Sipemena, Kematian yang Dirayakan

Sipemena, Kematian yang Dirayakan

Sipemena, Kematian yang Dirayakan

 

Indonesia adalah negeri yang saya cintai. Negeri yang elok dan begitu indah. Kaya dengan sumber daya alam, juga kaya dengan keanekaragaman budaya. Terdiri dari bermacam suku, bahasa dan agama penduduk yang berbeda. Terbentang luas dari Sabang hingga Merauke, dari pulau yang satu ke pulau-pulau yang lainnya. Tak ada negeri lain yang mampu menyerupai negeri kita. Di mana lautan luas yang memisahkan daratan membuat akulturasi budaya lokal dengan budaya luar yang dibawa oleh pendatang.


Setiap daerah di Indonesia mempunyai adat istiadat yang berbeda dan mempunya keunikan sendiri-sendiri. Bhinneka Tunggal Ika atau Unity in Harmony.


Di dalam tubuh saya mengalir darah dari dari tiga suku sekaligus: Karo, Makassar, dan Sunda. Namun saya lebih cenderung menyebut diri saya “orang Indonesia.” Apalagi jika mengingat saya yang sama sekali tidak menguasai tiga bahasa daerah tersebut. Tentu teramat sulit untuk menghafal ketiganya sekaligus. Namun saya selalu menikmati keberagaman ini. Setidaknya saya jadi lebih mengetahui beberapa kuliner asli Nusantara ketimbang orang lain. Enak ‘kan?


Sampai tiba di suatu hari, saya melihat sebuah keunikan budaya suku asal bapak saya, namun sekaligus jua menggelisahkan hati. Itu tepat terjadi ketika ibu saya meninggal dan saya sedang berduka. Tamu-tamu mulai berdatangan, selain tetangga terdekat, teman dan sahabat, juga sanak saudara dari pihak bapak dan ibu. Mereka semua memberikan ucapan bela sungkawa. Namun yang paling setia dan sabar mengurus segala hal tentang proses pemakaman dan sesudahnya adalah keluarga dari pihak bapak. Mereka begitu hebat dan kompak, jujur saya sangat mengagumi mereka.


Biasanya setelah upacara pemakaman usai akan ada acara lain yang menunggu, meskipun jujur saya tidak tahu, dan hanya menebak-nebak. Seperti apa acara berikutnya? Bagaimana prosesi adat berikutnya ….

 

***

 

Sanak saudara dari keluarga almarhum bapak telah berkumpul di ruang utama, termasuk saya, dan adik-adik semua yang baru saja ditinggalkan almarhumah. Acara pun dimulai dan diarahkan oleh pembawa acara. Satu per satu dari kami harus mengucapkan sepatah-dua patah kata sambutan, atau keluh kesah yang ingin disampaikan setelah kepergian almarhumah ibu. Setelahnya, beberapa orang dari kerabat kami juga secara bergantian, menyampaikan kesan dan pesan; petuah-petuah bijak. Namun salah satu yang paling mengejutkan adalah ketika seorang sepupu yang bertindak sebagai wakil keluarga besar mengatakan, bahwa ia meminta maaf jika pesta pemakaman ini kurang “meriah.”


“What? Dua kata: pesta ini kurang meriah ….”


Saya speechless. Saya yang sedang berduka langsung terhenyak begitu mendengar kata pesta! Ternyata bagi suku saya dan beberapa suku lainnya di Indonesia kematian mempunyai banyak makna. Dan saya mencari tahu ….


Kematian bagi kami, masyarakat Karo merupakan kehilangan yang mendalam. Namun cara suku kami merayakannya memang berbeda dengan sebagian masyarakat. Bagi teman, saudara, atau sahabat non muslim yang meninggal, akan dipakaikan busana adat Karo sebagai lambang kebesarannya. Di sekitar peti akan diletakkan benda-benda kesayangannya yang menurut kepercayaan, benda-benda tersebut kelak akan digunakan oleh orang-orang yang sudah meninggal. Namun untuk kami sebagai penganut agama Islam, hal seperti ini tentu tidak dilakukan. Hanya semangat melanjutkan tradisi saja yang telah disesuaikan, misalnya mengurus pemakaman dengan sebaik-baiknya. Atau saling menguatkan silaturahmi dan memberikan nasihat-nasihat berguna bagi keluarga mendiang.


Jadi ada dua hal menarik yang dilaksanakan pada pesta adat berlangsung.


Yang pertama, seperti bagian cerita saya di atas tadi: tamu-tamu atau keluarga dekat yang ditinggalkan diberi kesempatan untuk menyampaikan kesedihannya atau menyampaikan keluh kesahnya. Bagian ini disebut nuri-nuri.


Yang kedua, menyampaikan duka cita dengan cara “bernyanyi atau menari.”


Orang Karo memiliki nyanyian yang khas dan suara yang lumayan merdu. Ini jelas berbeda dengan suku Batak di sebelahnya, meskipun banyak orang yang menganggap suku Karo dan suku Batak masih memiliki keterkaitan nenek moyang. Biasanya nyanyian atau ratapan tersebut akan diringi ensambel tradisional yang bernama gendang lima sedalenan. Namun sekarang fungsi ensambel tradisional tersebut telah digantikan dengan organ tunggal yang lebih canggih.


Pada pesta kematian, gerakan tarian yang diperagakan sangat berbeda dengan gerakan tari di pesta biasa yang lebih ceria. Sang penari justru bergerak lebih gesit dan lincah dengan posisi agak membungkuk. Tidak ada gerakan lambat dengan posisi jari dan tangan yang sejajar dengan dada seperti tarian pesta. Juga tidak ada gerakan perlahan dari atas ke bawah yang berulang-ulang dan membutuhkan kelenturan dan kekuatan kaki.


Wajah sang penari pun hampir tanpa ekspresi. Hanya fokus pada gerakan. Sipemena di daerah asalnya, biasanya diadakan tiga hari berturut-turut. Jika kalian berfikir ini memakan biaya yang sangat besar: ya, membutuhkan dana cukup besar. Untuk menjamu tamu-tamu, juga menyewa peralatan musik. Namun biasanya keluarga besar juga ikut membantu dalam bentuk sumbangan uang, makanan, atau biaya akomodasi dan lain-lain.


Begitulah tradisi Sipemena yang dilakukan suku Karo. Bukan hanya kebahagiaan yang dirayakan dengan pesta seperti pada umumnya. Tetapi kematian juga layak untuk dirayakan!


“Sungguh Indonesia kaya dengan tradisi ….” (*)

 

Karna Jaya Tarigan, seorang pekerja seni. Sekarang ia sedang giat belajar menulis.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply