Cara Untuk Move On

Cara Untuk Move On

Cara Untuk Move On

Oleh: Maulana

 

Bel sekolah telah berbunyi. Terlihat beberapa angkutan umum menunggu penumpang di depan sekolah itu. Dua angkutan telah melaju karena penumpangnya telah penuh. Aku menaiki salah satu angkutan umum yang masih mencari penumpang itu. Aku memilih duduk di belakang dekat kaca agar bisa melihat kendaraan di belakang angkutan. Ini sudah menjadi kebiasaan aku dan Rendi sejak kami masih kelas satu SMA.

Oya, perkenalkan namaku Elina Maharani, namun teman-teman memanggilku El. Dan laki-laki itu yang sedang berjalan bersama perempuan berambut sebahu, dia Rendi Putra, sahabatku juga cinta pertamaku. Sejak kelas satu aku selalu bersamanya. Pulang-pergi bersama. Kebaikan dan perhatiannya membuat perasaaan yang bernama cinta itu perlahan memenuhi hatiku. Membuat dadaku bergetar saat bersama dengannya. Dan membuat sesuatu yang bernama  rindu itu menggangguku setiap tidak ada kabar darinya.

Hingga pada pertengahan kelas dua, saat itu Rendi dengan wajah ceria menemuiku di gerbang sekolah untuk pulang bersama. Saat itu dia menceritakan bahwa dia menyukai adik kelas kami, Lili. Aku ikut tersenyum melihat  matanya bersinar menceritakan Lili, gadis cantik dengan rambut sebahu itu.

“Ren …,” ucapku menghentikan ceritanya

“Kenapa, El?“ Sekarang Rendi menatapku. Melihat wajahku yang serius, akhirnya dia melakukan hal yang sama.

“Ren, El juga suka sama orang,“ kataku kemudian. Aku tak berani menatap matanya, pandanganku kuarahkakan pada sepatu pantofelku.

“Benarkah? Siapa, El?” Rendi tampak antusias.

“Sama … eum … laki-laki … itu … eum … ka-ka-kamu,“ kataku terbata-bata. Sangat sulit mengungkapkannya. Namun hatiku menolak mendengarkan Rendi terus menceritakan gadis itu. Suasana berubah menjadi canggung. Kami masih berdiri di halte dekat sekolah menunggu angkutan umum. Rendi tak bersuara, begitu juga denganku. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing hingga angkutan umum datang.

***

Ini sudah hari kedua puluh delapan Rendi tak menyapaku, dia seperti sibuk dengan dunianya sendiri dan berusaha menghindari setiap kali kami bertemu. Aku memakluminya, mungkin dia terkejut dengan pengakuan perasaanku padanya, atau mungkin juga dia canggung untuk menyapaku, takut membuatku terlalu berharap pada dirinya.

Hari ini kulihat Rendi di sana sedang bermain basket bersama timnya. Di pinggir lapangan, Lili menunggunya sambil menyemangati. Sesekali Rendi menepi ke pinggir lapangan kemudian Lili menyodorkan air minum dan handuk pada laki-laki itu, Rendi langsung meraihnya dengan tersenyum dan mengusap puncak kepala gadis itu. Aku terus memperhatikan mereka dari balik jendela kelasku, hingga Rendi menyelesaikan latihannya. Tanpa sadar air mata mengalir di pipi melihat mereka berdua berjalan bersama meninggalkan sekolah.

***

Satu tahun setalah itu hubungan kami masih sama, tidak ada yang memulai menjalin komunikasi. Rendi akan melanjutkan belajarnya ke universitas di kota lain, begitu yang aku dengar dari teman-temannya. Sedangkan aku berencana akan melanjutkan belajarku di kota ini, sambil menemani Ibu berjualan di rumah.

Besok hari perpisahan untuk sekolah kami. Hari ini kelas tiga kembali berkumpul di sekolah melaksanakan geladi resik. Satu per satu panitia mengajarkan kami bagaimana prosesi wisuda nanti, juga adik-adik kelas yang bergantian maju ke atas panggung untuk melatih apa yang akan mereka tampilkan.

Di sisi kanan panggung, kulihat Lili bersama anggota band-nya sedang bercengkerama namun aku perhatikan Rendi tidak ada di sana, biasanya setahun terakhir Rendi selalu bersama Lili, mengambil alih posisiku di sampingnya. Ya, setahun terakhir bahkan ketika Rendi sudah tidak menghubungiku lagi, hanya tersenyum tipis ketika kita papasan, aku masih terus memperhatikannya dari kejauhan. Ketika dia ngobrol berdua bersama Lili, atau ketika dia bermain basket bersama timnya.

“Nyari Kak Rendi?” Lamunanku terhenti menyadari ada yang berbicara di sampingku, ternyata Lili sudah berdiri di sana. Sepertinya aku melamun terlalu lama sehingga tidak melihat kehadirannya.

“Kak Rendi lagi di Singapura untuk berobat.” Lili melanjutkan ucapannya. Aku menghadap sempurna ke arahnya. Tatapanku menyelidik, apa yang dikatakan gadis ini?

“Aku tahu Kak El mencintai Kak Rendi, seperti Kak Ren menyukai Kak El. Kakak tahu kenapa kita deket?” Gadis di depanku ini seperti bermonolog karena aku tidak menanggapinya, hanya diam berharap dia menjelaskan apa yang diucapkannya. Kuputuskan menggeleng sebagai jawaban.

“Ibu Kak Rendi meninggal karena HIV, Kak, dan sekarang Kak Rendi juga sedang berobat karena penyakit yang sama. Selama ini ibu Lili yang jadi dokternya, tapi ayah Kak Rendi langsung membawa Kak Rendi ke Singapura beberapa hari ketika ujian udah selesai. Kak Rendi tahu perasaan Kak El waktu dia  baca buku diary Kak El nggak sengaja, lalu dia minta bantuan Lili biar jadi deket dengan Kak Ren di depan Kak El, karena cuman Lili yang tahu semuanya dan bisa bantu Kak Rendi. Itu cara Kak Rendi biar Kakak bisa move on dari perasaan Kakak ke Kak Ren, dia takut akan pergi juga seperti ibunya.” Lili berkaca-kaca menceritakannya, sedangkan air mataku sudah mengalir deras sejak dia mengatakan Rendi terserang penyakit itu.

“K-kenapa dia nggak pernah cerita?” Akhirnya aku membuka mulut.

“Karena Kak Rendi suka sama Kakak. Dia nggak mau Kakak menjauhi dia karena penyakitnya, tapi setalah tahu perasaan Kakak, sore itu Kak rendi datang ke rumah Lili sambil menangis, dia udah ngerasa jahat ke Kakak. Akhirnya dia memilih jalan itu, menjauhi Kakak dengan dekat dengan Lili.”

Lili memelukku.

***

Lihatlah dia di sana, menggunakan setelan jas dengan kemeja putih dan dasi berwarna merah, tak lupa sepatu pantofel dan rambut yang disisir rapi. Dia tersenyum, wajahnya ceria, sangat kontradiktif dengan cerita Lili kemarin.

Pandangan kami akhirnya bertemu, dia tersenyum dan berjalan ke arahku.

“Hai, El, apa kabar?” sapanya ramah. Ini kalimat pertama setelah terakhir kami berbicara di depan gerbang sekolah setahun yang lalu.

“Baik. Kamu apa kabar? sudah bahagia karena sudah memikirkan cara agar aku move on, Ren?” kalimat itu kujawab hanya dalam hati. Karena yang keluar dari mulutku hanya: “Baik.” Tidak lupa dengan senyuman manis.

Tentu Ren, jika kamu saja memikirkan caranya agar aku move on, maka aku juga akan buat kamu berhenti mencemaskan aku dan perasaanku.

***

06 Oktober 2019

Maulana – kelahiran ’96 penyuka warna biru. Ig : jihanalmasm

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply