Santi dan Abuya

Santi dan Abuya

Santi dan Abuya

Oleh    : Ning Kurniati

Saya bilang pada istri, “Saya cinta kamu.” Dia hanya tersenyum, seperti biasa. Lalu saya bilang lagi, “Saya sayang kamu.” Dia hanya mengangguk. Saya tak berucap lagi memilih mengakhiri percakapan yang berulang di antara kami, mungkin pembahasan ini tidak menarik baginya. Saya berbalik bermaksud keluar. Namun, tiba-tiba Santi—istri saya—memeluk dari belakang. “Saya cinta dan sayang sama kamu,” katanya.

Saya selalu bersyukur untuk hal tersebut, bahwa perempuan yang menjadi tetangga kami itu mau menerima seorang laki-laki biasa ini. Santi awalnya menolak. Orang-orang selalu mengatakan bahwa saya orang yang aneh. Aneh itu seperti apa, saya juga tidak tahu. Saya bisa bicara, berjalan, makan-minum, dan bekerja, tetapi mereka selalu mengganggap diri ini tidak normal. Namun, sepertinya Tuhan berbeda paham dengan mereka-mereka itu. Tuhan melembutkan hatinya, setelah saya beberapa kali bicara dengan dia.

Saya yang dianggap aneh ini berusaha mendapatkan hati Santi. Tiga hari berturut-turut sebelum berangkat menuju kota, saya datangi dia di rumahnya. Meski ambonya selalu berdeham bermaksud mengusir, sedangkan ammanya sengaja membanting-banting peralatan dapur. Ah, mungkin tidak membanting, harus berpikir yang baik-baik bukan? Terlebih dia itu calon mertua saya. Hanya tidak sengaja menjatuhkan benda-benda yang nyaring bunyinya, yang kadang-kadang membuat terlonjak. Santi seoranglah yang menerima kehadiran saya meski bersikap acuh tak acuh.

“Saya laki-laki biasa, tidak paham banyak hal. Tapi, saya tahu bahwa saya cinta dan sayang sama kamu.”

“….”

“Bagaimana menurutmu orang-orang yang sekolah itu? Sekolah untuk apa? Untuk mencari pekerjaan, hidup lebih terjamin.”

“Tak usahlah kamu datang ke rumah setiap hari. Saya tidak menyukai kamu. Saya ingin sekolah, hidup di kota banyak kemudahan yang akan diperoleh, bila di kampung hmm …,” Santi menggeleng, “susah.”

“Kalau kamu sekolah kamu mau jadi apa akhirnya? Bukankah ujung-ujungnya kamu akan jadi istri dari suamimu, akan jadi amma dari anak-anakmu.”

“Hei, kamu ini! Berani sekali berkata seperti itu! Kamu itu cuma lulusan SMA sama seperti saya. Jadi, tak usahlah bicara seakan kamu lebih pintar.”

“Saya minta maaf. Saya tak bermaksud merendahkan atau apa pun namanya itu. Cuma berusaha meyakinkan kamu untuk menerima pinangan saya. Apa niat itu salah? Bila kamu meminta rumah, emas, pakaian saya menyanggupi itu semua, membahagiakanmu.”

Saya pamit pulang karena paham bila terus-terus di sana, bukannya membuat Santi lebih baik malah rasa jengkelnya semakin menjadi-jadi. Santi bukanlah perempuan yang cantik-cantik amat seperti tayangan di televisi yang ditonton Amma setiap malam, bukan pula perempuan dengan harta yang melimpah karena orangtuanya, atau perempuan yang sangat paham akan ilmu agama. Hanya saja saya telanjur terbiasa dengan kehadirannya. Saya senang melihat dia tersenyum, bicara, duduk, berjalan, dan apa pun yang dilakukannya. Sehingga, muncullah keinginan untuk memperistri dia yang perempuan biasa sama seperti saya yang laki-laki biasa.

Saya bahagia. Santi bahagia. Kami bahagia. Sampai ketika hadir anak laki-laki yang awalnya cuma datang sekali-kali menggantikan anak perempuan saya bila tidak di rumah. Lama-lama anak itu menjadi lebih sering. Orang-orang mengatakan itu anak kami. Saya bilang tidak, Santi tidak pernah melahirkan anak laki-laki. Dia melahirkan anak perempuan. Saya yang membikinnya, jadi saya tahu anak saya perempuan. Kalau-kalau dia laki-laki, ah, tidak mungkin karena saya tak pernah berniat punya anak laki-laki, tak mau dia seperti saya yang sering diteriaki di depan umum, ditampar, dipaksa ini-itu oleh ambonya. Saya tak mau anak laki-laki. Saya tak mau jadi seperti Ambo yang kasar dan Santi itu melahirkan anak perempuan titik. Anak itu sudah besar, mungkin sepantaran dengan anak laki-laki itu yang kadang datang tiba-tiba duduk di pangkuan Santi, mengganggu saja.

Anak itu sering tersenyum, memamerkan giginya yang ompong. Dan, bila sudah mandi sore dia kadang-kadang memberikan ciuman dadakan di pipi Santi atau saya. Terkadang juga dia bersemangat sekali mengajak saya bicara tentang padi-padi kami, sapi-sapi, bebek, tetapi saya tidak suka dia. Jadi, saya diam saja, tidak peduli. Lagi pula dia itu mengambil hak anak perempuan kami, menggantikan posisinya.

Santi bilang namanya Abuya. Loh, dia juga mengambil sepotong nama anak kami. Nama anak kami itu “Uya”. Dasar memang dia perebut segalanya! Saya selalu bilang sama Santi untuk melarang Uya bermain jauh-jauh dari rumah, agar anak laki-laki itu tidak datang. Karena Uya hanya ada di rumah ketika anak itu tidak ada, pagi dan malam hari. Ketika siang dan sore hari dia entah ke mana. Malam harinya, dia kembali dan selalu tidur bersama kami. Kadang-kadang dia lebih suka di sisi Santi, kadang pula berada di antara kami. Lalu, subuh hari dia akan membangunkan ambo-ammanya dengan mencium pipi kanan atau kiri.

Di suatu pagi ketika kami sarapan bersama makan nasi—tidak seperti orang-orang yang lebih suka dengan roti atau gorengan atau kue-kue basah—saya memberikan usul pada Santi: buatlah Uya dan Abuya berteman baik. Ajari mereka untuk bermain bersama, tetapi Santi tidak pernah mendengarkan saya. Buktinya, mereka masih bergantian, bila Uya tidak ada, maka Abuya yang ada. Dan, saya tidak pernah menyukai anak laki-laki itu.

Anak itu kian hari kian bertambah besar dan masih suka melengket pada Santi. Saya tidak tahu dia anak siapa. Dia kadang manja, merengek, marah, eh, apa-apaan dia. Dia kira Santi itu siapa? Dasar perebut! Saya memiliki ketakutan tersendiri bila-bila suatu hari dia merebut Santi dan membawanya pergi dari desa ini menuju kota. Santi selalu suka kehidupan kota. Katanya, di sana hidup akan menjadi lebih mudah. Aih, padahal sudah saya berikan cincin emas berjejer-jejer di jari-jarinya, gelang-gelang emas dengan bentuk bunga-bunga, pakaian model terbaru yang dijual di pasar. Sebagai laki-laki saya harus mempertahankannya. Sudah cukup laki-laki itu membuat Uya minggat-minggat dari rumah.

Saya tidak lagi menambahkan kata anak dalam menyebutnya, karena memang sudah tak pantas untuk itu. Dia sudah disunat, di rumah kami pula.

“Anakmu sudah dewasa, ya!”

“Dia bukan anak saya!”

“Dia itu anakmu!”

“Bukan.”

“Abuya itu anakmu!”

“Bukaaan! Anak saya bukan laki-laki, tapi perempuan. Namanya Uya. Tunggu saja dia datang, saya akan memperkenalkan.”

Orang-orang yang hadir tiba-tiba tertarik dengan kami. Lalu, beberapa dari mereka mengatakan, “Sudah! Sudah!” Apanya yang mau disudahi, sedang dia—kerabat jauh Santi itu tidak memercayai omongan saya. Lalu, dia menganggap saya aneh. Orang-orang akan menganggap saya aneh. Dan, saya memang jadi makin aneh karena setelah anak itu disunat Uya benar-benar pergi, tidak pernah lagi mendatangi kami. Uya, ambo rindu sama kamu.

Lantaran takut Abuya membawa pergi Santi, saya mempersiapkan segala sesuatu untuk mempertahakannya. Saya memang menunggu dia dewasa, biar kalau bertarung sama-sama unggul dalam besar badan, karena saya laki-laki sejati. Saya tidak akan menyerang anak kecil, meski dia bersalah.

Badik yang tersimpan di bawah ranjang saya asah setiap paginya. Badik itu harus tajam, mengilat, biar yang melihatnya menjadi gentar. Tak sampai di situ saja, semua parang juga saya asah, bahkan pisau-pisau dapur Santi. Tetangga yang melihat kebiasaan baru itu, menjadi ngeri. Tidak ada yang salah dengan ini semua, toh saya cuma berniat mempertahankan apa yang menjadi milik saya, kalau-kalau ada yang berniat merebut.

Entah apa yang telah terjadi atau yang akan terjadi. Semua tetangga dan beberapa kerabat menjadi rajin datang ke rumah kami ketika malam hari, membahas apa saja sampai hal yang tidak perlu, terkekeh-kekeh. Ada yang berbicara tentang obat-obatan, tempat-tempat berobat, kehebatan dukun-dukun, bahkan rumah sakit. Memangnya siapa yang sakit? Semua orang sehat. Pembicaraan yang membuat mengantuk, jadi saya cuma duduk sebentar menemani mereka lalu masuk ke kamar kami dan tidur. Biar Santi saja yang meladeni mereka.

“Kita akan ke kota.”

“Kita?”

“Ya, kita.”

“Abuya ikut?”

“Ya, Abuya juga.”

“Apa kita akan mencari Uya?”

“Ya, kita akan mencarinya. Tidak hanya kita, beberapa orang tetangga akan ikut.”

“Itu bagus. Aku harus berpakaian apa menemui Uya?”

Subuh-subuh kami berangkat ke kota. Saya bahagia karena akhirnya bisa juga menginjak tanah kota. Seperti apa ya, tanahnya? Saya melirik Santi di sisi kiri, dia menangis. Tetangga yang lain ikut-ikutan, mukanya muram. Saya kok merasa asing bahagia sendiri.

“Ada apa? Bukankah kamu sudah lama ingin ke kota?” Eh, bukannya dijawab, air matanya semakin mengalir ke pipi seperti air selang di rumah kami.

Saya melirik ke sisi kanan pada Abuya, dia mengalihkan pandangan ke luar jendela. Dasar! Eh, tapi dia seperti menahan isak tangis. Saya penasaran, tapi dia sepertinya tidak ingin diganggu, lagi pula kami memang tidak memiliki hubungan yang bisa dikatakan baik untuk bisa bertanya keadaan, pun saya tidak bisa membaca pikiran orang. Jadi, saya biarkan saja mereka. Mungkin mereka terharu akan menginjakkan kaki di kota. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Toh, saya duduk di tengah-tengah, menengahi Santi dan Abuya. Oh, tentu tidak akan saya biarkan Abuya memiliki celah untuk membawa Santi kabur.

Saya mengantuk setelah minum kopi yang dibawa Santi dari rumah. Selanjutnya, mungkin saya tertidur, lalu terbangun di dalam sebuah ruangan yang berwarna putih. Seperti di dalam televisi. Santi membantu saya bersandar di dindingnya.

“Wah, dindingnya halus!”

“Ya, dindingnya halus.”

“Apa kita sudah di kota?”

“Ya, kita sudah di kota.”

“Uya di mana?”

“Abuya sedang menjemputnya.”

“Benarkah?”

Santi tidak menjawab malah menangis. Sebegitu terharunya dia berada di kota. Dia mencium tangan saya, pipi saya, kening saya, lalu memeluk erat. Erat sekali sampai saya kesusahan untuk bernapas.

“Sudah! Sudah! Itu sudah kewajiban saya menghasilkan uang yang banyak untuk kamu agar kita bisa ke kota. Saya bahagia, Tuhan selalu baik mengabulkan doa-doa setiap hambanya. Kita ke kota, Uya datang, dan kita bahagia. Tidak apa Abuya ada, yang penting Uya juga ada.”

“Saya mau keluar sebentar, belikan kamu makanan. Kamu pasti lapar ‘kan?”

“Ya, terima kasih.”

Santi berbalik, membuka pintu lalu pergi meninggalkan saya sendiri dengan dinding warna putih ini. Dia pergi lama sekali. Saya tidak tahu di mana dia membeli makanan, karena sampai sekarang dia tidak pernah kembali. Kalau begini, saya tidak mau ke kota. Makanan yang enak saja, jauh sekali tempatnya. Iya, Santi pasti mencari makanan terenak di kota ini. Kadang-kadang saya ingin menyudahi menunggunya, lalu kabur dari tempat ini, tetapi terlalu tinggi untuk bisa meloncat, sedang jalan keluar saya tidak tahu dan orang-orang dengan pakaian yang lebih sering putih itu menjaga ketat orang-orang yang menunggu. Dan, Abuya belum juga kembali membawa Uya.

Hmm, Santi dan Abuya, apa mereka kabur bersama?

8 September 2019

Ning Kurniati, perempuan biasa dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Dapat dihubungi melalui link: bit.ly/AkunNing

Ambo  : Panggilan untuk ayah pada sebagian keluarga suku Bugis.

Amma : Panggilan untuk ibu dalam keluarga suku Bugis.

Badik  : Senjata khas masyarakat Sul-Sel.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

 

Leave a Reply