UnHear

UnHear

Ada dua hal mengejutkan yang tak ingin Fee tahu di usia peraknya. Bukan karena ia merinding mendapat berita dari Rennata mengenai ditemukannya korban ke tujuh yang masih selamat dari longsor tak jauh dari rumahnya–setelah pencarian berhari-hari yang tak kunjung mendapat hasil.

Mendapati kenyataan seorang pria yang ternyata bos besar suatu perusahaan ternama yang diincar Roland–bosnya sendiri– adalah seorang ‘tunarungu’, itu mengejutkan. Tetapi, mendapati siapa dia, itu yang lebih mengejutkan.

Entah sejak kapan Fee kehilangan fokus, juga profesionalisme kerja, dan lebih tertarik mengamati pria berwajah aristokrat-tuli di hadapannya.

Fee belum pernah mendadak gugup seperti anak SD yang baru pertama kali pidato di depan kelas. Ia terlampau lama sudah makan asam garam bertemu dengan orang-orang penting dalam setiap rapat.

Pandangannya tak ia pusatkan pada grafik persentase di layar ataupun urusan mahapenting yang tengah dibahas dalam ruang rapat. Mengabaikan tugasnya sebagai sekretaris, seolah-olah yang mereka bahas hanyalah sebatas berapa harga popok dan cabai di pasar.

Matanya menatap kaku, ingin tahu, pada makhluk sedatar triplek berhearing aids di dekat bosnya yang bertingkah seperti sales pensiunan alat bantu osteoporosis.

Fee terlihat gusar, tangan-kakinya kebas, bibirnya terasa asin karena digigitnya hingga sakit. Ngeri dan terheran bergumul di benaknya.

Ia terdiam kaku saat pria itu mengalihkan pandangan ke arahnya.

Maniknya abu-abu.

Fee ingat begitu jelas, karena itulah perasaannya tak nyaman. Yang berbeda, pria itu harusnya tak mengenakan hearing aids.

Dirinya seolah terlempar kembali pada kejadian malam itu.

Malam sepekat rambut iklan shampo di TV, diiringi sound effect jangkrik dan ku ku ku burung hantu Pak Crimson yang menebar efek seram.

Fee mengetatkan pelukan pada rangkulan mantelnya. Memang belum memasuki musim dingin, tetapi udara akhir musim gugur sangat menusuk tulang pada malam hari, apalagi ditambah dengan siraman beberapa jam hujan deras.
Diriknya jam rolex kecil yang bertengger di lengan kirinya, menunjukkan pukul 11:00 P.M. Terlalu terlambat baginya pulang. Daerah tempat tinggalnya terkenal cukup aman, meski ia sendiri tahu, tak ada kata aman di hari Jum’at yang dipenuhi orang-orang mabuk pada malam hari.

Fee melangkah lebih cepat, lalu spontan bersembunyi mendengar suara kecipak air genangan hujan yang diinjak terburu-buru, begitu juga tap-tap langkah seseorang berjalan di tanah tak mulus dan tersandung sesuatu.

Fee mengamati di balik pohon, langkah lari secepat kilatan cahaya. Penerangan lampu jalan menimpa wajah pemilik kaki hingga terlihat jelas.

Mantel hitam panjangnya berkibar-kibar ditiup angin. Dia mengendus bau-bauan dari tumpukan tanah. Dan baru Fee sadari, dia sedang berada di tempat kuburan massal–daerah longsor tak jauh dari rumahnya.

Pria itu diam tampak berpikir. Ia terkesiap saat pria itu mulai mencakar-cakar tanah, mengais-ngais sesuatu selayaknya kucing setelah buang air.

Fee menatap bulan yang membentuk goresan melengkung sabit. Belum bulan purnama, dan kenapa ada manusia serigala pada saat bulan sabit? pikirnya.

Fee terlonjak, ketika mata itu menghujam ke tempat persembunyiannya. Ia merapal do’a dalam hati. Kumohon jangan ketahuan.

Pria itu terlihat bingung, kemudian beringsut pergi dengan tergesa seperti kedatangannya tadi.

Fee tersadar bahwa tubuhnya bergetar, ia berlari kesetanan menuju rumah, membuka kunci yang tak kunjung masuk ke lubang. Kemudian, membanting pintu, menguncinya, dan menutup seluruh tirai di rumahnya.

Pegangan tangannya terlepas, badannya merosot ke lantai, masih bergetar dengan dada naik turun.

“Apa ada yang salah dengan wajah saya, sampai Anda mengamatinya begitu, Nona Felicia?”

Fee tersentak dari lamunannya. “Ma-maaf, Sir. Bu-bukan begitu.”

Fee hendak menyangkal, matanya melirik Roland yang menaikkan alisnya dengan tatapan “kau mau hadiah potongan gaji bulan ini, Fee?”, menghunus ke arahnya.

Fee bergidik, tentu dia tak ingin pekerjaannya berakhir hari ini. Ia berdeham untuk menetralisir keraguan dan segera membuka mulutnya.

“Saya-saya hanya merasa mengenali Anda, Sir.”

Pria itu mengerutkan keningnya. “Benarkah?”

Roland membuka suara sekaligus menjilat, “Ah, begini. Yang dimaksud oleh sekretaris kami, dia mungkin pernah melihat Anda di majalah yang dibelinya. Wajah Anda pasti sudah sering terpampang di koran dan majalah, wajar jika Felicia menganggapnya dengan mengatakan mengenal Anda.”

Yang benar saja?! Aku bahkan tak pernah membeli media cetak apapun, desis Fee dalam hati.

“Kau melihatku di majalah? Kuharap bukan di Majalah Playboy, Nona Fee.”

Roland memperburuk masalah, Fee menggerutu. Suara kikikan dan menahan tawa terdengar.

“Maaf, tapi saya punya phobia terhadap surat kabar.”

Pria itu dengan wajah angkuh menaikkan alis. Keberanian Fee menjawab patut diacungi jempol. Sayangnya, ini bukan waktu yang tepat. Dia seharusnya tak menjawab, menunduk, meminta maaf, dan biarkan Roland menyelesaikan.

Beberapa orang di ruangan tampak menutup wajah dengan map, seolah-olah tak tahan menyaksikan aksi mutilasi yang akan terjadi beberapa menit lagi.

Fee meremang. Masih menatap gerakan bibir pria itu. Dia menyeringai.

Aku tau dia mungkin menyembunyikan para korban penyiksaannya di tanah malam itu, dan dia di kutuk menjadi manusia setengah kucing! Abaikan kicauan absurd tadi. Aku harus meneriakinya, pikir Fee cepat. Tapi urung dia lakukan, pria itu bersuara.

“Baiklah, maafkan atas kelancangan tadi, Nona Fee.”

Fee terkejut. Roland hendak menjilat saat pria itu memberi isyarat diam.

“Kurasa ada yang menganggu pikiran Anda, Nona Fee?”

Dan begitulah rapat ini berubah menjadi ajang curhat Boss-Sekretaris?

“Sepertinya Anda yang merasa terganggu, Sir.”

Dia tersenyum kecil. “Ya, saya merasa sedikit tak suka dengan cara pandang Anda yang menghakimi. Dunia selalu punya tempat untuk orang-orang yang mau bekerja keras bahkan untuk orang disability seperti kami. Bukan begitu, Nona Fee?”

Fee melunak, hati kecilnya merasa bersalah. Hampir saja Fee mengira pria ini bisa membaca pikirannya.

“Apa Anda ingin tahu apa yang saya lakukan tadi malam?” ujarnya dengan suara kecil yang bukan berbisik. Fee mengangguk antusias dan jawabannya justru menjatuhkan rahang Fee.

“Sayangnya, anda bukan tipe saya, Nona Fee.”

Tawa berederai seantero ruang rapat dengan wajah Fee yang merah padam. Pria itu bangkit dengan anggun. Bertepuk tangan seolah telah menyaksikan opera sabun.

“Terima kasih atas hiburan ini. Senang bertemu denganmu Roland.”

Dia menjabat tangan Roland dengan antusias. Roland sudah membuka mulutnya saat pria itu berkata akan memikirkannya. Selanjutnya, ia menuju ke arah Fee yang masih memendam benci karena dipermalukan.

Alih-alih berbisik pria itu berbicara tepat di depan wajah Fee.

“Alpenliebe Inn 266. Senang bertemu lagi denganmu, Nona Fee.”

Fee merasakan embusan nafas berbau mint menerpa kulitnya. Bahkan ketika pria itu menghilang dari pandangan, ia tak beranjak dari tempatnya, membeku, dan baru tersadar saat Roland memaki tepat di depan wajahnya.

Fee menjatuhkan diri, merasa tubuhnya lemas sejadi-jadinya.

Dia menyebutkan alamat rumahku, dan lagi katanya?

***

Musim gugur belum beranjak menampakkan kemilau putih musim dingin. Fee berdiri menyarungkan jemari di balik jacket mantel cokelatnya, menatap gundukan longsor tetap berada di tempat.

Hal kedua yang tak ingin Fee dengar, bahwa seseorang yang memberitahu letak korban ketujuh adalah pria yang sama, tepat dimana ia berdiri mengais tanah.

Angin kencang tertambat bayangan di hadapannya. Burai nafas berbau mint mengepulkan uap putih tepat di depan wajahnya.

“Kau tak lari karena melihatku. Kau lari karena kau mendengarnya juga, bukan?”

Fee menampakkan wajah datar.

“Aku memang tak mendengar suara, tapi aku mendengar setiap kicauan hati manusia. Dan aku tak kan bisa mendengar kicauan seorang yang sama denganku. Terdengar seperti radio rusak, bukan?”

Tangan pria itu menyentuh jemari Fee, memasukkan tangannya dan merogoh sesuatu dari dalam. Fee masih diam, ketika pria itu meletakkan sesuatu di telinganya.

Dia tersenyum misterius saat hearing aid terpasang di telinganya.

“Dan aku tak bisa mendengarmu, Nona Fee.”

***

Heuladienacie:

Penulis amatir penyuka cokelat dan kucing. Penikmat film drakor ini bisa ditemui di akun wp, ig, line: heuladienacie

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply