Temaram malam hanya diliputi pelita kecil lampu dop lima watt. Satu-satunya penerangan yang sejujurnya tak memberi dampak menerangi sesuai fungsinya.
Buraian nafas lelah tak juga dapat menghentikan raungan tangis bayi mungil dalam timangannya. Rasa frustasi menyeruak dalam dada. Berbeda dengan Rafa, matanya berbinar gembira. Hari itu, seorang adik yang telah di nantinya selama 10 tahun terlahir cantik bak bidadari.
“Oh lihatlah dirimu. Kau begitu kecil layaknya timun,” komentarnya.
Wanita itu menepis perkiraan terburuknya. Ia tak ingin mengganggu antusiasme fenomena adik baru kepada si sulung. Meski begitu payah menyembunyikan perasaannya. Embun di sudut mata, telah menyublim menjadi derai kekhawatiran dan frustrasi.
“Bunda kenapa menangis?”
Wanita tegar itu menatap langit-langit kayu atap rumah sewa yg telah lama tertunggak. Sempit, kulitnya terkelupas, warnanya memudar. Kayunya kropos, rontokan butir-butirnya memasir, mengotori lantai.
“Tidak apa-apa, Nak. Bunda hanya kelilipan,” dustanya.
“Mau aku tiupkan?” Ibunya menggeleng
“Bunda, aku ingin tidur bersama Adik dan Bunda, boleh?”
Ia tersenyum tenang, merangkul, menepuk lembut kepala Rafa kecil. Mengantarnya menembus alam imaji terindah. Tanpa ia ketahui, esok akan jadi mimpi buruk perenggut kebahagiaan yang sempat merekah, sebelum layu dan mati.
Ayah pergi.
Ibu meninggalkan mereka.
Nenek menemui ajalnya.
Ayah anak tunggal, sedangkan keluarga angkat ibu mereka menolak merawatnya.
Tanpa tempat tinggal, ia dan adiknya tumbuh terasuh jalanan. Pekerjaan halal apapun dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan pangan dan susu untuk adiknya. Prinsipnya, selama kaki mampu berjalan, tangan masih berkekuatan, meminta adalah pantangan. Selama masih kuat bekerja, kenapa tak berusaha?
Kehidupannya sedikit berwarna dengan kehadiran sang bidadari kecilnya. Hingga kecelakaan merenggut nyawa adiknya, juga kaki, dan masa depan cemerlangnya.
***
Di sisi lain, seorang gadis jendela menenggelamkan wajahnya ke atas lutut. Dadanya bergerak naik turun, seluruh tubuhnya bergetar ketakutan. Dia menyaksikan runtut sejak awal induk semang rumah mereka melempar surat kaleng ke rumah Rafa untuk menarik perhatian ibunya. Dan begitu Adiba–ibu Rafa–keluar dari rumahnya, kecelakaan na’as itu terjadi.
Tak berdaya. Kurnia membatin dalam. Rafa, anak laki-laki yang telah menarik perhatiannya. Kini mengalami kemalangan lanjutan, diusir dari rumah kontrakannya.
Dia pergi.
Kurnia kembali menjadi dirinya yang lama.
Ketakutan, terasing, kehilangan. Kembali terlempar pada kepingan masa silam menyakitkan.
Pasir yang menggerumit, menggelitiki kaki mungil telanjangnya. Tawa canda bahagia. Kejadian 26 Desember 2004 lalu merenggutnya. Liburan pertamanya di Aceh menjadi liburan terakhir dan tak terlupakan. Air bah sewarna lazuli berubah toba melahap apa saja. Mayat mayat bergelimpangan. Kota itu luluh lantak.
Dia selamat terbawa ke dalam Masjid Baiturrahman. Selama bertahun-tahun ia menyalahkan dirinya yang terlalu lemah hingga melepas genggaman tangan ibunya.
Dirinya terus meratap, berteman sepi dan lebih senang menyendiri. Membuat pamannya bingung harus bagaimana lagi.
Kemudian, lima tahun yang lalu, pamannya memutuskan pindah ke tempat baru. Dan dari situlah Kurnia menemukan kembali pelita untuk menerangi hidupnya yang remang redup.
Alasannya untuk keluar dari dunia jendela. Rafa yang berbeda, bukan bocah kebingungan yang menggendong adiknya di pagi buta. Bukan seorang anak yang bertengkar dengan temannya untuk melindungi seekor kucing liar.
Rafa yang ini seorang calon Psikolog. Pribadi alim yang selalu shalat berjamaah di masjid dengan semboyan “Manusia di ciptakan untuk beribadah, bukan? Mengapa terlena pada di dunia fana, sedangkan yang kekal kita tinggal.”
Kurnia diam-diam memperhatikan selama ini. Bunga-bunga cinta yang disemainya dari lahan hati semakin subur dari hari ke hari.
Hingga suatu ketika, kesempatan untuk mengenal Rafa secara langsung akhirnya tiba.
Tak jauh dari kolam teratai, gadis jendela itu duduk gelisah memandang padatnya pejalan kaki yang berlalu lalang. Sejak dataran bumi diliputi warna jingga, jemputan yang dinanti tak kunjung tiba.
Kurnia mendesah, seharusnya dia tak keluar rumah saja. Keperluannya hanya sebentar, tetapi menunggu jemputan yang lama.
“Kurnia Arfina Trisenca?”
Gadis itu terbeliak ketika segelas Moccalate di sodorkan tepat di depan hidungnya.
Kurnia menelisik manusia di hadapannya. Manusia berkaki tiga, setelan kemeja dan celana rapi. Kepalanya menengadah. Ia terkesiap, begitu menyadari kehadiran siapa.
Mata dan senyum menyenangkan itu milik Rafandra Putra Galuh. Pria yang hanya berani ia amati dari balik layar jendela 18 inch di biliknya. Mimpi apa dia semalam sehingga Rafa berada begitu dekat dengannya.
“Assalamu’alaikum. Pak Teungku menyuruh saya menjemput. Beliau masih ada pekerjaan mendesak,” katanya menjawab tanda tanya dalam benak Kurnia.
Kurnia mengangguk, terbata menjawab salam. Dalam hati salah fokus karena untuk pertama kalinya bisa mendengar suara bariton Rafa.
Keduanya kemudian berjalan bersisian. Rafa memberi jarak aman di antara mereka agar Kurnia tak merasa risih. Pria itu sempat berhenti dan mengamati kolam teratai tak jauh dari tempatnya tadi.
“Teratai putih, indah, kan?”
Kurnia mengangguk tanpa kata. Rasa gugup membuatnya bingung menjawab apa.
“Bundaku pernah berkata, ‘ Jadilah seperti teratai, Nak. Dia tetap tampil dengan keanggunan bunga yang menawan. Hidup penuh keindahan dan kebersihan tanpa dipengaruhi oleh lingkungannya yang kotor’.”
Kurnia tertegun. Makna itu telah dibuktikan langsung oleh si pengucap.
Rafandra sang teratai putih. Oase di tengah gurun. Emas diantara butiran pasir. Mereka lebih banyak diam dibandingka berbincang. Kurnia gugup berada sedekat ini dengan pujaan hatinya, sedangkan Rafa mungkin kehabisan bahan untuk mengobrol.
“Maaf. Saya lupa memberitahu. Saya tidak bawa kendaraan. Jadi, kita naik bus saja.”
Wajah Kurnia berubah pias mendengar nama kendaraan umum itu disebut.
“Tidak bisakah kita naik taxi saja?”
“Kenapa? Kamu tidak terbiasa naik kendaraan umum?”
“Bu-bukan begitu. Hanya saja….” Rafa menunggunya melanjutkan. Kurnia berpikir ulang. Tidak, dia tidak ingin mengacaukan kesempatan ini. Ia harus bertahan, setidaknya selama satu jam ini.
“Jangan takut, ada saya bersama kamu.”
Ada saya bersama kamu, kepalanya otomatis mengulang. Dan seperti mantra senyum itu langsung menular padanya. Rafa ada di sampingnya, apalagi yang ia khawatirkan
***
Naik bus di jam pulang kantor adalah ide terburuk. Berdesakan dengan bau berbagai macam. Dada Kurnia sesak. Serangan panik menyerangnya. Rafa di depannya, menenangkan. Untuk pertama kalinya rasa panik berangsur reda. Itu karena Kurnia menyadari Rafa menjaganya.
Aku bisa, batinnya mengingatkan
Rafa membiarkan Kurnia menenangkan diri. Ia tahu segala ketakutan tak dapat di tumpas hanya dalam sekali waktu. Semua butuh proses panjang dan pembiasaan. Diam-diam ia tersenyum kecil memperhatikan gelagat Kurnia menghembus nafas lega setiap kali penumpang turun dan berkurang jumlahnya.
Mereka akhirnya tiba ke tempat tujuan. Rafa mengambil sesuatu dari tas selempangnya. Sebuah mawar merah ia berikan kepada Kurnia.
“Untuk gadis tegar yang baru saja terbebas dari rasa takutnya.”
Kurnia tersenyum haru. Ia menebak Rafa sebenarnya tahu mengenai fobianya di keramaian.
“Aku rasa kita akan berpisah di sini.” Kurnia menunduk sedih. Sangat singkat pertemuan mereka. Ia bahkan belum memulai topik apapun.
“Tapi sebelum itu, dengarkan ini baik-baik. Semua orang pasti pernah merasa takut dan terpuruk dalam hidupnya. Masa kelam itu ada, sebagai bagian diri kita. Yang mati telah nyaman di alamnya. Kita yang hidup harus bertarung kembali. Hidup harus terus berjalan, maka jangan pernah melihat ke belakang. Seberapa pun kamu menyesali, semua tak kan ada yang berubah. Satu-satunya yang dapat kamu lakukan adalah menjalaninya seperti sedia kala. Memang tak mudah, tapi jangan berputus asa sebelum mencoba.”
Hati Kurnia kembali diliputi keharuan.
“Sampai jumpa.”
Rafa memilih arah berbeda. Kurnia memanggil.
“Saya berharap kita bisa bertemu lagi. Terima kasih untuk semuanya, Kak Rafa.”
Rafa melambaikan tangan dan membalas senyum tulusnya.
Karena dia dan untuknya, hari ini ia berjanji, akan memulai awal kehidupan yang baru, tanpa rasa sesal akan bayang-bayang masa lalu.
***
Heuladienacie
Penulis amatir 20 tahun-an yang tengah berusaha menjadi profesional. Bisa ditemui di akun wp, ig, line: heuladienacie
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata