Malam Ini Kau Mengharapkan Kedatangan Lelaki Serigala

Malam Ini Kau Mengharapkan Kedatangan Lelaki Serigala

Malam ini Kau Mengharap Kedatangan Lelaki Serigala
Fika Anggi


Perempuan itu meringkuk di pelukmu yang dingin, ia menangis. Air mata meluap dari pelupuk, mengaliri pipi pualamnya, terus menuruni batang leher dan berakhir di permukaan kulitmu. Meresap ke tiap porimu yang terbuka dan meluncur menembusi jantung. Andai kau punya. Meski begitu, kau merasakan duka saat menahan geletar punggung dan pundak perempuan yang terisak di rengkuhan lenganmu.

Ada pedih yang lebih perih dibanding ketika gadis kecilnya mengiris-iris permukaan kulitmu dengan pisau mainan. Ada berat yang sarat ketimbang saat kau menahan beban dua tubuh setengah telanjang. Ada hampa yang tiba-tiba mengada ketika perempuan pujaanmu membenamkan kepala di pelukmu yang dingin.

Di luar bulan purnama, perempuan itu mungkin merindukan lelakinya.

Kau memuja perempuan itu. Kau menyukai binar di mata lebarnya saat pertama kali ia menatap tubuh bongsormu. Ia berjalan dengan langkah tergesa menuju ke tempatmu lalu menghempaskan pantatnya begitu saja. Tangan kanannya mengelus permukaan kulitmu yang halus beledu. Ia tetap mengusap-usap lenganmu sambil terus berdecak takjub di sela-sela obrolan dengan majikanmu. Kau mendapati perempuan itu menyembunyikan sekulum senyum setiap kali melihat padamu.

Esoknya kau diturunkan di depan sebuah rumah dengan sulur-sulur markisa menjulur menutup beranda rumah. Mengenakan rok selutut yang memamerkan sepasang tungkai jenjang, perempuan itu membuka pintu pagar. Di pinggangnya yang ramping seorang gadis kecil—yang kau taksir berumur tak lebih dari tiga tahun—nangkring, wajahnya bulat lucu dengan rambut ikal kemerahan. Perempuan itu tertawa senang, kelihatan sekali kalau ia memang menantikan kedatanganmu. Kau menyembunyikan kegirangan yang sama di balik lengkung sandaran.

Perempuan itu—yang kemudian kau tahu bernama Apri—meminta dua lelaki berseragam biru gelap untuk meletakkanmu di sisi yang tepat menghadap jendela panjang. Dari tempat tersebut, kau dapat menikmati peralihan warna langit saat senja, biru lembayung menuju merah kesumba. Setelah basa-basi soal cuaca, dua petugas toko mebel itu meninggalkanmu dan tak pernah kembali lagi.

Lelaki yang kau pikir sebagai suami Apri datang di sore yang lain ketika matahari berkubang dalam lautan mega merah. Seorang lelaki yang tampilan fisiknya membuatmu iri. Berperawakan tinggi-besar dengan dada bidang dan bahu lebar. Leher kukuh yang menopang dagu dan garis rahang tegas. Wajahnya cukup tampan meski kulitnya cokelat sawo terlalu matang. Mengenakan celana bermuda berwarna tanah basah dengan kemeja lengan pendek warna senada. Taruh kata kau seorang gadis dua puluhan, kau pun akan jatuh cinta pada pria berpotongan demikian.

Seseorang tak akan sungguh tahu tabiat kekasihnya sampai dia benar-benar menikah dengannya. Kau selalu berpikir bahwa lelaki lebih banyak kampanye saat pacaran. Mereka hanya akan menampilkan sisi apik mereka, yang royal memberi uang jajan, yang setia mengantar jemput ke mana saja, yang sabar dan suka mengalah. Setelah menikah, lelaki bisa berubah seratus delapan puluh derajat. Mereka sungguh mampu bersalin rupa menjadi monster di dalam rumah.

Malam itu purnama penuh dan kau menyaksikan sendiri bagaimana wujud lain suami Apri. Ia adalah seekor manusia serigala.

Mulanya kau terperangah, tak habis pikir bagaimana suami Apri tiba-tiba mengambil pose merangkak dan melolong panjang ketika bulan bulat menggantung di langit malam. Perempuanmu itu bersandar pada salah satu sisi dinding dan melempar tawa kecil melihat adegan sirkus di depannya. Pipi pualamnya bersemu merah dadu. Setelah lolongan panjang itu, lelaki serigala nenghempaskan tubuh mungil Apri ke atasmu. Detik berikutnya, pakaian Apri ditanggalkan dalam cabikan kasar. Napas panas mendengus di atas tubuh Apri. Saat Apri beringsut, deru memburu terasa di kulit beledumu.

Itu adalah pertama kali kau tahu bahwa suami Apri adalah manusia serigala. Melumat perempuan kecilmu dalam gigitan rakus yang membuat nyalimu mengerut. Beberapa kali lelaki itu menampar pipi Apri, mencekik leher rapuhnya dan menjambak ikatan rambutnya. Lelaki itu tak henti melolong dan menyeruduk tubuh mungil perempuanmu. Setiap kali lelaki serigala melesakkan tubuh Apri, kau ingin sekali mementalkan tubuhnya menembus plafon ruangan. Namun kau hanya mampu merutuk keadaanmu dan berharap kaki-kakimu tidak patah. Kau menyumpahi pori-pori tubuhmu yang menangkap erangan Apri yang makin lama makin hilang berganti rintihan dan desah kehabisan napas. Kesedihan mengepungmu saat Apri terkulai di atasmu.

Kau mengira kekasihmu itu mati.

Tentu saja kau terperanjat saat beberapa menit setelahnya Apri bangkit. Sedikit terhuyung ia menyeret tubuh kusutnya ke kamar mandi. Suara shower mengucur, menindas dengkur teratur lelaki serigala yang kembali menjelma manusia. Kau merasa lega, kekasihmu ternyata tak meregang nyawa meski napasnya sempat terengah-engah. Justru setelah mandi, perempuan mungil itu akan menjelma peri hutan molek dengan pipi merah jambu. Kecantikannya memancar menerangi ruang keluarga yang remang-remang.

Kau semakin jatuh pada pesona perempuan berpipi pualam.

Di tiap kedatangannya, lelaki itu selalu malih rupa. Saat bulan purnama ia menjelma manusia serigala, di lain waktu ia mengenakan penutup wajah serupa ninja dan menggenggam cemeti di tangan kanan. Apri memekik kecil saat lelaki itu melecut punggungnya yang terbuka. Pernah juga ia mengenakan koteka dan ada coreng-coreng di wajah. Menyanyi uwuwuwuwuu serta menepuk-nepuk dada layaknya gorila. Sedang tangan perempuanmu terikat di belakang punggung mirip tawanan perang.

Sebenarnya kau tak tega setiap perempuanmu dan kekasihnya melakukan ritual yang mereka sebut bercinta itu. Kau bergidik mendengar jeritan Apri sepanjang ritual, kau ngeri setiap kali perempuan itu tersengal. Kau khawatir ia benar terluka atau mati lemas. Namun tak bisa kau mungkiri kau menanti-nanti saat Apri menjelma peri hutan yang keluar dari kamar mandi, beberapa jam setelah ritual berakhir. Diam-diam, kau merindukan lelaki serigala jika ia lama tak kelihatan.

Sekian bulan berselang sejak peristiwa itu kau baru tahu bahwa Apri menyembunyikan banyak topeng di dalam lemari pakaiannya.

Siang itu perempuanmu menyandarkan punggung pada pelukmu yang senantiasa terbuka, sedang anak gadisnya sibuk bermain masak-masakan di dekatmu. Jari lentik Apri mengetuk layar gawai, bibirnya berdecak dua kali. Bukan rasa senang, lebih bernada kekesalan.

Dua hari kemudian seorang lelaki lain datang dan gadis kecil Apri berlari menyongsong dengan gembira. Memanggil papa padanya.

Kau berpaling memandang perempuanmu. Apri menyambut lelaki berperut tambun itu dengan senyum yang rekah meski, kau merasa tak ada aura bahagia di wajahnya. Gestur tubuhnya justru menunjukkan bahwa ia terganggu dengan kehadiran lelaki itu.

Berbeda dengan lelaki serigala yang datang ketika matahari rembang petang dan bersegera pergi ketika malam belum melampaui pagi, lelaki berperut tambun tinggal berhari-hari. Makan, mandi, tidur, menonton televisi tanpa terburu-buru. Suara tawanya menggelegar setiap kali bercanda dengan gadis kecil kesayangan Apri.

Dengan lelaki berperut tambun, Apri jarang berbincang kecuali gumam-gumam setengah malas. Perempuan itu lebih murung dan sering bersungut-sungut. Ia menghabiskan banyak waktu di dapur atau di kebun belakang. Kau kerap merasa iri pada benda pipih persegi yang tak pernah jauh-jauh dari perempuanmu.

Belakangan kau memandang muram pada langit malam yang tampak dari jendela di depanmu. Apri sudah jarang merebahkan tubuh di atasmu. Saat jam menunjuk pukul delapan, Apri masuk ke kamar gadis kecil, tidur bergelung dengan putri semata wayang. Sekali waktu lelaki berperut tambun akan mengetuk pintu kamar belakang, lalu wajah Apri yang murung akan menyembul dari sana. Mereka berbisik-bisik, kau tak bisa mendengarnya. Beberapa menit kemudian Apri menghilang di balik pintu kamar di mana lelaki berperut tambun tidur.

Tak sampai setengah jam setelahnya Apri keluar dari kamar depan dan berjalan tergesa ke kamar gadis kecilnya. Apri akan menutup pintu dengan pelan dan tak keluar-keluar lagi sampai pagi datang. Meski kau sangat penasaran kau tentu tak bisa berjinjit dan mengintip apa yang Apri dan lelaki berperut tambun lakukan di kamar depan. Dua jam lalu, nasib baik berpihak padamu. Kiranya Apri kurang rapat menutup pintu. Ada sedikit celah yang memungkinkanmu melirik ke dalam ruangan tempat ia dan lelakinya berbaring.

Kau melihat lelaki berperut tambun itu melolosi kain di tubuh Apri satu per satu. Dibaringkannya perempuan itu dengan perlahan di tengah ranjang. Tak ada tali mengikat pergelangan tangan Apri, tak ada kain penyumpal mulut, tak ada cemeti di tangan lelaki berperut tambun. Segala ritual tersebut berjalan khidmat dan lembut. Tak ada gigitan dan cabikan kasar, tak ada lecutan dan tamparan. Namun juga tak ada erangan dari bibir indah Apri apalagi jerit-jerit kecil. Tak ada lenguh yang disusul dengan gelepar tubuh. Malam bergerak lamban menuju subuh.

Setelah ritual itu berakhir, perempuanmu keluar kamar dengan tubuh yang lebih masai ketimbang saat menjalani ritual penuh dera siksa. Apri tak pergi ke kamar mandi, perempuan itu membanting tubuh kuyunya di atasmu. Tak ada peri hutan dengan pipi pualam melangkah ke luar dari kamar mandi dengan rambut basah yang masih meneteskan air. Tak ada kerlip kejora di mata Apri yang cerlang. Tak ada senyum simpul dan kidung yang mengalun lembut dari bibir perempuanmu.

Kau merasakan dingin merasuk melalui pori-porimu yang terbuka ketika Apri menangkupkan tangan menutup separuh wajahnya. Air mata terus turun dan berebut menembusi kulitmu. Puluhan pegas di sekujur tubuhmu menyerap dingin yang sublim dari kesedihan perempuanmu dan memantulkannya kembali dengan lebih getas. Pundaknya bergeletar, isaknya teredam.

Malam ini bulan purnama dan kau mengharap kedatangan lelaki serigala. (*)

 

Fika Anggi, seorang perempuan yang sedang belajar menjadi manusia, ibu dan penulis yang baik.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply