Ingkar

Ingkar

Ingkar
Oleh: Aisyahir25

Ini tentang aku. Tentang ibuku, dan kedua saudara tiriku. Tentang pesan yang Ibu berikan padaku, dan tentang janji yang kuingkari itu.

Ayah dan ibuku telah meninggal. Menyisakan aku, dan kedua saudaraku. Hidup yang selama ini kujalani penuh penderitaan akan lika-liku rumitnya hidup. Tepatnya sejak kematian Ibu, penderitaan itu semakin menjadi. Menyisakan luka yang semakin mendalam.

Sebelum meninggal, Ibu kerap berpesan agar aku selalu menjaga hubungan baik dengan semua saudara tiriku. Dan setiap Ibu menyampaikan pesannya itu, aku selalu menganggukkan kepala sebagai tanda mengiyakan kata Ibu. Padahal ingin sekali aku menolak pesan itu. Sebab perlakuan mereka yang tak pernah baik padaku. Walaupun Ibu tahu semua itu, ia tetap berpesan seperti itu. Ibu memang selalu berlaku baik pada mereka. Walaupun mereka hanya anak tiri, Ibu tak pernah sekali pun membedakan kasih sayangnya. Untukku, dan untuk mereka. Bahkan terkadang Ibu lebih mendahulukan keinginan mereka, daripada keinginanku sendiri. Hingga ada rasa cemburu yang tumbuh dalam hatiku.

Tapi, walaupun sikap Ibu begitu baik pada mereka, tetap saja mereka tak pernah menghormati ibuku, hingga rasa cemburu ini berubah menjadi amarah. Setiap hari Ibu selalu mendapat perlakuan kasar dari kedua saudara tiriku. Bukan hanya perlakuan, hinaan, serta bentakan pun ikut Ibu rasakan. Dan aku pun tak bisa membalas mereka. Sebab, Ibu yang melarangku.

“Jagalah hubungan persaudaraan kalian. Ibu tak ingin melihat adanya pertengkaran di antara kalian. Sebab kalian itu saudara. Dan saudara harus saling menyayangi. Jangan sampai terjadi permusuhan di antara kalian,” kata Ibu waktu itu. Waktu ia berada disaat-saat terakhirnya.

“Tapi, Bu, mereka itu tidak patut diberi hati. Mereka sudah jahat pada kita, Bu!” ungkapku dengan nada cukup tinggi. Kulihat Ibu tetap tenang. Menatapku dengan tatapan teduhnya.

“Walau bagaimanapun, mereka tetap saudaramu, Nak. Jadi Ibu mohon. Jagalah hubungan baik kalian,” jelas Ibu padaku. Dan aku pun hanya membalasnya dengan anggukan. Anggukan yang terasa begitu berat, namun tetap harus kulakukan. Dan itu hanya untuk melihat Ibu bahagia.

Di saat-saat terakhir Ibu. Hanya aku yang menemaninya, dan aku pun tak mengharapkan kehadiran saudaraku itu. Sebab aku tahu, mereka takkan mungkin datang. Hingga Ibu meninggal pun, mereka tetap tak datang. Membuat rasa amarah itu berubah menjadi benci yang mendalam. Ingin rasanya aku membalas perbuatan mereka selama ini. Tapi apalah daya, aku masih terikat akan janjiku pada Ibu.

Hari ini, adalah hari peringatan meninggalnya Ibu yang ke-40 hari. Rasa rinduku pada beliau kian bertambah. Aku rindu akan kasih sayangnya, dan aku rindu pelukan hangatnya. Namun kini, aku tak bisa lagi merasakannya.

“Semua aset kekayaan Ibu akan menjadi milik kami berdua. Dan jangan harap kamu akan mendapatkan harta sepeser pun. Sebab, semua kekayaan ibu tuamu itu adalah milik ayah kami!” kata Hendrik dengan nada penuh penekanan. Dia adalah kakak tertuaku, dan adiknya bernama Aris, mereka saudara tiriku.

“Jangan harap kamu bisa mendapatkan harta ayah kami. Bahkan rumah ini akan menjadi milik kami!” timpal Aris dengan nada tinggi. Aku terkejut mendengarnya. Masalah apa lagi ini?

“Kita ini saudara. Jadi kita akan tetap berada di rumah yang sama, dengan jumlah warisan yang sama.” Aku tak mungkin mengalah begitu saja. Walaupun aku tahu, kalau segala harta kami adalah milik ayah kami. Tapi, bukankah aku masih tetap memiliki hak?

“Saudara tiri lebih tepatnya! Sudahlah. Sekarang juga pergi dari rumah ini! Dan jangan pernah tampakkan wajah sok polosmu itu di hadapan kami berdua!” titah Hendrik dengan nada sangat tinggi. Ia bahkan memberikanku tatapan mematikan.

Aku diam membisu. Tak tahu harus apa. Jujur aku juga tak betah tinggal satu atap dengan mereka. Bersama mereka, membuatku merasa tinggal di tempat yang hampa dan mengerikan. Ya, dapat dikatakan rumah tanpa cinta.

“Pergilah! Atau perlu aku panggilkan satpam?” tanya Aris. Tepatnya mengusir, bukan bertanya.

“Aku bisa sendiri!” balasku, lalu berjalan keluar rumah. Tak lupa, foto Ibu aku bawa serta. Sebab hanya inilah hartaku satu-satunya. Aku tak punya apa-apa, selain Ibu. Dan aku tak membutuhkan apa-apa selain Ibu.
Biarlah aku mengingkari janji itu. Janji yang sebenarnya sangat tak ingin kusetujui. Jika memang ini yang terbaik untuk mereka. Maka aku siap pergi menjauh. Bukankah dengan melihat mereka bahagia, Ibu juga akan bahagia? Jadi biarlah aku yang pergi jika itu memang jalannya. Biarlah aku yang tersakiti, asalkan mereka bahagia. Kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan Ibu. Dan kebahagiaan Ibu, adalah kebahagiaanku. Biarlah janji itu aku ingkari.

 

Aisyahir25. Lahir pada 25 September 2001. Sangat suka membaca dan menulis. Dan berharap bisa menjadi seorang penulis yang sukses. Dapat dihubungi lewat akun IG: Aisyahir_25, FB: Irisma Cimma, dan WA: 085340292689.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply