Hijrah (bagian 2)

Hijrah (bagian 2)

Hijrah (bagian 2)
Oleh : Lutfi Rose

Rasyid mengucek matanya yang terasa berat. Hampir semalaman dia tak bisa tidur, berpikir keras tentang apa yang disampaikan oleh ayah Listi. Semua yang terjadi di luar prediksinya. Dia memang mencintai gadis itu sepenuh hati, tapi tidak secepat ini untuk menikah. Dia masih harus menyelesaikan kuliah terlebih dahulu, membangun karier dan menyiapkan masa depan yang jelas untuk mereka berdua.

“Aku harus bagaimana sekarang?” keluh Rasyid sambil mengacak rambutnya, frustrasi.

Dia pikir bertemu dengan orangtua Listi akan menyelesaikan masalah. Setidaknya karena kedekatan mereka, kedua orangtua Listi akan menasihati putrinya agar mereka tidak sampai putus. Tapi kenyataannya bukan jalan keluar yang dia dapatkan, malah timbul masalah baru yang sungguh pelik. Ini seperti keluar dari mulut singa masuk ke mulut buaya. Apa kata orangtuanya jika dia tiba-tiba meminta izin untuk menikah?

Di tempat yang berbeda seorang gadis sedang duduk membaca buku di pangkuannya, jilbab marun bercorak bunga-bunga menutupi kepala. Dia tampak serius membolak-balikkan buku lembar demi lembar dengan sesekali mimik mukanya tampak berpikir keras.

“Ternyata banyak sekali hal yang belum aku tahu tentang Islam, aku harus belajar lebih banyak lagi,” gumamnya.

Gadis yang sedang duduk itu tak lain adalah Listi. Ini hari pertamanya pergi ke kampus mengenakan jilbab, memakai rok setengah lingkar berwarna toska tua dengan blus baby pink dan sebuah jilbab motif bunga dengan perpaduan warna yang serasi. Sebuah tas ransel berwarna cokelat susu diletakkan menyandar di paha kanannya. Penampilan yang jauh berbeda dari keseharian Listi biasanya.

Kemarin sore dia merayu sang ibu untuk membelikan beberapa setel baju baru guna ke kampus. Tak mungkin lagi dia mengenakan celana jeans yang ketat ke kampus setelah memutuskan menutup aurat. Akan percuma berjilbab jika lekuk tubuh masih dipamerkan. Tentu saja meski harus menguras tabungan, ibunya tetap mengabulkan iktikad baik putrinya.

“Lis! Ya Alloh, subhanalloh, aku pangling,” seru Mila–teman sekelasnya.

Listi tersipu sesaat, buru-buru memasukkan buku yang dibacanya. Sejurus kemudian memamerkan jajaran gigi dengan sebuah gingsul di bagian kiri atas yang menambah manis kulitnya yang eksotis. Mila melangkah lalu duduk di sebelah Listi, menyalaminya seraya cipika-cipiki. Terlibatlah mereka dalam obrolan yang seru sembari menunggu waktu masuk kelas.

“Apa kabar Bang Rasyid? Lama gak lihat dia nyamperin kemari, Lis?” tanya Mila di sela obrolan mereka.

Listi menarik napas, tampak jelas ada beban yang sedang mengganggunya. Dia memaksakan diri tersenyum.

“Kami … putus. Maksudku … aku yang minta putus.”

“Serius? Memang kenapa?” Mila tampak heran.

“Aku mau jadi muslimah yang baik, Mil. Hijrah ke jalan yang benar. Gak pakek itu pacar-pacaran, dosa.”

“Tapi, kan? Dia itu cowok baik, Lis. Duh! Sayang, deh. Belum tentu kamu bisa nemu yang sebaik dia lagi, lho,” ujar Mila penuh penyesalan.

“Kalau jodoh gak bakal ke mana.”

Well, terserah, deh. Cuma kalau ntar dia cari ganti, jangan marah kalau aku bakal ikut ambil bagian. Dia itu perfect, Lis. Banyak yang ngantri,” ucap Mila penuh semangat.

Listi tersenyum. Dia tahu bukan hal sulit bagi Rasyid menemukan penggantinya. Pria itu ketua BEMFA, juga anggota senat universitas, hal mudah mendapatkan gadis yang lebih darinya dengan modal ke-famous-annya. Meski sesungguhnya hati masih begitu berat melepas, demi niat hijrah, dia harus menepis jauh-jauh semua perasaan gamang.

Listi melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Sudah saatnya masuk kelas. Dia tepuk punggung Mila, mengisyaratkan untuk bergegas ke ruang kuliah.

Sepanjang koridor menuju kelas, Listi kepikiran ucapan Mila. Bagaimana jika benar-benar Rasyid berpaling hati? Listi menggeleng-gelengkan kepala, berusaha mengusir ragu yang mengganggu perasaannya.

***

Jalanan aspal menampilkan fatamorgana pada setiap sisi-sisinya. Mentari yang terik menegaskan genangan-genangan yang tercipta yang seakan mampu melepas dahaga para pengendara. Rasyid melajukan motor meninggalkan kota Malang menuju Pasuruan. Berkali-kali dia harus menekan klakson demi meminta kendaraan lain memberi ruang baginya menerobos kepadatan lalu lintas. Jarak tempuh Malang-Pasuruan yang butuh sekitar dua jam mampu dia selesaikan satu jam lima belas menit saja.

Roda motornya menggelinding dengan cepat. Derit suara gesekan roda dan kerikil ketika rem cakram ditekan mencipta suara yang perih di telinga. Jalan aspal telah berganti tatanan batu hitam bercampur pasir. Rasyid mengurangi laju motornya. Tak mungkin dia mengebut di jalan kampung yang yang berbatu dan terdapat genangan-genangan air sisa hujan semalam.

Rumah sederhana bercat hijau muda dengan dua tiang besi menjadi penyangga teras beserta halaman yang cukup luas, ditanami beberapa pohon mangga, menyambut kedatangan Rasyid. Satu sisi halaman yang lain, kosong, berlantai semen yang biasa digunakan menjemur hasil panen.

Rasyid menghentikan motor tepat di teras dekat pintu masuk. Pintu terbuka, seorang wanita paruh baya dengan rambut yang mulai memutih digelung ke belakang, menyambut kedatangannya. Buru-buru Rasyid mencium punggung tangannya.

Beriring mereka masuk ke dalam rumah.

“Bapak pundi[1], Buk?” tanya Rasyid ketika mereka telah duduk di ruang tengah.

Isih ning tegalan, Le. Wes ndang adus, Ibuk tak masak disek[2],” ujar ibunya sambil berdiri menuju dapur.

Isih to, Buk. Dalem bade matur[3],” cegah Rasyid pada ibunya.

Ngasuh sik, ngletak kono, bar Dhuhur bapakmu mulih[4].”

Rasyid tak mungkin memaksa, ibunya tetap melanjutkan langkah. Ditariknya napas dalam, mencoba mengusir gusar yang terasa makin tak karuan. Mungkin ibunya benar mandi lalu rebahan sebentar di kamar, siapa tahu bisa mengurangi kegalauannya.

***

Rasyid sudah berganti baju usai mandi dan kini tiduran di dalam kamar. Terlintas wajah Listi dengan senyum yang selalu membuatnya bahagia. Suara azan Dzuhur berkumandang, “Bapak sebentar lagi datang,” pikirnya. Dia mencoba menata hati dan memilih kalimat terbaik guna berbicara pada bapaknya.

“Le … ayo makan. Bapak wes rawuh iki[5],” suara ibu Rasyid dari arah dapur.

Nggih, Buk. Dalem sholat riyen.”

Rasyid segera ke musala di belakang rumah, di samping sumur. Dia menetapkan hati dan memohon dilancarkan segala niat baiknya pada Listi.

Sekitar lima belas menit kemudian Rasyid sudah duduk di meja makan bersama kedua orangtuanya. Bapaknya tampak semringah menyambut sang putra kesayangan.

“Tumben sudah pulang, Syid? Dwitmu opo wes habis?” tanya sang bapak sebelum menyuap nasi dengan lauk sayur lodeh dari piringnya.

Mboten, Pak. Yotronipun tasih wonten[8].”

Bapaknya bergumam. Dia tampak berpikir, tepatnya mulai menebak-nebak tentang kepulangan putranya yang mendadak. Ini tidak biasa. Rasyid jarang pulang kecuali memang ada yang penting. Anak lelakinya itu selalu sibuk dengan belbagai kegiatan kampus yang konon katanya demi mempersiapkan diri membangun relasi bisnis yang baik. Bapak Rasyid yang mengenyam pendidikan sampai SMA cukup mendukung segala rencana anak sulungnya. Namun sampai makan siang selesai, tak ada obrolan yang menjurus pada alasan Rasyid pulang lebih awal.

***

Langit mulai gelap, bintang-bintang bertabur menghias langit Pasuruan malam ini. Bapak Rasyid duduk di balai bambu di samping rumah sambil menghisap sigaret kesukaannya. Kedua adik perempuan Rasyid bercengkerama dengan sang ibu di serambi, mereka menyiapkan beberapa macam makanan yang bakal dibawa Rasyid kembali ke Malang esok hari. Rasyid duduk di dekat bapaknya.

“Pak … dalem bade matur.”

Ono opo?”

Asap mengepul dari bibir bapak Rasyid, membubung ke udara, lalu menghilang ditelan gelapnya malam. Sejenak pemuda itu diam, mengumpulkan tekad yang lebih bulat.

“Kan … sakmeniko dalem pun semester akhir, insyaalloh tahun niki wisuda[9].”

“Hem …,” gumam sang bapak tanpa menoleh.

Trus dalem kan sampun setahun luweh kalian Listi ….[10]”

“Hem ….”

Menawi bade ngelamar pripun, Pak?[11]”

Bapak Rasyid menoleh ke arah putranya. Dia tak tampak terkejut, hanya saja kerut di dahinya yang tampak makin mengerut menandakan dia sedang memikirkan sesuatu.

Bersambung ….

Catatan kaki:
1. Pundi: di mana?
2. Masih di ladang, Nak. Sudah cepat mandi, Ibu mau masak dulu.
3. Saya mau bicara.
4. Istirahat dulu, rebahan, selepas Dhuhur bapakmu pulang.
5. Bapak sudah datang ini.

Bagian 1 (sebelumnya)

 

Lutfi Rose, terlahir dengan bintang sagitarius, tinggal di kota dingin yang banyak buah apel. Dapat dihubungi via akin sosmednya: Fb @Lutfi Rosidah, Ig @Arifa Style, wattpad @LutfiRose, dan email Lutfirosidah83@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply