Ia menyeka peluh dan air mata kesekian yang luruh. Termangu menatap laut yang semakin kelabu. Hujan mulai menderas, mengaburkan pandang pada luasnya lautan. Laut selalu memanggilnya saat ia merasa remuk redam karena luka dan terjatuh dalam kehidupan.
Ombak kecil menerpa karang, mendebur, hancur, menyuarakan perasaan. Pantai adalah guru terbaik tentang ketabahan dan kesabaran. Ia belajar tentang penerimaan dari ombak yang menerjang arus menyapu tepian pantai. Mengajarkan bahwa segala hal bisa hanya sementara. Tetapi, ia tak berani mengambil pengajaran tentang pengharapan. Karena nyatanya laut juga yang telah merenggutnya.
Dan sekali ini wanita itu benar-benar menangis pada himpitan hati yang menciut tak bernyali. Terlalu muluk-muluk harapan yang hendak disemainya, dan karena itu ia hampir tak pernah memikirkan tentang harapan.
Ambo benar, menjauh sebentar, melihat segalanya dengan proporsi seimbang sebelum mengambil keputusan membuat Humaira tak lagi merasa menjadi satu-satunya orang yang termalang.
Hujan mulai menipis, rinai jarumnya nyaris tak tampak, langit perlahan memutih. Satu dua camar mulai tampak, terbang tinggi, lalu tiba-tiba meluncur, menyambar sesuatu di air laut yang berangsur tenang.
Ia menghela napas sepenuh dada. Ada yang perlahan terangkat dari hatinya saat semua melintas. Hidupnya terlalu berarti untuk dipertaruhkan dengan apapun. Tak akan hancur jika kenyataan yang harus dihadapi berbeda dengan rencana. Dan itulah alasannya dia ada di sini. Menyepi di pesisir untuk menenangkan diri.
Siang itu langit tampak gelap, angin berkelana kencang menyapa semesta. Humaira masih tetap dalam rundung hatinya yang bernanah. Derap langkah di tanah berpasir tertangkap pendengarannya. Kepalanya menoleh menyaksikan sendiri seseorang yang mencoba membalikkan hatinya kini mengatur napasnya yang satu-satu. Pria itu seperti habis berlari. Mengejarnya?
“Pulanglah, Ambo mencarimu.”
Humaira mengusap lelehan kesedihan dalam diam, tertunduk menyembunyikan rona semu kemerahan di wajahnya. Ambo tidak mungkin mencarinya. Ibunya menginginkannya memikirkan keputusan yang tepat. Pria itu di sini, mencarinya, menggunakan orang lain sebagai alasan.
“Kamu tidak mengerti. Aku telah menikah.”
***
“Sampai kapan kau mau tunggu dia?”
Pertanyaan yang sering ia dengar kala bertegur sapa dengan para tetangga. Mereka sudah putus asa mengingatkan bahwa mungkin saja suaminya telah berpulang.
Seperti hari-hari sebelumnya Humaira berdiri di tepian pantai, menunggui kapal tongkol yang berlabuh, berharap salah satunya akan membawa pria yang dicintainya kembali. Barangkali suaminya akan pulang hari ini. Atau setidaknya hadirnya sebuah surat mampu meredam rasa rindu. Sudah setahun surat yang biasanya rutin ia dapatkan tak lagi sampai di tangannya.
Bukit yang indah merona, terpancar kilauan senja yang menggoda mata, embusan angin sore yang hangat membelai tubuh. Pelabuhan yang ramai mendadak terasa sepi. Karena hanya tinggal ia sendiri yang menanti. Satu per satu orang-orang berlalu lalang, tetapi suaminya tak juga datang.
Sejak suaminya merantau ke kota, pergi meninggalkan halamannya, perempuan berkerudung tosca itu tak pernah meninggalkan rumah kecuali senja. Tepatnya ke pelabuhan, menenteng minum dan rantang berisi masakan kesukaan suaminya.
Farhan sangat senang makan sambil menatap birunya lautan. Ia ingin menyeberang. Humaira pada awalnya mencegahnyaa pergi, tetapi pria itu meyakinkan akan selalu berkirim pesan. Dan Humaira mungkin menyesalI ketidakkeraskepalaannya. Ia membiarkan cintanya pergi mengarungi lautan kejam demi mimpi dan kebahagiaan suaminya. Tak ingin menjadi penghalang baginya mengejar cita-cita.
Humaira kembali dengan tangan hampa. Kembali mendekam di balik rumah panggungnya yang terbuat dari papan kayu. Sendiri. Sesekali beberapa tetangga mengajaknya bergabung untuk duduk berbincang. Membicarakan banyak hal yang tiada habisnya. Ia ingin sekali bergabung, kalau bukan karena mengingat ia akan jadi bahan pembicaraan, dan para wanita itu akan mulai menasehatinya untuk melupakan, menawarkan anaknya yang duda.
Yang membuat perempuan itu kian jengah, orang-orang tidak hanya sibuk menduga-duga, bahkan beberapa pria yang tak ia sukai banyak yang mengajaknya menikah lagi. Tetapi, bagi wanita itu hanya satu laki-laki di hatinya, Farhan, suaminya.
Lama-kelamaan penduduk kampung itu mulai berhenti membicarakannya. Percuma memberitahunya. Humaira tidak akan mendengar mereka, terus mengulang apa yang biasanya ia lakukan. Satu per satu laki-laki yang mencoba mendekatinya mundur teratur. Hatinya menjadi lebih tenang. Hingga kedatangan Arman dan kebaikannya mengusiknya.
Arman adalah seorang pendatang baru. Datang sebagai perwakilan pusat kesehatan untuk kampung mereka. Dokter muda kurang lebih seusia suaminya. Ia berharap suaminya bisa sesukses pria itu. Namun, masalahnya, Arman jatuh hati padanya. Datang kepada ibunya untuk melamarnya.
Tak ubah pemuda lain, terkecuali bahwa hatinya merasakan perasaan berbeda yang membuatnya merasa bersalah. Ia harus bertindak mencegah hal itu lebih jauh. Ia tak bisa mengkhianati, meski perasaan samar itu masih ranum. Arman lebih mengerti perasaannya dia tak lantas memaksa Humaira menerima. Tak ayal, membuatnya jatuh terlena.
Dengung wanita yang khusyuk bercerita seperti biasa perlahan mereda begitu langit berubah warna kemerahan laksana bara. Dari arah barat, bola keemasan perlahan turun dan menghilang di balik lautan. Cakrawala yang memerah berpendar sebentar sebelum kegelapan sempurna menyelimuti. Lantas seperti kunang-kunang yang berkelap-kelip, pelita bermunculan dari rumah-rumah penduduk. Dan seperti malam ini, desa pesisir itu mulai sepi. Hanya desir ombak mengalun yang menjadi latar suara menggantikan keheningan yang menyiksa.
Humaira mengingat romansa yang pernah mereka pupuk bersama. Ia tak akan lupa, meski puluhan purnama telah terlewati, ia yakin suaminya akan kembali. Ia menggenggam potongan lain kain jarik pemberiannya, agar suaminya tak lupa dan tau kemana ia akan pulang. Mengusap pada matanya yang basah dan menciumnya dengan kerinduan.
“Apa mimpi kau?”
“Menjadi bermanfaat untuk orang lain. Bukankah tak ada yang lebih membahagiakan selain dapat memberi manfaat kepada orang lain?”
“Haruskah Abang pergi merantau?” Humaira memelas, ditatapnya wajah kurus suaminya.
“Istriku, bukankah orang bijak pernah bercakap, hidup itu harus diperjuangkan agar esok hari lebih baik?”
“Apa hidup kita tak baik? Kita bisa makan, minum, membeli pakaian. Bukankah hidup hanya sementara, kita tak butuh banyak peti harta melainkan amal untuk bekal di akhirat nanti?”
“Betul tuh. Tetapi, taukah kau? Aku pun ingin bermimpi besar untuk membantu orang-orang seperti kataku tadi. Mimpi aku sederhana. Belajar pengobatan supaya orang desa tak perlu susah-susah ke kota.”
Humaira terbungkam. Tak lagi menyanggah. Disandarkan kepalanya pada pundak Farhan, menatap luasnya air asin kebiruan melambai, memanggil suaminya.
“Abang sayang dengan Adik. Ingat janjiku. Abang akna terus berkirim pesan, supaya Adik tak merasa sendiri.”
Keesokannya Farhan berkemas. Mengikuti beberapa pemuda yang juga mengejar mimpi sepertinya. Ragu-ragu ia katakan apa yang mengganjalnya semalaman.
“Dik, dalam hidup akan butuh banyak perjuangan. Tak ada yang tau apa yang akan terjadi ke depannya. Jika lepas Abang tak ada kabar, jangan menunggu aku kembali.”
Humaira menggeleng keras.
“Jangan berkata begitu. Abang pasti kembali dengan berhasil.”
Dikecupnya kening putih Humaira. Wajahnya memerah dengan tangis menggenang.
“Ingat, Dik. Meski kau takkan lagi di sisi. Dalam dada hanya kau yang terpatri.”
Fahan berlalu meninggalkan cintanya di belakang tanpa berbalik. Ia takut akan goyah jika lebih lama memandang tangis Humaira. Wanita itu menatap nanar kepergian suaminya.
Angin berembus menampar kerudung yang ia kenakan. Ia mencium aroma Farhan untuk terakhir kali, sebelum peluit berbunyi dan kapal berlalu.
Hingga suatu hari, kabar itu akhirnya datang. Dibawa salah seorang kawan yang menemani suaminya merantau bersama.
“Maafkan kami. Suamimu telah tiada. Kami tidak dapat menemukan jasadnya.” Begitulah sekiranya maksud Bapak Mali.
Humaira luruh. Air mata merembes bersama tarikan napas yang terasa menyakitkan. Humaira sadar ia luka teramat dalam. Ketika mimpi yang ia terbangkan, hangus sebelum mendarat.
Penantiannya telah berakhir.
Ia bersimpuh tersedu sedan. Jarak tak membuat mereka jauh. Berpisah tak lantas membuat mereka patah. cinta berada dalam genggaman. Apa lagi yang kurang? Namun, ketika takdir turut campur. Bumi terbelah menyisakan mereka di ujung yang berbeda.
***
Ia tidak dapat memahami, bagaimana logika cinta bekerja. Cintakah yang membuatnya terus mengikuti? Cintakah yang membuatku memilih bertahan meski sejauh ini belum juga mendapatkan. Ia tidak tahu, apakah ini semua akan berakhir dengan kesia-siaan belaka. Yang jelas wanita yang ia lihat berada di pantai setiap sore, menanti kapal datang dan berharap cemas seseorang yang ditunggunya kan datang, telah membuatnya mengubah haluan dari tujuan awalnya.
Arman–nama yang diberikan oleh orang yang menemukannya–merasakan kedekatan imaji dengan wanita itu. Ia seolah tertarik ke medan magnet yang terpancar darinya. Segala cara ia lakukan untuk mengesankan wanita itu. Humaira tetap pada pendiriannya. Wanita yang loyal, sangat didambakan olehnya.
Entah sampai kapan ia akan menjadi gelombang badai yang mencoba mengusik untuk menenggelamkan kapal yang wanitanya tumpangi. Meski ia tahu hanya pada lelaki itu hati Humaira akan berlabuh.
Arman memasukkan potongan jarik yang membawanya ke desa pesisir ini. Jarik yang menurut cerita digenggamnya erat-erat saat ia ditemukan terdampar dengan wajah hancur. Ia kini adalah pribadi yang baru dengan wajah baru. Tak ingat nama dan asal usulnya. Pola kain itu hanya ada satu-satunya, yakni di kampung Betugagi, tempat yang saat ini ia tinggali untuk mencari jati diri. Ia rasa percuma, tak satu hal pun dapat ia ingat lagi.
Tak ada lagi yang tersisa. Tidak mengenai asal usulnya pun tentang Humaira yang menolaknya. Ia bertekad tak akan kembali dan akan mulai menata hidup dan mimpinya yang baru. Jauh dari patah hati terbaiknya.
Tanpa suara, lelaki itu melangkahkan kakinya meninggalkan desa. Seperti gelombang, ia akan musnah tersapu asinnya lautan. Namanya di atas pasir akan menghilang, tak akan dikenang. Hanya sekelebat numpang lewat, tak lebih. Ia tersenyum pahit kala membisikkan selamat tinggal, untuk wanita yang masih menunggu kapal terakhir datang dengan rantang di tangannya.
End
Heuladienacie
Seorang penulis web yang menyukai drama Jepang, korea dsb. Bisa ditemui di akun wp, ig, line: heuladienacie.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata