292689.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata