Jawaban Mimpi Nadin

Jawaban Mimpi Nadin

Jawaban Mimpi Nadin

Oleh : Uzwah Anna

Seorang bocah perempuan tiba-tiba muncul di balik pohon besar yang sekelilingnya dipenuhi oleh kabut tebal diiringi lolongan serigala. Tertatih-tatih dia menyeret langkah kakinya, berjalan membungkuk seraya menuntun bocah laki-laki yang lebih kecil darinya, mungkin dia adiknya. Bagian wajah gafis itu tak bisa dipandang dengan jelas sebab terhalang oleh rambut yang acak-acakan. Pakaiannya kumal, belepotan tanah dan bercak darah sana sini. Sedari tadi tangan kanannya memegangi perut. 

Nadin mengira bocah itu sedang kelaparan, makanya dia segera menurunkan ransel dari gendongannya, membuka, mengeluarkan beberapa biskuit, lalu menyodorkan pada gadis kecil itu. Gadis itu menggeleng lemah. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu, namun tak mampu. Sebab yang keluar dari kerongkongannya hanya rentetan erangan demi erangan. Kelihatannya dia sangat kesakitan. Nadin tak tega dengan apa yang tampak di hadapannya. Dia menanyakan di bagian mana yang sakit dari bocah kumal tersebut. Namun si gadis kecil hanya mengerang.

“Makan ini agar perutmu terisi makanan, Dek,” bujuk Nadin. “Agar kau memiliki tenaga.”

Gadis pecinta alam itu lantas memegang tangan kanan si gadis kecil yang sedari tadi memegangi perutnya, bermaksud menyerahkan biskuit agar bocah itu segera memakannya.

Namun tiba-tiba pandangan Nadin terbelalak tatkala menyaksikan usus si gadis kecil memburai keluar dari perutnya. Ternyata sedari tadi gadis itu membungkuk bukan karena kelaparan. Melainkan manahan sakit akibat luka sabetan benda tajam di perutnya yang membentang dari hampir seluruh perut. Pun juga membendung ususnya agar tak keluar.

Sementara sang adik juga mengalami luka yang sangat parah di bagian leher kiri, dia juga terkena sabetan benda tajam. Itu alasannya kenapa sedari tadi kepalanya teleng ke samping kiri. Dia mandi darah sebab sedari tadi cairan merah itu mengucur deras.

Nadin panik tak keruan. Dia melangkah mundur, ingin segera lari menjauhkan diri dari dua bocah mengerikan itu. Dia berpikir bahwa tak akan ada manusia yang sanggup hidup setelah mengalami luka sedemikian parah, apa lagi mereka berdua hanya seorang bocah kecil yang diperkirakan berusia sepuluh dan tujuh tahun.

Mereka pasti bukan manusia. Mereka hantu. Ya, mereka hantu yang menghuni daerah ini. Dan tujuan mereka mendekatiku adalah untuk membunuhku. Mungkin akan menumbalkanku demi kekekalannya sebagai hantu.

Karena terus saja berjalan mundur, langkah Nadin tersandung oleh akar-akar pohon yang menyembul di atas permukaan tanah. Dia jatuh terduduk. Tak menyerah, perempuan tinggi ramping ini terus saja berusaha mundur.

Gadis kecil yang ususnya terburai dan bocah lelaki yang leher kirinya teleng itu terus maju meski langkahnya sangat lemah. Mereka mengerang kesakitan. Menimbulkan rasa pilu bagi siapa saja yang mendengarnya, termasuk Nadin.  Juga menampilkan pemandangan yang sedih sekaligus mengenaskan. Sorot mata keduanya mengisyaratkan meminta pertolongan.

Keduanya terus mengerang seraya melambai-lambaikan tangan pada Nadin.

“Jangan mendekat!” pinta Nadin gugup. “Pergi kalian. Menjauh dariku. Pergi! Pergi …!”

***

“Pergi …!” 

Nadin terbangun dan langsung terduduk. Keringatnya bercucuran diiringi napas yang memburu. Dia berdiam diri sesaat. Mengamati keadaan di sekelilingnya. Lantas meraupkan tangan di wajahnya. 

“Ternyata hanya mimpi.” Gadis itu mengembuskan napas panjang, lega. 

Namun, mimpi itu bukan sekadar bunga tidur seperti malam-malam sebelumnya. Mimpi itu seperti nyata. Sebab sampai terbangun pun dia masih mampu merasakan sentuhan ketika memegang tangan si gadis kecil di dalam mimpinya barusan. Juga terdapat bercak darah di beberapa jari-jemarinya. Padahal Nadin tak mengalami luka apa pun.

Lantas itu darah siapa?

“Ngimpi apa sih, lu ampe teriak-tetiak kayak orang kesurupan gitu?” tanya Sarah seraya menggaruk-garuk rambutnya. Beberapa kali dia menguap. Sebelah matanya juga masih menyipit. Terasa perih sebab masih mengantuk.

Nadin menggeleng.

“Enggak … enggak pa-pa. Mungkin efek film horor tadi sore,” jawabnya seperti orang menyembunyikan sesuatu.

“Makanya sebelum tidur tuh, baca do’a. Jangan chatingan mulu. Masa iya, kalah ama bocah TK sih,” gerutu Sarah seraya berbaring dan kembali menarik selimutnya.

Nadin akan segera kembali berbaring. Namun, tiba-tiba saja dia merasa ada seseorang yang tengah mengawasinya di balik jendela. Ketika dia menoleh bayangan tersebut tiba-tiba saja melebur. 

Ok, Nadin … mungkin lo sedang berhalusinasi. Jangan berpikiran macam-macam. Sekarang segera berbaring dan kembali tidur. Nadin mencoba menasihati dirinya sendiri.

Tak ingin berpikiran lebih jauh, gadis itu segera menyembunyikan diri di balik selimut.

***

Malam berikutnya Nadin mengalami mimpi yang sama persis seperti malam sebelumnya: gadis kecil dengan usus memburai, bocah laki-laki dengan kepala teleng ke kiri, erangan minta tolong, serta tangan mereka yang melambai-lambai, berdarah-darah.

Di malam itu juga Nadin juga melakukan hal yang sama: tak sengaja membangunkan Sarah karena teriakannya.

Meski merasa aneh karena didatangi mimpi yang sama dua malam berturut-turut, tetapi Nadin berusaha mengabaikannya. Dia tak ingin mencari tahu lebih jauh dan berusaha tak mengacuhkannya.

Malam ketiga, keempat, sampai ketujuh mimpi itu datang bagai teror ditengah kedamaian tidurnya. Bahkan karena mimpi itu pula Nadin semacam mengalami fobia tidur. Dia ingin selalu terjaga. 

Bagaimanapun juga manusia tetaplah manusia. Meski sudah menghabiskan kopi bercangkir-cangkir, jika tubuhnya lelah pasti pada titik tertentu dia akan tertidur dengan sendirinya.

***

“Tolong kami ….,” ucap gadis kecil itu memelas. Suaranya serak dan terdengar sangat memilukan. Baru kali ini dia berbicara pada Nadin setelah sekian malam berusaha mendatangi perempuan itu hanya dengan erangan. “Tolong kami ….” Tangannya yang berdarah melambai-lambai.

Nadin duduk meringkuk di bawah pohon besar. Berkali-kali dia menutup wajah karena merasa ngeri.

“K-kau minta tolong apa?” Nadin gugup.

“Pulangkan kami ke rumah kami.”

“Bagaimana aku bisa mengantarmu pulang, sementara aku sendiri tak tahu kau berasal dari mana.”

Gadis itu lantas menunjuk sebuah gubuk tertentu, “Kami dari sana.” Lantas dia menunjuk ke arah yang berlawanan dari gubuk tersebut: kuburan. “Pulangkan kami ke sana.”

***

Nadin terbangun dengan wajah linglung. Kali ini dia tak berteriak-teriak lagi seperti malam-malam sebelumnya. Melainkan langsung merenung. Sepertinya dia sudah mulai terbiasa dengan mimpi didatangi oleh seorang gadis kecil dan adiknya itu. 

Sebenarnya apa maksud dari mimpi-mimpiku akhir-akhir ini?

Paginya seorang pria sepuh mendatangi tempat tinggalnya selama di Dusun Natam ini. Nadin kenal orang itu. Beliau adalah Mbah Wiro: sesepuh dusun yang dipercaya memiliki keistimewaan tersendiri karena selain memahami seluk-beluk sejarah dusun ini, pun juga dapat berkomunikasi dengan makhluk tak kasat mata.

Nadin menyodorkan dan mempersilakan pada Mbah Wiro untuk meminum secangkir kopi buatannya. Setelah meneguk beberapa kali, Mbah Wiro mengedarkan pandang ke sekeliling rumah. Membuat Nadin agak curiga dan tak nyaman.

“Ada apa, Mbah?” Nadin mencoba berbasa-basi.

Setelah memastikan tak ada orang selain dirinya dan Nadin, Mbah Wiro langsung berkata, “Cah Ayu … aku tahu dia sudah mendatangimu beberapa malam ini.”

“Maksud mbah?” Nadin berpura-pura tak paham.

“Sudahlah, Cah Ayu. Ndak usah nutup-nutupi apa pun dariku. Aku sudah tau semuanya.” 

Nadin terdiam. Dia memahami bahwa kesaktian Mbah Wiro memang bukan sekadar bualan belaka seperti perkiraannya selama ini.

“Sebaiknya kita bergerak cepat.” Mbah Wiro meneruskan. “Kasian mereka sudah terlunta-lunta sekian lama. Bocah-bocah itu juga berhak memiliki tempat peristirahatan yang layak.”

“Terus …?”

“Kita harus kuburkan mereka sesuai tempat yang telah gadis itu tunjukkan padamu semalam.”

“Kapan?”

“Secepatnya … kalau bisa malam ini.”

Nadin sedikit terkejut. “Malam ini? Bukankah terlalu cepat, Mbah.”

“Lebih cepat lebih baik. Kasian mereka terlalu lama terlunta-lunta.”

Nadin berpikir sejenak. 

“Baiklah. Saya akan mengumpulkan warga dan meminta bantuan mereka.”

“Untuk apa? Enggak perlu. Cukup kita saja yang tahu hal ini. Sebab jika orang lain juga mengetahuinya akan menghilangkan kesakralan upacara pemakaman mereka.”

Nadin terdiam kembali. Menimbang-nimbang setiap kata yang keluar dari ucapan Mbah Wiro.

“Kenapa? Kau manaruh curiga pada kakek tua sepertiku, heh?” Mbah Wiro terkekeh. “Cah Ayu … Cah Ayu … kau kira kakek tua sepertiku bisa apa? Jalan saja kalau tak dibantu tongkat tak bisa berdiri. Kok, mau macem-macem. Kau dorong gitu aja, aku ya, jatuh.” dia kembali terkekeh.

Nadin memaksakan tersenyum meski tak ingin. Mencoba menetralisir suasana. Lagi pula apa yang dikatakan oleh Mbah Wiro benar. Bukankah secara fisik dirinya jauh lebih muda daripada pria sepuh itu? Dan tentu saja kekuatannya juga masih lebih bertenaga dari pada Mbah Wiro.

“Baiklah.” Nadin mengangguk mantap.

Malam hari setelah senja menyelinap di bagian bumi yang lain, Nadin dan Mbah Wiro berangkat dengan berjalan kaki menuju tempat gadis kecil dan adiknya itu meninggal.

Di sepanjang jalan Mbah Wiro bercerita bahwa dulu pernah terjadi pembantaian besar-besaran di Dusun Natam ini karena dendam turun-temurun. Tak peduli pria, wanita, lansia, maupun bocah habis semuanya di tangan lawan. Karena saking kesalnya, mayat korban bak sampah yang dibuang sekenanya: dihayutkan ke sungai, di lempar ke jurang, dan ada pula yang dipendam secara asal-asalan seperti mambuang kotoran ayam.

“Lantas dari sekian banyak orang, kenapa gadis itu dan adiknya mendatangi saya, Mbah.”

“Karena kau orang istimewa,” jawab Mbah Wiro singkat. Dia lantas menuju gubuk tempat dua bocah itu dipendam secara serampangan.

Tak banyak basa-basi Mbah Wiro langsung menggali tanah yang sudah ditandainya. Dia juga meminta Nadin turun ke liang tersebut setelah menemukan tulang-belulang yang diduga sebagai dua bocah yang kerap kali mendatangi mimpinya.

Nadin mengamati dengan seksama tulang-belulang itu. Dari bentuknya, sepertinya tulang itu milik orang dewasa.

“Sepertinya mbah salah menggali lubang. Ini bukan tulang bocah, Mbah. Tetapi orang dewasa.”

“Kau benar, Cah Ayu. Ini bukan tulang kedua bocah dalam mimpimu. Ini adalah tulang dari orang-orang yang telah kutumbalkan demi kesejahteraan Dusun ini.” Mbah Wiro langsung melayangkan gagang cangkul ke tengkuk Nadin. Gadis itu pingsan seketika.

Kali ini pekerjaan Mbah Wiro jauh lebih mudah. Karena tubuh korbannya sudah berada di liang persembahan tanpa perlu mengeluarkan tenaga lebih untuk menyeretnya. Pria beruban rata tersebut tinggal menguruk tanah pada tubuh yang pingsan tak berdaya itu. Dukun itu mengubur Nadin hidup-hidup sebagai tumbal lima tahunan.

“Asal kau tau Cah Ayu, aku yang menyabet kedua bocah tersebut menggunakan pedang yang kini telah terpendam bersama jasad mereka. Jika kau bertanya kenapa aku tega membunuh bocah, jawabannya karena bocah itu merupakan keturunan dari musuh bebuyutanku,” ucap Mbah Wiro pada gundukan tanah yang masih basah. Lantas pergi menyunggingkan senyum kebanggaan.(*)

 

Uzwah Anna

Lahir, tumbuh, dan besar di pelosok Desa Sumber Maron, Kabupaten Malang. Penikmat embun pagi beserta hangat mentari. Tak segan mencuri pandang pada pesona senja. Gemar warna hitam, biru, dan hijau. Penyuka mawar dan kudapan ala kampung.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply