Sepotong Roti dari Si Gadis Permen Karet Sisa

Sepotong Roti dari Si Gadis Permen Karet Sisa

Sepotong Roti dari Si Gadis Permen Karet Sisa

Oleh: Evamuzy

Ini hanya kisah tentang sepotong roti selai kacang, rasanya, juga tentang gadis itu.

Harus berapa kali lagi kukatakan kepadanya, bahwa aku kesal diikuti terus-menerus. Dia, macam permen karet sisa yang menempel di celana seragam sekolahku tepat di bagian pantat. Memalukan sekaligus mengesalkan.

“Dengar sekali lagi, berhenti mengikutiku!” Aku memutuskan berbalik badan saat mulai muak dengan ocehan kawan-kawan yang melihat gadis itu tidak henti-hentinya mengekor di belakangku, lalu membentaknya. Dia benar-benar tidak tahu kalau dirinya sudah mirip anak kucing burik yang mengikuti majikannya. Beberapa kali diusir karena si majikan jijik, tetap saja tidak peduli. Dasar tidak tahu diri!

“Kamu stop di sini. Kalau tidak, aku pastikan kamu tidak akan pernah bisa melihatku lagi.”

Akhirnya, seringai penuh kemenangan menghiasai wajahku yang rupawan. ‘Ancaman ini memang selalu berhasil,’ batinku senang. Sebelum meninggalkannya, aku melihat wajah gadis itu berubah murung. Sudah jelek makin jeleklah dia.

Wajib aku informasikan agar kalian tidak sepenuhnya menyalahkanku, bahwa dia memang teramat jelek. Tubuhnya memang tidak pendek juga tidak tinggi. Namun, yang salah itu wajahnya. Percayalah, tidak ada satu bagian pun yang sedap untuk dipandang. Dahi, alis, mata, hidung, bibir, semuanya masuk kategori tidak enak dilihat. Kulitnya seperti berdebu, rambut ikal dan kering, lengkap dengan gigi yang berantakan. Sempurna, dia bukan tipeku.

Mereka semua mengenal pria tampan ini adalah kapten tim basket kebanggaan sekolah. Jadi jelas, yang paling pantas menjadi kekasihku pastinya bukan gadis macam dia. Kalau bukan bidadari, ya, minimal gadis paling cantik dan terkenal sejagat sekolah.

***

Sorak-sorai para siswi menutup pertandingan basket yang baru saja usai dengan kemenangan telak milik tim kami. Maka, sudah tentu, aku akan lagi dan lagi menjadi serbuan gadis-gadis cantik di sekolah yang membawa handuk kecil juga air mineral di tangan mereka.

Pesonaku memang tidak pernah bisa tertandingi, lebih-lebih saat tubuh atletisku basah oleh keringat yang bercucuran. Namun, dari semua gadis yang menggilaiku, perhatianku selalu sempurna untuk gadis bermata indah dengan kulit seputih susu. Aku jatuh hati, dan hatiku telah memberikan nama istimewa untuknya. Cahaya. Itu bukan namanya memang, tetapi aku ingin menyebutnya demikian. Karena dia paling bersinar terang layaknya cahaya. Kamu pernah melihat ilustrasi putri-putri kerajaan? Ya, begitulah kira-kira dirinya.

“Ini untukmu.” Astaga … seperti setan, dia datang tiba-tiba, entah dari celah yang mana. Bukan Cahaya, bukan. Namun, si gadis yang mirip permen karet sisa itu. Tangannya sudah terulur tepat di depanku dengan memegang kotak makan warna biru muda bergambar sepasang pinguin. “Ibuku yang membuatnya. Ini enak sekali. Aku ingin kamu juga memakannya,” katanya lagi sambil tersenyum. Senyuman yang sama sekali tidak mengurangi kadar kejelekannya. Sia-sia.

Aku mengernyit. Sudah tentu aku tahu apa yang harus dilakukan. Me-no-lak-nya! Sebelum akhirnya seorang teman mendekat lalu berbisik di telingaku.

“Terima saja. Aku pernah dengar, pria tampan yang dianggap baik, akan terlihat seperti malaikat di depan para wanita.”

Kali ini aku menyeringai lebar. Benar juga. Meski gadis-gadis yang tengah mengelilingiku memasang tatapan sebal, tetapi aku yakin aksi itu akan membuat mereka simpati. Sudah tampan, baik pula. Begitu pasti pikir mereka. Segera kusambar kotak makan di tangannya, lalu berjalan meninggalkan mereka semua tanpa satu patah kata pun.

Di atas meja panjang kantin, kotak makan kubuka. Sepotong roti terlihat menggoda. Awalnya aku berniat urung memakannya, mengingat dari siapa roti ini. Namun, perut yang mulai berbunyi membuatku kalah juga. Perlahan, sepotong roti berhasil kukunyah, lalu menelannya. Tunggu! I-ini enak sekali. Seumur-umur belum pernah aku memakan roti seenak ini. Gadis permen karet sisa itu tidak berbohong. Rotinya benar-benar teramat lezat.

***

“Ini untukmu.” Esok dan esoknya lagi, dia selalu memberikanku kotak makan dengan warna berbeda-beda. Namun, selalu dengan isi yang sama. Sepotong roti dengan selai kacang. Rasanya juga tidak pernah berubah, sama nikmatnya seperti saat pertama aku memakannya.

Aku senang. Anggap saja ini rezeki pria tampan nan menawan. Meski sebenarnya ada sesuatu yang mulai membuatku tidak nyaman. Dia, si gadis permen karet sisa itu, seperti merasa mendapatkan izin untuk seenaknya mengikutiku ke mana saja. Dikasih hati minta jantung!

“Aku sudah selesai. Ini kotak makanmu.” Aku beranjak berdiri dari kursi kantin. Dia mengikuti.

Aku berjalan menuju lapangan basket, teman-teman sudah menunggu. Dia masih mengekori.

“Jangan mengikutiku,” ucapku dengan kesal. Dia seperti tuli, tetap saja ikut berjalan setelah aku melangkah lagi.

Aku berbelok menuju kelas untuk mengambil kaus, dia mematung di depan pintu. Kemudian kembali berjalan di belakangku saat aku melanjutkan tujuan. Cukup! Aku sudah geram padanya. Dia membuatku malu saat banyak pasang mata menatap kami.

“Stop! Pergi!”

Dia berdiri dan diam.

“Berhenti mengikutiku,” kataku lagi.

“K-kamu kenapa selalu marah padaku? Kenapa aku tidak boleh mengikutimu?”

“Karena kamu jelek!”

Matanya mulai berkaca-kaca. Tak sampai lama, setetes demi setetes air keluar dari matanya. Namun, aku tetap tidak peduli.

***

Itu adalah pertemuan terakhir kami. Bagai ditelan bumi, dia tidak pernah menampakkan wujudnya lagi di sekitarku apalagi di depanku. Kudengar, dia pindah sekolah sehari setelah kejadian itu. Tentu saja aku senang, akhirnya bebas dari gadis jelek itu. Meski itu artinya aku akan kehilangan jatah sepotong roti selai kacang yang rasanya kelewat enak.

Masa-masa selanjutnya, aku lewati dengan bahagia yang sama, menikmati pujian dari mulut-mulut gadis yang gila akan pesonaku. Aku hebat, bukan? Aku hanya sarankan kepada kalian agar tidak usah iri. Ini memang sudah takdirku. Dipuja dan dipuji.

Lulus SMA, kuliah, lalu bekerja. Aku tidak pernah berubah, tetap tampan. Bahkan banyak orang bilang aku semakin matang. Membuatku mudah sekali diterima di perusahaan besar dengan gaji yang besar pula. Ya, siapa yang mampu menolak pesonaku. Sang Don Juan.

Aku semakin percaya diri bahwa akan menemukan gadis cantik dan pintar. Aku juga menambahkan satu kriteria baru untuk wanitaku nanti. Dia harus menawan melebihi Cahaya yang berani-beraninya memutuskan hubungan kami demi menjadi seorang model internasional.

Hingga pencarianku pun berakhir. Bidadari bermata indah kini telah aku miliki, dalam dekapan. Seorang wanita cantik dan menawan yang mempunyai segala definisi keindahan. Aku sangat menikmati setiap inci bagian tubuh yang dia miliki. Dirinya juga tak kuizinkan jauh-jauh dariku. Dia, seperti candu. Aku mencintai, menyayangi serta teramat menginginkan wanita yang mengaku telah hidup sebatang kara itu.

Sepanjang malam-malam kami yang penuh gelora, aku sangat menggilainya. Aku, seperti menemukan surga dunia bersamanya. Sebelum sampai pada saat ini. Saat tanganku menemukan sebuah surat rujukan pemeriksaan rutin pascaoperasi plastik dari sebuah rumah sakit ternama atas nama dirinya. Nama bidadariku, nama dan identitas lengkap gadis permen karet sisa itu.

Julia, kamu tidak pernah berbohong untuk rasa sepotong roti selai kacang yang dulu kamu beri. Namun kali ini, kamu telah membohongiku. (*)

Evamuzy. Penyuka warna cokelat muda dan es krim rasa cokelat.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply