Menjadi Biru Baru

Menjadi Biru Baru

Menjadi Biru Baru

Oleh : Jmaulana

 

Kali ini naskahku dilempar setelah dibaca sekilas olehnya. Ini keenam kalinya untukku. Yang lalu, dia menyobek langsung naskah yang kutulis hampir sebulan itu, kemudian melempar dengan tega ke tempat sampah yang berada di sampingnya. Bukan hanya aku, namun hampir semua penulis yang bekerja di manajemen Bluetalk pernah mengalaminya. Karenanya kami, para penulis, sepakat memanggilnya BiGhost

Namanya Samudera Biru. Kami memanggilnya Mas Biru. Dia merupakan pendiri merangkap pemimpin redaksi dari Bluetalk, salah satu penerbit majalah remaja di kotaku. Sudah enam bulan aku bekerja di sini dan selalu bermasalah jika deadline sedang kami hadapi. Oh ralat, bukan hanya aku, tapi hampir semua penulis yang bekerja di sini bermasalah dengan BiGhost setiap deadline datang.

Selalu saja ada yang salah dengan kami, entah ide yang katanya sudah terlalu mainstream, padahal sudah kami bahas di dalam rapat redaksi sebelumnya dan sudah disetujuinya, atau editan yang katanya terlalu dewasa untuk ukuran majalah remaja. Bahkan saat ini, masalahku lebih sepele lagi, kurang menambahkan satu spasi pada sub judul naskah artikel yang kubuat, dan berakhir naskahku kembali terlempar ke sekian kali.

***

“Ditolak lagi, Dis?” Anisa menatapku prihatin dari balik kubikelnya. Kujawab dengan senyuman, semoga Anisa tahu bahwa aku kuat. Sebab sudah ketiga kalinya teman sebelah kubikel itu menyarankan resign dari Bluetalk. Bukan tak mau, tapi bukan hal mudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang memadai di kotaku ini.

Namaku Faradisa, setahun setelah aku menyelesaikan pendidikan sarjana, baru kali ini mendapatkan panggilan dari sebuah perusahaan. Dengan gaji yang lumayan dan tempat kerja yang cukup nyaman, tak mudah bagiku memikirkan apakan resign itu perlu, meskipun harus menghadapi atasan seperti BiGhost ataupun menjalani hari-hari yang melelahkan badan dan pikiran ketika deadline datang.

***

“Kan kemarin sudah di ACC, Mas,” protesku ketika sekali lagi naskahku di salahkan.

Lagi.

Ini sudah kedelapan kalinya sejak naskahku dilempar karena kurang spasi. Revisi ketujuh naskahku ditandai menggunakan bolpoin merah karena kurang menambahkan namaku di akhir naskah. Saat itu dia sudah mengatakan bahwa naskahku sudah sempurna. Namun hari ini naskahku kembali dilempar di depanku ketika kami rapat rutinan.

Penulis lain menatapku prihatin, mereka seolah mengatakan: “sabar, Dis ….” seperti yang biasa mereka katakan setiap salah satu dari kami mendapat masalah dari Mas Biru. Aku menghela napas, menguatkan sabar, aku harap kelak dia bisa menjadi Biru yang baru untuk tim Bluetalk.

“Tahu apa kesalahanmu?” tanyanya menatapku serius. Aku menggeleng, karena setiap kesalahan yang dia sebutkan sudah aku perbaiki delapan revisi terakhir. Dan selalu ada kesalahan baru setiap revisi, maka aku memutuskan menggeleng.

“Sudah saya katakan Adis, tugas kamu ngisi bagian cerpennya, kenapa malah ngerjain artikel?” Suaranya memenuhi ruang rapat yang hening. Aku melongo, bingung. Satu lagi kesalahan tak masuk akal yang diberikan Mas Biru. Padahal ketika rapat dipembagian tugas, kami semua sepakat mengganti tugasku dengan Dila, penulis baru di Bluetalk. Alasannya karena dia belum cukup pengalaman menulis artikel yang diminta oleh sponsor kami, karenanya saat itu Mas Biru menunjukku bertukar tugas dengan Dila menulis artikel. Dan hari ini aku disalahkan oleh keputusan yang diambil sendiri olehnya.

Sekali lagi aku menghela napas, mengumpulkan sabar, memikirkan keputusan.

***

“Masuk,” jawab Mas Biru setelah aku mengetuk ruangannya tiga kali. Kali ini kulihat dia sedang membaca dokumen yang ada di mejanya.

“Ada apa?” Dia bertanya tanpa mengalihkan arah pandangannya. Dari balik kacamatanya kulihat Mas Biru memiliki mata yang indah, tegas dan teduh jika saja bukan dia gunakan ketika memarahiku.

“Disa mau menyerahkan ini, Mas.” Aku meletakkan surat pengunduran diriku di mejanya.

Kali ini dia menatap surat yang kuletakkan di mejanya. Mengambil surat itu dan membaca tulisan pada sampul surat.

“Kamu … mengundurkan diri?” tanyanya kemudian, kali ini dia menatapku.

Aku mengangguk.

“Karena sering saya marahin?” tanyanya serius, kali ini dia menyenderkan tubuhnya pada kursi, matanya masih menatapku, tanpa senyum.

“Saya hanya merasa kurang cocok mengambil bidang ini, Mas. Mungkin Mas Biru bisa mencari penulis lain yang lebih berkompeten dari pada saya.”

“Jika …,” katanya terjeda, ia kembali menegakkan punggungnya menatapku yang mulai berkeringat dingin, gugup. Namun kutatap balik dirinya. Aku harus menunjukkan jika keputusanku sudah tegas. “Jika saya menjadi Biru yang baru, apa kamu mau bertahan?”

Aku mengerutkan dahi. “Maksud Mas Biru?” tanyaku tidak memahami maksud ucapannya.

Namun Mas Biru tidak menjawab. Dia bangkit kemudian berjalan menuju kulkas kecil di pojok ruangannya. Dia mengambil dua minuman bersoda kemudian menyerahkan satu untukku sambil menyuruhku duduk di depan kursinya.

Aku masih diam menunggu penjelasannya, kubuka kaleng minumanku kemudian meminumnya.

“Saya menyukai tulisan kamu, Dis. Tulisanmu bagus, mengalir, dan mempunyai karakter. Karenanya saya ingin selalu merevisi tulisan kamu agar sempurna.” Dia meminum sodanya.

“Jika sikap saya membuat kamu dan yang lain tidak nyaman, maka saya bersedia menjadi Biru yang baru agar kamu dan tim Bluetalk kerasan bekerja di sini.” Dia menatapku serius. Lalu melanjutkan, “Jadi Disa, maukah kamu memberi saya kesempatan menjadi Biru yang baru?”

Kali ini aku kalah, aku kembali mengangguk.

***

Kamis cerah. Aku mengenakan rok polos dengan kemeja motif bunga. Hari ini pertama kalinya aku akan kembali menyerahkan naskahku setelah kejadian resign seminggu yang lalu. Aku percaya bahwa setiap manusia berhak atas kesempatan kedua, begitu juga Mas Biru. Seminggu ini kulihat dia sudah cukup berubah, tidak ada lagi komplain dari teman-teman ketika mereka menyerahkan naskah mereka kepada Mas Biru.

Kuketuk pintu yang bertuliskan “Pimpinan Redaksi” di depannya, kemudian melangkah masuk ketika pemilik ruangan sudah menjawab ketukan itu.

“Cerpen minggu ini Mas.” Aku menyerahkan cerpen yang sudah ku print out, meletakkan di atas mejanya. Kali ini sambil tersenyum, tidak segugup biasanya.

Mas Biru mengambil naskahku, membacanya sekilas lalu melemparnya.

“Kenapa menggunakan nama tokoh Ani, Disa!”

Aku menghela napas.

***

 

Jmaulana

22-09-2019

Ig : jihanalmasm

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply