Air Mata Pembalasan

Air Mata Pembalasan

Air Mata Pembalasan
Oleh : Aisyahir25

Tak akan ada yang bisa menjamin sifat seseorang, yang baik belum tentu akan terus baik, dan yang jahat belum tentu akan bersikap jahat terus menerus. Terkadang ada saatnya keadaan bisa memaksa seseorang untuk berubah, dari yang baik menjadi jahat ataupun sebaliknya. Tergantung sikap mereka menangapi keadaan, dan kesiapan mereka menghadapi kenyataan yang ada.

Namanya Raihan, Raihan khairul Anan. Dia anak yang baik, ceria, sangat sopan, dan sangat patuh terhadap kedua orangtuanya. Walaupun umurnya masih sepuluh tahun, tapi ia sudah dapat diandalkan oleh kedua orangtuanya. Setiap harinya ia habiskan untuk mencari nafkah, ia memang tak sekolah lagi karena masalah ekonomi yang dihadapi oleh keluarganya, sehingga memaksa dirinya harus ikut turun tangan membantu. Ayah dan ibunya terkena penyakit menular, itulah sebabnya mereka tak keluar rumah karena para warga akan menjauhi ataupun menghina. Semangatnya tak pernah padam dalam berjuang mencari penghidupan untuk keluarganya, ia juga tidak pernah malu mendengar berbagai hinaan orang-orang padanya. Ini adalah hidupnya, dan di dalam hidup itu pasti akan menghadapi cobaan hingga dirinya pun ikhlas menerima segala hinaan itu.

Tapi ujian dan hinaan tak berhenti sampai di situ, semakin hari penyakit kedua orangtuanya semakin parah dan tentu saja hal itu membuat para warga tambah risi pada keluarganya.

“Udah, pokoknya usir aja, Pak RT! Kalau dibiarkan terus menerus tinggal di desa ini, bisa-bisa kita semua bisa tertular,” pungkas Pak Harto, paman Raihan sendiri. Kedua mata Raihan berkaca-kaca, ingin rasanya ia menangis saat ini karena melihat pamannya sendirilah yang ingin mengusirnya. Sedangkan ayah dan ibunya hanya bisa terduduk lemah, mereka tak mampu berkata apa-apa.

“Bener tuh, Pak RT, Pak Harto memang benar, lebih baik kita usir saja dia. Mereka itu cuma pembawa sial di desa kita, Pak,” timpal Pak Danu, teman baik Pak Harto. Warga yang lain pun ikut bersuara, meneriaki nama Raihan dan kedua orangtuanya agar cepat pergi meninggalkan desa itu. Raihan semakin terdiam, ia membisu tapi matanya dapat menjelaskan segalanya. Begitu banyak kesedihan yang ia hadapi selama ini, dan tak ada satu pun yang bisa mengerti perasaannya.

“Bapak-bapak, tenang dulu, lagi pula ke mana mereka akan pergi? Mereka adalah keluarga yang tidak mampu, jangankan berpindah tempat tinggal, makan pun mereka juga kesusahan, Pak. Jadi tolong pahami mereka,” jelas Pak RT dengan bijak.

“Alah! Ngapain mau pikirin mereka, Pak, mereka aja gak pernah mikirin tentang keselamatan kami di sini. Pokoknya usir saja!” teriak Pak Harto begitu lantang.

“Betul itu! Ayo, usir aja!” para warga pun ikut bersuara, sedangkan Pak RT sendiri tak bisa lagi membela keluarga Raihan. Sesaat ia memandangi Raihan yang tertunduk membisu, ia pun kemudian menggelengkan kepala tanda tak bisa lagi berbuat apa-apa.

“Paman, kami ini keluarga Paman. Tapi kenapa malah Paman yang ingin mengusir kami? Ayah itu kan saudara Paman sendiri. Apa salah kami, Paman?” Akhirnya Raihan angkat suara. Kini ia menangis, menangis pilu tanpa suara.

“Memangnya kenapa kalau saya mengusir kalian? Lagi pula bukan cuma saya yang ingin kalian pergi dari desa ini. Dan satu lagi, sekarang ini hubungan keluarga di antara kita sudah tak ada lagi. Percuma punya saudara yang gak berguna seperti ayah kamu itu, punya saudara malah nyusahin mulu,” terang Pak Harto tanpa merasa bersalah. Raihan dan keluarganya makin terpuruk, bahkan kedua orangtuanya hanya bisa menangis, menangis terisak mendapat pengusiran dari saudarannya sendiri.

“Udah, usir aja, pergi sana!” para warga kembali berteriak.

“Sudah pergi sana, dan jangan pernah kembali lagi!” teriak Pak Harto, lalu menyeret Raihan dan keluarganya pergi. Bukan hanya dirinya, beberapa warga pun ikut membantunya. Membantu melemparkan barang-barang milik keluarga Raihan, serta membantu melempar cacian dan hinaan.

“Paman, tolong jangan usir kami, Paman. Di mana kami akan tinggal, Paman? Ayah dan ibuku juga sedang sakit, jadi tolong paman kasihanilah kami,” mohon Raihan sambil terisak, namun pamannya yang tak memiliki hati itu tetap menyeret tubuh kecilnya hingga ia dan orangtuanya melewati perbatasan.

“Pergi, kalian, dasar penebar penyakit!” teriak Pak Harto dengan keras. Para warga pun ikut bersorak, hanya Pak RT yang diam membisu.

“Betul itu, dan jangan sampai kalian mencari tempat suci untuk kalian sebari dengan penyakit,” timpal Pak Danu. Raihan semakin menangis, jujur ia sudah tak sanggup lagi menerima segala penghinaan dan pengusiran ini. Hinggal timbul di hatinya rasa marah dan murka, terutama pada pamannya.

“Paman memang orang jahat, Paman sudah tak punya hati. Suatu saat air mataku yang telah Paman picu untuk keluar, akan menjadi air mata pembalasan untuk Paman. Dan itu sudah pasti, suatu saat aku akan membuat Paman merasakan apa yang saat ini kurasakan, bahkan lebih dari itu. Bukan hanya berlaku pada Paman, tapi ini juga berlaku bagi kalian semua yang telah menyakitiku.”

Seketika suasana menjadi hening, ancaman yang diucapkan oleh Raihan begitu nyata kedengarannya hingga membuat Pak Harto dan yang lainnya bungkam seribu bahasa.

“Sudahlah, ayo kita pergi, Nak. Tak ada gunanya kita berada di sini,” ajak ibu Raihan. Sekarang kondisinya semakin lemah, seharusnya ia dan suaminya dirawat di rumah sakit. Tapi apalah daya, mereka tak punya biaya. Raihan menuruti perintah ibunya, dengan segera ia mengambil barang-barangnya lalu melangkah pergi bersama kedua orangtuanya. Ia pergi meninggalkan para warga, yang masih terdiam. Sesaat Raihan berbalik, kini tak ada lagi linangan air mata yang terlihat justru api amarahlah yang berkobar.

“Kalian tunggu saja tanggal mainnya, suatu saat kalian akan merasakan seperti apa rasanya penderitaan itu. Dan ketika kalian sudah merasakannya, barulah kalian menyesali segala perbuatan kalian selama ini!” kata Raihan lalu pergi menyusul kedua orangtuanya.

***

Sepuluh tahun telah berlalu, meninggalkan segala jejak kepahitan di masa lalu. Ia yang dulu selalu direndahkan, dihina, dicaci, bahkan sampai diusir, sekarang telah bangkit menjadi orang yang memiliki kedudukan tinggi. Walau sudah tak ada lagi kedua orangtua yang menemani, ia tetap semangat menjalani hidup. Air mata yang pernah ia buang secara sia-sia akan memicu adanya air mata pembalasan, pembalasan yang lebih pahit dari apa yang ia rasakan sebelumnya.

Siapakah ia? Dialah Raihan, Raihan Khairul Anan. Anak kecil yang kini tumbuh menjadi pria dewasa dengan segala kesuksesan dalam genggamannya, ia yang berjuang sendiri menghadapi pahitnya dunia telah berhasil menjadi apa yang ia inginkan selama ini. Walau berbagai kesulitan dan tantangan yang selalu mengiringinya, ia tetap semangat hingga usahanya pun tak berakhir sia-sia.

Setelah pergi meninggalkan desa itu, ayah dan ibunya meninggal akibat kelelahan dan semakin parahnya penyakit mereka. Membuatnya semakin terpuruk, hingga telantar begitu saja di jalan. Namun Tuhan masih berada di sisinya, dan Tuhan masih berpihak padanya. Di tengah keterpurukan, ia dipertemukan dengan seorang pengusaha kaya raya. Kebaikan yang ia miliki membuatnya diangkat menjadi anak oleh pengusaha tersebut, hingga ia tumbuh menjadi pria yang sukses dan membanggakan. Kini ia sudah siap membalaskan dendamnya, dendam yang selama ini ingin ia tuntaskan.

“Kami sudah menemukan segala informasi tentangnya, Tuan. Jika Tuan mau saat ini juga kami bisa menghancurkannya,” kata orang kepercayaan Raihan—ia memang sudah mulai menyusun taktik untuk menghancurkan pamannya.

“Hancurkan dia secara perlahan, dan buat dia merasakan penderitaan yang berlebih. Mulailah dari menghancurkan segala usahanya, dan buat dia terkena penyakit yang sama seperti ayahku dulu!” titah Raihan dengan penuh amarah, sekarang pembalsan itu sudah dimulai.

“Baik, Tuan. Semuanya akan berjalan sesuai keinginan Tuan Raihan,” balas orang tersebut lalu pergi.

“Apakah ini sudah waktunya kamu membalasnya?” tanya Yuan, ayah angkatnya. Ia memang sudah tahu mengenai segala penderitaan Raihan, dan ia pun mendukung segala keinginan Raihan.

“Ya, ini sudah waktunya, Pah. Ini sudah waktunya ia membayar segala penderitaan yang aku rasakan selama ini.”

Yuan hanya mengangguk, ia tak ingin membahas masalah ini terlalu larut karena ia tak ingin Raihan kembali bersedih.

“Papah mendukung segala keputusan kamu, Nak,” kata Yuan lalu pergi.

“Permainannya sudah dimulai, Paman.”

***

Beberapa hari kemudian, kini sudah terdengar kabar tentang kebangkrutan usaha Pak Harto. Dan saat ini juga ia sudah terkena penyakit yang sama, seperti penyakit yang diderita oleh ayah Raihan dulu. Dan sesuai rencana, Raihan akan membangun semua pabrik di desa itu, dan dengan adanya pabrik itu bisa membuat para warga desa harus pergi meninggalkan desa. Semakin hari keadaan penduduk semakin menderita, karena adanya pabrik yang diciptakan Raihan membuat sumber air menjadi kering, tanaman-tanaman menjadi mati, penyakit mulai bermunculan, hingga tak menutup kemungkinan kematian bisa bermunculan.

“Pak RT, sepertinya kita harus menuntut pemiliki tempat pabrik itu. Karena adanya tempat itu, kita semakin menderita, jika begini terus kita semua bisa mati,” pungkas Pak Danu mewakili para warga, yang lain pun ikut mengangguk menyetujui. Sedangkan Pak RT tak tahu harus berkata apa, ia tak bisa mengambil keputusan sekarang.

“Kalian tak bisa menuntut saya, karena sebelum saya membangun pabrik itu, kalian sudah menyetujui segala ketentuannya dan sudah menandatangani surat perjanjiannya. Jadi kalian tak berhak lagi melakukan aksi protes,” jelas Raihan dengan penuh wibawa. Sentak semua orang memandangnya, dan ini kali pertama mereka bertemu dengan sang pemilik pabrik tersebut.

“Bukankah engkau Raihan?” Pak Harto yang pertama bertanya, walau bagaimanapun Raihan tetap keponakannya dan pastinya masih ada ikatan darah yang tercipta sehingga ia masih dapat merasakan sosok keponakan yang dulu ia usir.

“Apakah benar kau Raihan? Tapi bagaimana mungkin, Raihan itu kan dari keluarga miskin?” kata Pak Danu, yang lain hanya ikut menyetujui.

“Saya memang Raihan, orang yang sama yang pernah kalian usir secara tidak pantas.” Akhirnya Raihan berbicara, walaupun sudah sepuluh tahun berlalu rasa sakit itu masih saja selalu ada.

“Raihan, tolong maafkan Paman, Nak. Paman tahu kamu pasti sangat membenci Paman, untuk itu tolong maafkan Paman dan bantulah Paman agar Paman bisa sembuh, Nak.” Setelah mendengar perkataan Raihan, Pak Harto langsung berlutut di hadapannya. Sedangkan yang lain hanya tertunduk malu, saat ini mereka juga takut akan ancaman Raihan yang dulu. Sesaat Raihan memandangi pamannya yang menangis terisak, ada rasa iba yang menyelimutinya, tapi rasa dendamnya jauh lebih kuat. Dengan segera ia menjauhi Pak Harto.

“Maaf, saya sudah tidak punya paman lagi, paman saya sudah memutuskan hubungan kekeluargaan kami. Jadi jangan mengaku-ngaku lagi sebagai pamanku,” ujar Raihan tanpa memandang wajah pamannya.

“Raihan, tolong maafkan pamanmu ini. Apa kamu tidak kasihan melihat Paman harus menderita karena penyakit sialan ini?” teriak Pak Harto histeris. Ia benar-benar membutuhkan uang Raihan, bukan membutuhkan pintu maaf Raihan.

“Kasihan? Apa Paman pernah kasihan melihat Raihan yang bersusah payah merawat Ayah dan Ibu? Apakah saat itu Paman merasa kasihan melihatku diusir? Bukankah malah Paman yang mengusirku. Ingatlah, Paman, setiap tindakan pasti akan ada balasannya. Jika Paman waktu itu membantu kami, maka pastinya saat ini aku juga akan membantu Paman. Tapi tidak, Paman malah mengusir kami, jadi jangan salahkan aku juga jika saat ini aku akan mengusir Paman karena takut disebari penyakit oleh Paman,” kata Raihan penuh amarah, apalagi saat mengingat kejadian terdahulu.

Semua orang terdiam, tak ada yang berani bersuara, larut dalam rasa penyesalan masing-masing.

“Itu kan cuma masa lalu, jadi lupakan saja. Kedua orangtuamu juga sudah meninggal, jadi sekarang kamu harus membantu Paman.” Nada suara Pak Harto mulai meninggi.

“Itu tidak akan mungkin, Paman. Anggap saja semua ini adalah karma atas apa yang telah Paman perbuat di masa lalu. Dan mulai saat ini Paman harus meninggalkan desa ini, karena aku tak ingin para pegawaiku tercemari penyakitnya Paman,” balas Raihan, lalu menyuruh pengawal pribadinya untuk menyeret pamannya pergi, sedangkan para warga lainnya hanya tertunduk malu.

“Dasar keponakan tidak tahu diri, tidak berguna, bisa-bisanya kamu memperlakukan pamanmu seperti ini! Durhaka kamu, Raihan, aku ini pamanmu!” teriak Pak Harto.

Sesaat Raihan memandanginya.

“Paman lebih durhaka, ayahku adalah saudara Paman sendiri. Tapi Paman bertingkah seolah-olah sebagai musuh kami, jadi terimalah, Paman,” balas Raihan lalu pergi, jujur ini tak sejalan dengan rencanya. Tapi semuanya telah berlalu, biarlah rasa amarah itu padam dengan sendirinya. Dan air mata itu, air mata yang pernah ia keluarkan secara sia-sia telah terbayar. Air mata itu telah menjadi air mata pembalasan, dan ia sudah melakukannya.

Aisyahir25, lahir pada 25 September 2001. Sangat suka membaca dan menulis, dan berharap bisa menjadi seorang penulis. Sudah mulai menyukai menulis sejak umur 15 tahun, tapi baru tahun ini mulai mempublikasikan karya-karyanya. Akun FB: Irisma Cimma, IG: Aisyahir_25, dan WA: 085340292689.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply