Saya Kembali
Oleh : Ning Kurniati
Saya tidak tahu kapan mulai kembali dan tahu-tahu sudah ikut berjubelan dengan yang lain di tempat ini. Tempat yang dipenuhi dengan pelbagai warna dan wujud. Mereka tidak saling memedulikan antarsatu sama lain. Tidak antaranggota golongan, apalagi antargolongan. Hmmm. Belum berubah semenjak kepergian saya, sekarang malah makin menjadi-jadi. Semuanya mementingkan urusan masing-masing untuk sebuah kata sukses. Pada awalnya yah, pada awalnya, tetapi sekarang saya menyesal pernah memiliki keinginan itu. Saya hendak menyapa salah satu dari mereka, tetapi urung lantaran meneleng saja pada saya tidak, sekadar menyadari bahwa ada sosok yang berdiri di sampingnya, yang baru hadir di antara mereka setelah sekian lama mengendap di dalam lorong gelap. Lorong gelap itu tidak enak, tahu!
Dia merasakan kehadiran saya. Dia sadar tetapi merasa asing dan ada sedikit keraguan di sana. Wajar saja toh, setelah sekian lama. Tidak apa, saya bisa memaklumi itu. Pelan-pelan saya akan mengenalkan diri, lalu kami menjadi akrab, lalu berhasil sehingga keberadaan saya tidak menjadi sia-sia.
Jika masih seperti yang lalu-lalu, Dia akan tidur ketika pukul sepuluh malam dan bangun ketika pukul lima untuk salat Subuh. Itu jam biologisnya ketika terakhir kami bersama. Saya berharap masih sama, tetapi kalau berubah juga tidak masalah. Terpenting, Dia sehat jasmani dan rohani. Lucu sekali, sepertinya lorong gelap telah mengubah saya menjadi sedikit religius. Yah, sedikit, tetapi memang harus religius, kata Cahaya ketika saya masih di lorong gelap itu. Aah, Cahaya!
Cahaya itu, dia adalah sosok yang dinanti oleh siapa pun. Seperti filosofi namanya, “Petunjuk”. Bila dia sudah muncul, itu pertanda masa keberadaan di lorong gelap akan segera berakhir. Horeee. Setelah menampakkan diri berkali-kali, sepintas, dia akan menetap sebentar, lalu dimulailah hal yang menjemukan itu. Apalagi kalau bukan sesi ceramah. Siapa pun yang pernah berada di lorong gelap akan membenci sesi itu. Memang sejatinya tidak ada yang menyenangkan di sana. Tetapi, tidak cukupkah waktu yang dihabiskan gelap-gelapan, yang entah berapa lama? Kenapa mesti ditambah-tambah lagi? Tidak ada jam. Tidak ada hari. Tidak ada bulan. Tidak ada tahun. Oooh. Itu akan membuat kesadaran pulih betul, bukan? Tetapi tidak menurut Cahaya, itu bukan jaminan. Memang banyak kasus seperti itu, sih. Hihihi. Setelah sekian lama bermukim dalam kegelapan, baru sebentar berada di antara ingar-bingar eeh, kembali lagi merasakan kegelapan. Itu tidak diinginkan oleh siapa pun! Siapa pun! Ingar-bingar terlalu penuh warna, menentramkan, dan penuh kesenangan untuk ditinggalkan.
“Kamu tahu kenapa Dia terombang-ambing? Itu lantaran Dia mudah digoyahkan. Terlihat kukuh dari luar, tetapi di dalam Dia begitu rapuh, lebih rapuh dari kerupuk. Kamu sudah pernah lihat kerupuk, ‘kan?”
“Tidak.”
Tawa Cahaya meledak seketika. “Kamu sebenarnya berapa lama sih, berada di sana?”
“Cukup lama, mulai dari Dia kanak-kanak sampai Dia berumur sekitar tiga belas tahun. Tetapi, Dia tidak pernah makan kerupuk dan saya yakin Dia tidak pernah melihat itu sebelumnya.”
Dia resah. Saya dapat merasakan apa yang dirasakannya. Pasti beberapa dari mereka sedang berusaha menempati tempat istimewa itu. Tetapi kan, sekarang waktunya Dia untuk tidur. Tidak bisakah membiarkannya sebentar saja untuk istirahat. Dia butuh itu. Tubuhnya butuh. Benar-benar mengganggu. Semoga saja pengawas menangkapnya. Atau kalau perlu asingkan saja pada lorong gelap. Hahaha.
Saya berusaha menyibak barisan kerumunan. Sepertinya semuanya bangun. Yah, memang harus bangun, kan satu tubuh di tempat ingar-bingar ini. Jadi, semua merasakannya. Ooh, betapa tololnya saya.
Saya masih berusaha untuk lewat, tetapi semuanya begitu kuat saling mengimpit antarsatu sama lain, sehingga untuk mengintip saja, tidak bisa. Saya yakin sudah sekuat tenaga berpindah tempat, maju sedikit. Namun, kenyataannya saya tidak berpindah sedikit pun. Yang di sisi saya masih sosok yang sama. Ooh, semakin ke sini semakin sesat saja, ya. Rupa-rupanya, pertambahan umur Dia juga meningkatkan jumlah kami. Semakin sulit saja saya untuk sukses kalau begitu, dong. Ya, sudahlah! Sudah nasib pernah terendap, sudah nasib pula saya menjadi terbelakang begini. Lagian untuk apa juga maju ke depan. Toh, pasti yang di depan dan yang menemukan tempat itu akan mengadili si pembuat resah. Sedikit saran akan dijejalkan padanya. Bagus! Dia akan terengah-engah. Bagaimanapun, kami itu memiliki batasan tujuan yang harus dicapai. Lah, kalau jejalan saran itu ada, sudah pasti akan dijadikan beban tambahan. Tidak dijadikan beban tambahan, peluang kejadian yang sama terulang akan besar. Siapa pun tidak ada yang menginginkan kejadian yang buruk terulang kembali.
Semuanya kembali teratur, setelah sedikit kekacauan itu. Ketenangan dapat kembali dirasakan. Tetapi, tiba-tiba saya tertarik paksa, melayang, melambung entah akan ke mana. Seiring saya melambung, yang lain mulai kasak-kusuk. Awalnya hanya seperti dengungan nyamuk, namun lama-lama semakin besar, semakin besar, dan oh, seketika saya sadar sudah berada di tempat istimewa. Tempat yang dipenuhi bintang-bintang biru, bulan-bulan merah, dan langit-langit putih. Tidak, saya tidak menginginkan berada di sini. Siapa pun, tolonglah jangan ada yang memberikan saya saran. Tetapi … ini kabar baik. Dia mau mengenal saya. Dia menginginkan saya. Tetapi, saya harus bagaimana. Ini bukan waktu yang tepat. Ooh mereka maju. Pelan-pelan. Semakin dekat, semakin dekat, semakin banyak. Dan, saya pun dikerumuni. Mati!
Saya mendadak terbangun, tetapi tidak ingat kapan terlelap. Tidak pula ada ingatan terkahir tentang saya bisa berakhir di sini. Tetapi, saya yakin pasti sudah disodori saran yang sangat banyak diwaktu bersamaan, dan saking banyaknya itu saya tidak bisa mencerna lalu tak sadarkan diri. Semua itu sudah diberitahukan oleh Cahaya, kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi bila keadaan tidak biasa terjadi.
Saya perhatikan sekitar, seperti biasa tidak ada yang peduli akan keberadaan saya. Menyedihkan. Untung saja kami tidak mengenal kata menangis. Dalam artian kami mengeluarkan air mata. Tentu tidak, yang bisa melakukan itu hanya Dia. Sehingga, kami pun bisa mengenal dan merasakannya. Begitu juga dengan kata menyedihkan, hanya karena tahu rasanya, sehingga ikut juga menyebut bila mengalami keadaan yang hampir serupa dengan Dia. Ada pelepasan kesedihan ketika air mata mengucur, beriringan hilang dengan mengeringnya air itu pada kulit.
Duh, begitu lihainya saya berkata. Lorong gelap memang mengubah karakteristik. Hihihi.
Saya bangkit dari kamar tempat saya terkapar di lorong ingar-bingar ini. Semuanya sudah dalam posisi bersiap bila sewaktu-waktu dibutuhkan. Mereka berada dalam satu garis yang berkelok-kelok memanjang di depan kamar masing-masing layaknya jalanan, kami menyebutnya garis kelokan. Saya pun juga maju berada di antara mereka di posisi yang seharusnya.
Slogan kami mulai muncul dan terpampang jelas di sepanjang dinding garis “Jangan pedulikan yang lain, selama kamu yakin kamulah yang pantas, maka berusahalah sekuat-kuatmu, semampu-mampumu untuk menjadi pemenang. Kesuksesan ada dan ditentukan oleh kamu sendiri”.
Ritme alur dimulai, garis kelokan bergerak perlahan. Siapa yang dibutuhkan akan tinggal di tempat istimewa sampai tugasnya selesai. Untuk menempati tempat itu, hal yang paling harus dimiliki adalah tekad yang kuat untuk menang dan tentu saja karakteristik yang kuat. Agar tidak mudah digoyahkan dan terhempas. Harus kuat dari dalam dan luar. Kendala apa pun yang dihadapi, harus terlewati. Bila tiga kali gagal berturut-turut, selamat datang di lorong gelap.
Sebelumnya kenalkan nama saya Kejujuran yang dipenuhi rencana untuk jujur setiap waktu. Sesuatu yang tak memiliki entitas nyata dalam dunia, tetapi memiliki eksistensi. Mudah diingat, mudah pula dilupakan. Dilahirkan dan dibesarkan dari perkawinan pikiran masa lalu dan hari ini oleh Dia. (*)
20 September 2019
Ning Kurniati, perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Dapat dihubungi melalui bit.ly/AkunNing
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata