Jelita
Jelita adalah namanya. Gadis yang cantik dan menarik. Tuhan menggenapi karunia-Nya dengan memberi perempuan itu bentuk tubuh proporsional dan warna kulit kuning langsat yang menawan. Ia nyaris tercipta sempurna. Payudaranya yang indah, lebih menyerupai dua bongkah pepaya yang bergelayut menggoda, saat ia muncul dari permukaan air untuk mengambil napas. Aku menelan ludah seperti biasa. Dari jarak beberapa meter ia tersenyum dan menatapku manja, namun aku hanya membalas dengan senyuman tipis. Ia lebih mirip seorang gadis kecil yang baru saja menemukan kesenangan di dalam air, dan aku tidak ingin mengganggu keasyikannya. Sejak pagi yang ia lakukan hanyalah bermain-main di dalam kolam renang sepanjang waktu. Bahkan Jelita hampir tidak memedulikan diriku yang sedang sibuk bermain dengan laptop.
*
Ingatanku melayang pada belasan tahun yang silam. Gadis kecil itu memang sebaya dengan Flora anakku, tahun kelahiran mereka sama dan hanya beda sebulan saja. Aku bahkan masih ingat ketika istriku memberikan sebuah kado yang berisikan baju-baju untuk “Baby Jelita.” Sungguh ia bayi yang menggemaskan.
Sejak kecil mereka selalu bermain bersama. “Apa yang dimiliki Flora tentu saja dinikmati oleh Jelita.” Mereka berbagi es krim, bermain boneka, menyusun Lego, melihat buku cerita bergambar; atau apa saja yang menarik bagi keduanya, kecuali berbagi ayah tentunya. Flora selalu merajuk jika aku menggendong Jelita dan berpura-pura sebagai ayahnya. Jelita adalah putri semata wayang Mbak Diah, tetangga sebelah rumahku. Ibunya adalah orangtua tunggal. Yang aku tahu, semenjak tinggal di sana, aku tidak pernah mengenal bapak kandungnya. Namun sebagaimana Mina istriku, aku juga tidak berusaha ingin tahu atau bertanya ini-itu. Kami pikir sebagai seorang tetangga yang baik, tidaklah penting untuk mengetahui urusan orang lain, apalagi urusan yang sebenarnya tidak penting. Ini adalah kota besar, di mana privasi orang lain adalah segalanya. Hanya sekali waktu Mbak Dyah pernah bercerita, bahwa ia telah lama berpisah dengan suaminya, bahkan semenjak Jelita masih dalam kandungan. Menurutnya, lelaki itu mempunyai perangai kasar dan “ringan tangan.” Hanya itu yang aku pernah tahu tentang ayahnya.
Jadi, jika sekali waktu Jelita dititipkan di rumah kala pengasuhnya sedang berhalangan, tentu kami dengan senang hati menerima kedatangannya. Bukankah begitu tetangga yang baik? Lagi pula Flora tidak mempunyai teman perempuan yang seumuran selain Jelita. Toh, mereka nyaris tidak pernah bertengkar dan akur-akur saja.
*
Jelita adalah jelita, namun ia sekarang berbeda. Dengan tubuh “bongsor” yang melampaui usianya yang sebenarnya, ia semakin memesona, bahkan sebelum anakku terlihat sebagai seorang gadis belia. Sesekali aku mencoba mengalihkan pandangan mata, jika tak sengaja melihat ia sedang menjemur pakaian sambil mengenakan tanktop dan hotpant seksi-nya, meski aku akui ada gemuruh hebat yang menggelora di dada. Seandainya ia adalah putriku sendiri, tentu saja aku akan marah bukan kepalang jika melihatnya mengenakan pakaian sembarangan (meskipun sebenarnya dalam hati aku sangat menikmati pemandangan tersebut).
“Jelita memang molek.”
*
Jelita adalah anak yang manis, tahu diri, dan pandai mengambil hati. Tak segan ia mau membuatkanku segelas kopi jika melihat istriku yang sedang malas, atau pura-pura tidak mendengar ketika aku sengaja menyuruhnya. Begitu juga dengan Flora yang sedang asyik melahap teenlit-nya dan tidak mau diganggu. Gadis itu memang lebih sering berada di rumahku ketimbang di rumahnya sendiri, bahkan sering dengan tanpa malu-malu ia memanggilku Ayah, yang kadang membuat Flora tersenyum simpul. Ya, aku tahu bahwa Mbak Dyah—ibunya memang sibuk bekerja untuk mencukupi kebutuhan mereka. Berangkat pagi buta, dan pulang saat senja telah terlewati. Makanya aku tidak segan-segan jika sesekali memberinya beberapa lembar uang yang besarannya melebihi sekadar uang jajan kepada Jelita. Tentu saja dengan cara sembunyi-sembunyi. Flora pasti iri dan mengira aku lebih menyayangi Jelita.
Aku hanya berpikir, gadis itu mungkin saja memiliki satu kebutuhan yang tak mampu dicukupi oleh ibunya. Ah, biar saja. Toh, ia sudah kuanggap anak sendiri.
*
Senja baru saja menghilang digumuli gelapnya malam, tatkala suara caci-maki dan benda-benda yang dibanting, membuat berisik dan mengusik keheningan sekitar. Dari balik tembok rumah, Mbak Dyah berjalan tergopoh-gopoh keluar pintu pagar sambil menangis histeris. Ia menyeret putrinya dengan kasar sambil menyebut-nyebut namaku dengan sebutan ANJING, BABI, dan berbagai macam sebutan lainnya yang tidak pantas di dengar kuping. Hujan makian terus dicurahkan dari mulutnya dengan enteng. Menghantam kedua gendang telingaku seperti gelombang tsunami. “Lelaki jalang, Bandot tua, Bajingan!” ia masih saja belum puas menyumpah-serapahi diriku dan mengecilkan suaranya meski telah memasuki pekarangan rumahku. Mina dan Flora saling berpandangan mata, seolah bertanya–namun beberapa menit kemudian mereka memandangku dengan tatapan yang tak seperti biasanya. Nanar. Namun bukan itu yang paling menyedihkan. Di keesokan harinya, istriku menggugat cerai dan mengusirku dari rumah setelah ia berembuk singkat dengan kedua orangtuanya lewat sambungan telepon. Mina sama sekali tidak menghiraukan tatapan mataku yang penuh penyesalan.
Aku menaruh gembolan pakaian ke dalam koper dan berjalan lunglai penuh rasa malu. Tak ada yang seorangpun yang menghalangi kepergianku, bahkan Flora yang sangat aku sayangi, juga tidak ingin menatap wajahku. Seolah aku adalah aib di matanya. Aku cuma menunduk dan menatap hampa pada batu kerikil yang bertebaran di jalanan.
Andai saja beberapa hari yang lalu, seorang tetangga yang tak sengaja melihat kami yang sedang memasuki halaman sebuah motel, tidak membuka mulut. Tentu tidak akan terjadi malapetaka ini. Seketika berita itu hinggap di kuping ibunya dan menjadi badai amarah.
Aku hanya diam dan berusaha tegar walau sebenarnya hati menangis. Pun, tidak ada pembelaan yang sanggup keluar dari mulutku sama sekali. Menyalahkan Jelita! Justru aku yang lebih dulu menggodanya. Hidup adalah pilihan, dan ada konsekuensi yang harus dihadapi. Ini memang sudah jalan hidupku. Lalu aku berjalan perlahan membuka pintu pagar yang berdecit lebih berisik dari biasanya. Aku tidak sanggup menoleh ke belakang. Malu ini tiada terperikan. Dari ujung jalan, suara tangis Jelita yang meledak terdengar. Ia berusaha berontak dan melepaskan diri dari pelukan ibunya.
Benar saja, tak lama ia telah berhasil menyusul langkahku. Ternyata ia lebih memilih aku ketimbang ibunya sendiri.
*
Di sinilah kami sekarang berada. Di dalam sebuah vila mewah di luar kota. Aku dan Jelita telah melangsungkan pernikahan yang dilaksanakan secara sederhana. Jelita kini mempunyai seorang ayah yang diinginkannya sejak kecil, dan itu hadiah paling indah baginya. Dan aku … Sekarang aku sedang merayakan perpisahan yang sangat menyakitkan dengan istri dan anakku tercinta. Juga bulan madu yang kedua.
*
“Sayang, lagi ngapain? Ayo temani aku berenang dong!” suara Jelita membuat lamunanku buyar.
“I-iya. Sebentar aku nyusul,” jawabku sambil mematikan laptop terlebih dahulu.
Terlambat! Jelita keburu menarik tubuhku ke dalam air. Byur … kami tercebur dan ia tertawa terpingkal-pingkal sambil memelukku. Namun belum lama rasa kagetku menghilang, tiba-tiba ia mencium bibirku dan mengulumnya rapat-rapat.
“Sayang, ini bulan madu kita, kenapa harus bersedih!” begitu ucapnya sambil menatap mataku lekat-lekat dengan binar matanya yang indah.
(K)
Karna Jaya Tarigan. An amateur writer.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata