Ada Sangkuriang, Ada Dayang Sumbi
Oleh : Rachmawati Ash
Rasa sesak di hatiku, gemetar seluruh tubuhku mendapati seorang pelajar terkapar di atas aspal pagi ini. Aku meminta kepada suamiku menepikan mobil kami. Aku segera turun dan mencari celah di antara tubuh orang-orang yang semakin ramai menonton. Kepalaku mendadak pening, rasa mual menghunjam dari perut hingga kerongkonganku. Darah membanjir di wajah anak muda itu. Seseorang mengangkat tubuhnya, aku semakin terperanjat saat jaket yang dikenakannya sedikit tersingkap. Seragam sekolah batik yang merupakan identitas di mana aku mengajar.
“Setop, tunggu, Pak, saya mau lihat siapa anak itu,” kalimatku masih dengan tubuh gemetar.
“Apakah Mbak mengenal anak ini?” Suara bapak yang membopong tubuh korban tertuju kepadaku.
Aku mengangguk. Berjalan dengan rasa takut dan rasa ngeri yang berlebihan. Kuperhatikan wajah anak muda itu dengan saksama. Dari balik darah segar yang terus mengalir aku sulit mengenalinya wajahnya. Aku menggelengkan kepala, bukan, aku tidak mengenalnya.
Aku sempoyongan, aku menelepon ke pihak sekolah bahwa ada anak didik yang mengalami kecelakaan. Orang-orang kuminta membawanya ke rumah sakit terdekat. Aku kembali kepada suamiku. Dengan tubuh gemetar aku mengatur napas dan dadaku yang naik turun karena rasa takut yang berlebihan. Sebenarnya bukan karena melihat kecelakaan itu yang membuatku berdebar-debar dan ketakutan.
Jodi, iya, anak muda itu bernama Jodi. Dia anak kelas 3 IPA yang kuajar di SMA Perkasa. Beberapa hari yang lalu dia mengungkapkan pernyataan yang aneh kepadaku. Jodi mengatakan dengan tulus bahwa dia memiliki perasaan cinta kepadaku. Aku tidak mengatakan apa pun saat dia duduk di sampingku dengan ekspresi wajah dibuat-buat agar terlihat dewasa. Aku tertawa, karena aku tidak mengira ada anak didik yang akan mengungkapkan cinta kepadaku. Umurku sudah melewati kepala empat puluh. Putriku sudah kuliah dan putraku sudah duduk di kelas 2 SMA, bagaimana bisa anak muda itu mencintaiku? Aku menggelengkan kepala, berusaha memahami apa yang sedang terjadi.
**
Siang masih begitu terik, aku duduk sendirian di teras kantor, memandangi ikan-ikan di kolam yang berenang dengan gembira. Sengaja aku tidak pulang tepat waktu seperti biasanya. Aku merenung, mengingat kembali kalimat-kalimat abang iparku kemarin sore. Bang Riswan mengatakan bahwa suamiku memiliki wanita lain di luar sepengetahuanku. Aku berusaha keras menepis kabar itu. Meski sebenarnya hatiku sendiri antara percaya dan tidak percaya. Suamiku selalu pulang tepat waktu, lepas magrib kami sudah bersama dalam satu rumah. Tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan dari suamiku.
**
Pelajaran bahasa Inggris baru selesai, aku menyusuri koridor menuju ke toilet.
“Bu Meta, boleh aku bicara?”
Seorang anak laki-laki seperti mengikuti di belakangku. Aku memperlambat langkah, menunggu anak itu sejajar dengan langkahku. “Jodi, ada apa, Nak?” Aku memperhatikan napasnya yang sedikit ngos-ngosan, dan …wajahnya yang masih penuh luka basah.
“Bu Meta mau ke toilet, ‘kan? Ya sudah ke toilet dulu, saya tunggu di sini.”
Aku semakin tidak memahami maksud anak ini. Aku mengernyit, Jodi tersenyum kecil, matanya yang sipit bersembunyi saat tersenyum. Aku menyelesaikan urusanku di toilet, lalu kembali pada Jodi—siswaku yang mengaku mencintaiku.
“Jodi, kenapa belum pulang?” Aku duduk di kursi depan taman sekolah, melihat ikan-ikan berenang dengan riang dan gembira.
“Hemmm, aku masih menunggu Bu Meta,” jawabnya sambil ikut duduk di sampingku.
Kali ini ada rasa lain yang ada di hatiku. Aku merasa risi, ada sesuatu yang bukan seharusnya terjadi antara guru dengan siswa.
“Menunggu saya?” aku memastikan kembali bahwa aku tidak salah dengar. Jodi kembali tersenyum, matanya kembali sipit. Hatiku berdebar-debar, mendadak aku takut menghadapi anak didikku sendiri. “Kenapa menunggu saya? Ada materi yang belum kamu paham?” aku mencoba menetralisir perasaan kacau di hatiku sendiri.
“Bu Meta jangan pura-pura tidak tahu, atau pura-pura lupa.”
Jleb! Aku semakin takut menghadapi anak ini. Aku berdiri, bermaksud kembali ke kantor mengambil barang-barangku dan ingin segera pulang.
“Bu Meta mau pulang? Tidak menjawab pertanyaanku sekarang? Aku mencintai Bu Meta.”
Aku tidak memandang Jodi, aku malu pada diriku sendiri. Apakah selama ini aku sudah berbuat yang aneh-aneh atau berlebihan saat mengajar di kelas? Sehingga ada anakku sendiri yang mencintaiku bukan sebagai cinta anak kepada ibunya, namun cinta laki-laki pada wanita. Aku berjalan meninggalkan Jodi, mengucapkan kata maaf dan kalimat apa pun sebisa mungkin tanpa melukai hatinya. “Maaf Jodi ini sudah sore, sebaiknya kita segera pulang, selamat istirahat Jodi, semoga luka di wajahmu cepat sembuh.”
“Luka di wajahku bisa sembuh, tapi kalau Bu Meta tak menerima cintaku, hatiku pasti akan terluka, dan aku tidak tahu kapan sembuhnya.”
Darahku seolah berhenti mengalir, napasku tertahan dengan sendirinya, aku menoleh dan menatapnya dengan tajam. “Apa yang kamu katakan? Kamu anak saya, Jodi, berhenti menggoda Ibu, atau Ibu akan marah!” aku mengucapkan kalimat itu dengan nada mengancam.
Jodi berjalan mundur beberapa langkah, memutar tubuhnya untuk pergi meninggalkanku. “Aku bukan anak kecil. Bu Meta salah, aku punya perasaan seperti laki-laki lainnya.” Kali ini Jodi benar-benar meninggalkanku, membuat tubuhku kaku tak bisa bergerak karena ucapannya.
**
Ujian Nasional hampir tiba, aku berusaha menjalani hari-hari seperti biasa. Jodi telah berhenti menggangguku. Aku tersenyum mendapatinya sedang mengerjakan tugas di perpustakaan. Aku berusaha senetral mungkin. “Ada yang bisa Ibu bantu, Jo?” Aku duduk di sampingnya, Jodi tidak menjawab sepatah kata pun padaku. Matanya sibuk membaca dan tanggannya sibuk menulis. Aku membuka-buka halaman majalah yang kuambil di ujung perpustakaan sekolah. Rasa sesak kembali hadir di dadaku. Iya, akhir-akhir ini aku tidak mendapati suamiku pulang ke rumah. Kedua anakku sering bertanya keberadaan ayahnya, namun aku hanya bisa menjawab bahwa ayahnya sedang sibuk bekerja di luar kota. Dan Anak-anakku sudah cukup puas dengan jawabanku yang menyakinkan. Aku menutup wajah dengan dua telapak tanganku. Aku lupa dan tidak menyadari ada Jodi di sampingku.
“Bu Meta menangis?” Suara Jodi lembut mengurai di udara. Kedua matanya mengamati di sekitar ruangan, memastikan tidak ada orang yang mendengar ucapannya.
“Nggak, Jo, Ibu hanya lelah. Ibu akan kembali ke kantor untuk istirahat.” Aku beranjak meninggalkan Jodi, majalah yang kupegang terjatuh ke lantai. Aku dan Jodi mengambilnya dengan tangan mendarat di majalah bersamaan.
“Kalau Bu Meta tidak menyukaiku, jangan memghindariku, itu lebih menyakitkan,” ucapnya berbisik tepat di depan wajahku. Jantungku berdebar-debar lebih kencang, Aku kembali merasa malu pada diriku sendiri.
**
Tidak hanya Jodi yang memperlakukanku seperti seorang gadis remaja. Terkadang aku merasa takut atau bahkan risi saat berjalan sendirian. Suatu waktu aku keluar dari Indomaret, beberapa anak laki-laki berseragam SMA melihatku seperti gadis seumurannya. Untungnya mereka tidak menggoda atau meminta nomor WhatsApp-ku. Pernah juga aku datang ke sekolah putraku, hampir semua guru tidak percaya bahwa aku adalah ibunya. Sampai putraku dipanggil ke kantor untuk memastikan bahwa yang datang adalah benar ibunya. Atau kejadian lain yang membuatku tak habis pikir, teman-teman putriku datang ke rumah, mereka memanggilku “Mbak”, aku perkenalkan diri bahwa aku adalah ibu dari Sintia—anak pertamaku. Mereka tidak percaya dan mengira aku adalah saudarinya yang sedang bercanda.
**
Desember, hujan masih datang setiap hari. Membuat tanah basah tak berkesudahan. Udara dingin menusuk seluruh tulang rawan dan membekukan aliran darahku. Masih pukul empat sore, namun langit yang abu-abu merangkak menjadi gelap. Tiba-tiba aku ingin menghubungi suamiku, kutekan nomornya di ponselku, namun sebelum aku selesai pada nomor terakhir, suamiku meneleponku.
Aku menjatuhkan tubuh di sofa ruang tamu. Suara seorang pria, bukan suamiku. Mengabarkan dari seberang telepon, bahwa suamiku mengalami kecelakaan di ujung jalan dekat sebuah hotel.
Dengan tubuh gemetar aku mengambil payung, berlari menyusuri jalan yang tergenang air hujan. Aku sudah tidak sabar ingin memeluknya, memberinya pertolongan seperti yang sering kulakukan saat dia sakit atau terluka. Suamiku yang mencintaiku dengan lemah lembut, tak pernah melukai fisik maupun perasaanku.
Kakiku terasa berat, seperti ada beban ratusan kilogram yang menimpaku. Aku melihat mobil suamiku ringsek di bawah sebuah pohon besar. Beberapa polisi dan warga berusaha mengeluarkan suamiku dari dalam mobil. Air mataku bercucuran, sesak di dadaku, darahku seperti berhenti mengalir. Seorang wanita tidak sadarkan diri dalam pelukan suamiku. Seluruh tubuhku mati rasa, hatiku hancur, aku memutar tubuhku, melangkah perlahan-lahan meninggalkan lokasi pengkhianatan.
Air mataku membanjir, melebur dengan air hujan yang datang makin bertubi-tubi menyerangku. Aku yang memiliki paras cantik, tak pernah tua dan selalu menarik perhatian laki-laki yang melihatku, begitu pun aku yang bodoh, tidak berguna. Suamiku, cintaku, kehormatanku telah berkhianat di belakangku. Angin Desember yang dingin memain-mainkan payungku yang cantik, seolah mengejek nasibku yang tragis dan ironis.
Aku berlari, menyesali kisahku. Hujan semakin lebat dan menyerang apa pun yang dia inginkan. Aku memperlambat langkah. Seuntai senyum sinis membelah hujan. Menyayat hati bersamaan petir yang berkilat-kilat di langit gelap. Jodi, anak muda itu berdiri di depanku. Tubuh dan wajahnya sudah berubah, dia sudah lebih dewasa saat ini. Sejak lulus SMA dan menjadi mahasiswa aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Bibirku bergetar, dingin angin dan juga dinginnya hatiku yang pernah menyakitinya menyeruak di dadaku. Tiba-tiba aku merasakan sakit hati yang begitu dalam. Rasa sakit yang pernah kuberikan pada anakku, Jodi.
Jodi menghentikan langkah di trotoar yang semakin tergenang air hujan. Tatapannya tajam kepadaku, Aku dapat merasakan betapa dia membenciku. Aku tidak melakukan apa pun, aku hanya melangkahkan kaki meninggalkannya. Aku tidak ingin membuatnya lebih terluka lagi. Ya, Jodi membenciku dan ini yang terbaik untuknya, toh aku juga sudah mendapat balasan yang seimbang.
Rachmawati Ash adalah ibu dari Ibrahim dan Volkan, hobi membaca novel dan mengoleksi tanaman hias.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata