Bukan Tokoh Utama

Bukan Tokoh Utama

Bukan Tokoh Utama

Oleh : Mila Athar

Dia tersenyum elok memandang dunia. Rambut panjang hitam agak ikalnya menjuntai. Beberapa anak angin dengan nakal menerbangkan anak rambutnya hingga menutupi sebagian mata. Dengan kesusahan, dia berusaha membenahi rambut. Kurasa usahanya tak akan berhasil. Saat ini tangannya memegang kertas tebal dan sebuah minuman berwarna coklat susu. Angin semakin usil dan rambutnya semakin berantakan. Dan, aku agak suka dengan tingkah angin sore ini.

Lalu, tanpa aba-aba sebuah tangan kekar terulur dan membenahi rambutnya yang berantakan. Mereka saling menatap seolah tanpa sekat. Waktu seolah berhenti untuk mereka. Daun-daun gugur di sekitar mereka seolah menjadi latar indah. Aku di sini mendengus jengah, selalu saja begini. Kalau bisa, aku akan melempar mereka dengan batu-batu kerikil agar adegan memuakkan tersebut segera hilang dari dunia.

Dia kemudian melepas pandangan dan dengan suara mendayunya mengucapkan terima kasih. Sang lelaki hanya mampu memandangnya tanpa kedip ketika tubuh semampai dia bergerak gemulai.

“Begini lagi kan, aku lelah jadi pusat perhatian,” ujarnya jengkel dengan menatapku.

Aku sebenarnya agak terhenyak ketika dengan tiba-tiba dia menghampiriku. Aku diam, tak menjawab. Jika bisa sebenarnya aku ingin berteriak di depan mukanya.

“Bukannya kau suka jadi pusat perhatian, princess?”

Tapi tak mungkin, aku kan pendiam dan penyabar.

“Leon, aku tahu dia menaruh hati padaku, tetapi kamu tahu tidak? Badannya bau. Aku menahan napas ketika dia menolongku membenarkan anak rambutku tadi.”

Dia terus mengoceh sambil menyisir rambut di depanku. Menjelekkan lelaki berparas rupawan tadi dengan menggebu-mengebu. Kemudian dilanjutkan dengan pidato panjang tentang kelebihan-kelebihan dirinya sampai berbusa-busa. Suaranya hanya kuanggap sebagai dengingan tanpa tuan.

“Ya, beginilah nasib wanita cantik.”

Akhirnya kalimat sakti yang kutunggu ke luar juga. Aku menghela napas lega. Kalimat itu akan menjadi senjata pamungkasnya mengakhiri pidato kebanggaan dirinya.

Oke, aku agak tidak nyaman menyebut dia, dia terus sedari tadi. Kita sebut saja dia Moa. Alias moak-semoaknya. Akibat aku muak dengannya. Si Ratu pemenang kontes kecantikan. Setiap kali dia lewat, pandangan kaum adam tak mau lepas dari dirinya. Tubuh tinggi semampai, wajah bak dewi-dewi Yunani. Intinya, kesempurnaan fisik yang diidamkan wanita dimiliki oleh Moa.

Wajahnya selalu wara wiri di layar bioskop maupun layar kaca. Kau pasti pernah melihatnya. Wajah Moa juga selalu muncul di majalah kenamaan ibukota. Instagramnya sudah penuh dengan berjuta follower yang rata-rata adalah kaum adam. Setiap hari dia sibuk syuting film, sinetron, dan puluhan iklan.

Singkatnya Moa bagai Dewi Layar Kaca. Dia selalu menjadi pemeran utama dalam setiap sinetron atau film. Decak kekaguman adalah makanan sehari-hari Moa. Dimanapaun, kapanpun dia berada. Tapi decak kemuakan diam-diam ku sematkan untuknya setiap hari.

******
“Memang produser sontoloyo, bisa-bisanya dia menawariku pemain figuran. Kau tahu sendiri, aku tak akan mau menjadi pemeran figuran, aku harus selalu menjadi pemeran utama.”

Aku tergeragap ketika tiba-tiba Moa datang dan berkhutbah panjang. Aku mendelik, tetapi tenang, dia tidak akan menyadarinya.

“Walaupun katanya pemain figuran kali ini sangat berkarakter dan akan membuat karirku semakin berkembang. Tapi say to sorry, aku tidak akan menerimanya,” mulutnya yang mungil terus nyerocos tanpa henti.

“Pokoknya aku harus mendapatkan peran utama itu bagaimanapun caranya. Kau tahu, Erlangga Wiryawan yang akan jadi tokoh utama prianya. Si tampan dengan sejuta pesona tersebut bisa meningkatkan karierku sampai puncak,” jelasnya sambil berbinar-binar.

Aku menghela napas, benar sekali kalau ada yang bilang manusia itu punya sifat serakah. Salah satunya ya makhluk di hadapanku ini. Kurang apalagi, tenar sudah, kekayaan sudah, karier sangat bagus. Apalagi yang mau dia capai. Dasar manusia kurang syukur. Aku memaki dalam hati.

Andai aku bisa, aku ingin berteriak di mukanya. Manusia tak tahu syukur. Pindah ke planet Mars saja sana dengan kesombonganmu itu. Cantik muka, tapi hati busuk. Berpura-pura dengan senyuman memuakkan di depan orang lain dan kau memaki di belakangnya. Puluhan lelaki kau tolak dengan begitu kejam. Memuakkan sekali. Dan lagi-lagi aku hanya menelan perkataanku kembali. Aku takut dia akan membantingku dalam satu bantingan bahkan sebelum kalimatku selesai.

Ada banyak jenis manusia macam Moa ini. Dan cukup aku mengenal dekat satu saja. Itupun terpaksa. Mereka sebenarnya manusia-manusia berpenyakit. Dan hei, aku cerdas dan baik hati. Mengapa Tuhan tak memberiku wajah serupawan Moa. Aku pasti akan menggunakan dengan sebaik-baiknya. Lebih bersyukur dan rendah hati. Sayang aku hanya pemain figuran di di dunia ini. Dibutuhkan hanya saat-saat tertentu, kemudian ditinggalkan ketika tidak dibutuhkan.

******
Saat ini, aku hanya menatap Moa prihatin. Perban membalut semua wajahnya. Dia tertidur tenteram. Aku tak bisa membayangkan bagaimana responnya ketika dia terbangun nanti.

Aku berpikir, mungkinkah Tuhan sedang menghukumnya. Hukuman atas keculasannya mendapat peran utama tersebut. Padahal, kemarin dia masih bercerita dan tertawa terbahak-bahak ketika berhasil menyelesaikan film terbarunya dengan Erlangga Wiryawan.

Bahkan dia berhasil menggaet lelaki rupawan tersebut dengan pesonanya. Rencanya malam ini, Moa akan menerima pernyataan cinta lelaki tersebut setelah menggantungnya beberapa lama. Hingga kejadiaan naas itu menimpanya.

Tubuh yang terbalut baju rumah sakit berwarna hijau tersebut tiba-tiba bergerak. Matanya yang sedari tadi masih terpejam, kini terbuka. Aku menunggu dengan menahan napas. Sebentar lagi Moa akan sadar. Aku menghitung dalam hati.

Dalam hitungan ke dua puluh satu aku mendengar teriakannya dan dengan membabi buta dia membuang selimut, bantal, dan barang-barang di meja kecil samping kasur. Bunyi gelas pecah menimbulkan bunyi gaduh. Perawat datang tergopoh-gopoh menenangkan. Namun, Moa semakin mengamuk dan salah satu perawat terpaksa menyuntikkan obat penenang.

******
Setelah pekan ke enam lebih dua hari, perban Moa akan dibuka. Sejak dia mengamuk hari itu, dia menjadi pendiam. Walaupun aku berada di sampingnya, aku tak digubrisnya sama sekali. Bahkan dia terkesan seperti menjauhiku. Seperti anti pati. Meskipun kadang kala aku membenci sifatnya, aku sebal juga dicueki seperti ini. Aku merasa tak berguna.

Dokter dengan perlahan membuka perban di wajah Moa. Satu orang perawat mendampingi dokter dan membantu meletakkan perban. Aku menunggu dengan harap-harap cemas. Selain penasaran dengan hasil operasi di wajah Moa, aku juga berharap setelah ini dia mau berbicara denganku lagi.

Tinggal satu perban terakhir yang harus dibuka. Dokter menghentikan aktivitasnya.

“Apapun hasilnya nanti, saya harap Anda terus bersemangat nona. Kami sudah berusaha melakukan yang terbaik,” dengan lancar dokter memberikan keterangan.

Moa tak menjawab dan memberi tanda untuk segera melepas perbannya. Aku tak berani melihat lagi. Aku memilih untuk menunggu Moa menunjukkan wajahnya sendiri di hadapanku. Benar saja, setelah tiga ratus detik yang terasa lama Moa menghampiriku. Dia dengan perlahan menatap wajahnya sendiri dihadapanku. Aku belum sempat terkaget ketika dia tiba-tiba menjerit dan membanting tubuhku hingga pecah berkeping-keping.(*)

 

Mila Athar. Hanya seorang gadis biasa yang berusaha mengumpulkan aksara yang terserak di semesta.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply