Dunia Tanpa Kata

Dunia Tanpa Kata

Dunia Tanpa Kata

Oleh : Maulana

Cuaca cukup cerah untuk memulai hari. Kuraih tas selempangku kemudian melangkah keluar kamar untuk bekerja, di ruang tamu Bapak sedang menonton acara berita. Aku mengulurkan tangan untuk bersalaman kepadanya. Bapak mengangguk menyuruhku hati-hati di jalan. Kemudian aku menemui Ibu di dapur, beliau sedang mengiris bawang sambil menyaksikan channel YouTube favoritnya yang sedang menayangkan tutorial memasak makanan dari negeri ginseng itu. Aku melakukan hal yang sama, mengulurkan tangan kemudian menyalaminya untuk pamit bekerja. Ibu pun mengangguk kemudian menyuruhku berhati-hati di jalan seperti yang Bapak lakukan.

Di luar kakakku sibuk memainkan ponselnya, kulirik sekilas ternyata dia sedang memainkan salah satu game online. Aku mengembuskan napas pelan, menuntun Scoopy-ku ke halaman.

***

Inilah rutinitas keluargaku. Mungkin memang benar jika teknologi merebut kehidupan dariku atau mungkin juga merebutku dari kehidupan mereka. Karena yang kulakukan pun begitu. Pagi berangkat kerja, sore harinya ketika pulang aku menghabiskan waktu dengan menonton film favoritku untuk me-refresh otak setelah seharian bekerja. Malamnya aku kembali duduk di depan laptopku untuk menyelesaikan pekerjaan atau sekadar menyelesaikan tulisan yang sedang kukerjakan. Semua rutinitasku itu perlahan membosankan, membuatku merindukan mereka, keluargaku.

Oya, namaku Dewi, aku bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang keuangan. Sore ini setelah jam pulang kantor salah seorang temanku menghampiri mejaku. Namanya Tari. Sore ini wajahnya terlihat sedih, tak ada sapaan atau senyumas khas setiap kali kami bertemu. Dia menarik kursi yang kosong di sebelahku kemudian duduk di sana, tangannya ia taruh di atas meja kemudian kepalanya menyender ke pundakku. Aku membiarkan hal itu sambil menyelesaikan pekerjaanku yang hampir selesai. Pundakku terasa basah. Apakah  dia mengangis?

“Kenapa, Ta?“ tanyaku, kuhentikan kegiatanku mengetik, kemudian kulihat tangannya mengusap air yang mengalir di pipinya.

“Aku teringat adikku, Dew,“ katanya kemudian memelukku, masih menangis sesenggukan.

“Bukannya kemarin kamu baru pulang?”

“Iya, untuk mengantarkan dia selama-lamanya.“

“Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Maksudnya gimana?”

“Minggu lalu aku diberi kabar adikku masuk rumah sakit, karena itu aku ambil cuti tiga hari. Di sana aku tahu bahwa adikku mencoba melakukan bunuh diri, awalnya aku ngga tahu dia kenapa, keluargaku pun ngga ada yang tahu. Aku pikir dia habis putus dengan pacarnya, hal yang sering membuat anak SMA seusia adikku bertingkah yang tidak wajar. Sehari setelah itu adikku mengembuskan napas terakhirnya karena kehabisan banyak darah.” Tari menjeda ceritanya, dia menyeka air matanya kemudian membersihkan ingus dengan tisu yang kusodorkan.

“Dan hari ini aku baru tahu kebenarannya, Dew ….” Dia kembali menjeda ceritanya, tangisnya semakin keras. Aku menepuk pundaknya beberapa kali untuk menenangkan.

“Adikku … dia … dia frustrasi karena dunianya, karena masalahnya. Menurut sepupu kami yang sebaya dengan dia, adikku menulis curhatanya di sosial media. Dia di-bully di sekolahnya, kemudian dia juga hampir diperkosa oleh pacarnya. Masalahnya menumpuk, namun dia memendamnya sendiri. Ibu kami sibuk dengan gadget dan bisnis online-nya. Bapakku sibuk menyaksikan perlombaan sepak bola di televisi. Aku merantau. Dia kehilangan tempat cerita paling nyaman untuk berbagi, Dew. Hingga akhirnya dia mengambil keputusan bodoh itu.” Tari masih menangis. Aku menunggunya dalam diam. Aku tak mampu memberikan motivasi untuk Tari. Sebab apa yang dirasakan Tari dan keluarganya juga dirasakan olehku. Bagaimana setiap hari aku menjalani hari tanpa banyak kata dengan keluargaku. Kami serumah, namun sibuk dengan dunia kami masing-masing. Kami serumah, namun dunia yang membuat kami saling bicara justru dunia maya.

Setelah cukup lama, tangisnya pun mereda. Tari menatapku, tersenyum.

“ Terima kasih, Dew …,” katanya.

“Sama- sama, Ta. Lalu apa yang kamu mau lakuin sekarang?” tanyaku hati-hati.

“Aku mau memperbaiki semua, Dew, cukup satu adikku yang menjadi contohnya. Aku masih punya satu adik bungsu, dia sekolah dasar sekarang. Aku ngga mau kejadian serupa terulang. Aku mau resign. Mau kembali ke kotaku, memperbaiki hubungan keluarga kami.“

Aku tersenyum, mengangguk.

“Semoga berhasil, Ta,” ucapku berusaha menyemangatinya. Kemudian kupeluk dia sekali lagi.

***

Lampu jalan mulai dinyalakan. Jalanan macet khas jam pulang kantor. Aku masih berdiri di loket karyawan, mengantri untuk absensi sebelum pulang. Cukup kisah Tari menjadi pelajaran untukku. Semoga pulang nanti, aku pun bisa mengungkapkan perasaanku pada keluargaku, bahwa aku rindu bercengkerama dengan mereka. (*)

11 09 2019

Maulana. Bercita-cita memiliki dua anak, satu suami, banyak cerita. Ig : jihanalmasm.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply