Sarapan untuk Ibu

Sarapan untuk Ibu

Sarapan untuk Ibu
Oleh : Syania Azahra

Jam tiga dini hari bagi sebagian anak-anak atau bahkan orang dewasa adalah waktu yang paling menyenangkan untuk bergelut dalam hangatnya selimut. Namun, tidak dengan Intan. Gadis kecil berumur delapan tahun itu harus segera bergegas untuk membantu sang Nenek membereskan rumah dan menyiapkan sarapan untuk kedua adiknya sebelum ia berangkat ke sekolah.

Ia beranjak turun dari ranjang yang hanya beralaskan tikar lusuh dengan sangat berhati-hati. Ia tidak mau membuat kedua adik kecilnya terbangun karena itu hanya akan
Memperlambat pekerjaannya, dan akan berakibat dengan sangsi dari guru di sekolah karena terlambat—lagi.

Sang Nenek sudah lebih dulu terjaga karena harus buru-buru membawa hasil kebun di belakang rumah ke jalan besar, dan menunggu angkutan yang hanya satu kali lewat jalan situ menuju ke kota untuk menjual dagangannya dan akan kembali saat Intan hendak berangkat ke sekolah.

Mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu, memasak nasi, serta mencuci baju sudah biasa Intan lakukan. Bahkan setiap pagi dan sore ia harus membantu memandikan kedua adiknya. Ia bukan anak yatim, ia masih punya seorang Ayah yang pamit pergi untuk bekerja namun tak pernah kembali. Ibunya pun demikian, ia pamit untuk menyusul sang Ayah dan tidak kembali sampai sekarang.

***
”Kapan Ibu pulang, Mbah? Katanya lebaran. Sekarang kan sudah lebaran,” tanya Intan pada neneknya saat mereka melewati lebaran kedua tanpa orangtuanya.

”Mungkin lebaran tahun besok ibumu pulang, Nduk,” jawab wanita yang warna rambutnya sudah berubah dengan warna putih.

”Tahun lalu bilangnya tahun depan, sekarang juga bilangnya tahun depan.” Terdengar dengusan kecewa dari mulut mungil milik gadis kecil itu.

Intan sudah mengerti tentang orangtuanya, itulah yang membuatnya sangat merindukan kebersamaan mereka. berbeda dengan kedua adiknya yang hanya mengerti tentang bermain. Berlari ke sana kemari, tak jarang menangis karena berebut mainan sederhana yang dibelikan sang Nenek untuk mereka tanpa merasakan rindu seperti yang selalu Intan rasakan.

Setiap malam Intan sering kali diam-diam menangis jika mengingat orangtuanya, terutama ibunya. Ia akan menutup wajahnya agar tidak didengar oleh neneknya. Karena jika sampai ketahuan sang Nenek tidak akan segan-segan untuk memukul bokongnya menggunakan sapu. Neneknya sudah terbiasa mendidiknya dengan keras. Menurutnya anak sulung tidak boleh cengeng, karena suatu saat beban dan tanggung jawab terhadap adik-adiknya ada di pundaknya.

Setiap pagi Intan harus selalu berlomba dengan waktu, jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh dan Intan tidak bisa berangkat sebelum neneknya pulang dari pasar karena di rumah tidak ada orang lagi yang menjaga kedua adiknya. Setiap pagi juga neneknya akan memberikan uang untuknya membeli sarapan, karena akan sangat terlambat jika ia harus sarapan di rumah.

Intan kecil, tapi keadaan membuat kedewasaannya dipaksa untuk hadir lebih cepat. Umur sembilan tahun bagi anak-anak sebayanya adalah umur yang begitu indah.
Di mana ia bisa bermanja dengan orangtua, meminta mereka untuk membantu mengerjakan tugas sekolah, dan bermain-main bersama teman-temannya.
Namun tidak dengan dirinya.

***
Anak mana yang tidak merindukan ibunya, begitu pun Intan. Dulu ia sosok anak yang aktif dan periang. Tapi sejak ditinggal orangtuanya ia menjadi pendiam, entah di sekolah ataupun di lingkungan rumahnya. Ia hanya melakukan apa yang harus ia lakukan tanpa mengeluh dan seperti pasrah dengan keadaan. Hanya ada satu kegiatan yang selalu membuat matanya berbinar, Intan kecil akan sangat bahagia ketika sepulang dari sekolah ia akan memasukkan uang pemberian neneknya tadi pagi ke dalam celengan plastik miliknya. Ia bahagia karena ada harapan besar pada uang yang ia kumpulkan itu.

Seperti hari-hari sebelumya, Intan begitu bersemangat ketika pulang sekolah. Tidak memedulikan perutnya yang kosong karena belum terisi apa pun dari pagi selain air putih yang ia bawa dari rumah. Terik matahari tidak sedikit pun mengurangi semangatnya. Hari ini ia akan menabungkan uangnya sedikit lebih banyak dari sebelumnya. Hari ini ia dimintai tolong ibu kantin sekolah untuk menjaga anaknya saat jam istirahat dan Intan diberi sedikit upah berupa uang jajan.

Keceriaan gadis kecil itu hilang seketika. Napasnya masih memburu, keringat di dahinya pun masih menempel ketika ia sampai di rumah dan segera menuju tempat di mana ia biasa menyimpan tabungannya.
Ia menemukan tabungan plastiknya sudah kosong. Sepertinya sang Nenek kembali mengetahui jika Intan diam-diam menyisihkan uang jajannya lagi.

Ini sudah ketiga kalinya uang yang Intan tabung diambil oleh neneknya. Kini harapan Intan untuk bisa menyusul ibunya sirna, padahal seingatnya ia sudah msnyimpan tabungan itu di tempat yang paling aman.

Dulu Intan pernah bertanya pada tetangganya perihal keberadaan ibunya, dan bagaimana caranya agar ia bisa menemuinya. Tetangganya memberitahu Intan bahwa jika ia ingin menyusul ibunya ia harus punya uang untuk naik pesawat. Sejak saat itu tekad gadis kecil itu begitu besar untuk bertemu dengan ibunya. Rasa rindu yang sudah beranak-pinak membuatnya rela berkorban. Intan pernah betanya kenapa neneknya tidak suka jika Intan ingin menyusul ibunya. Namun, bukan jawaban yang ia dapat, pukulan gagang sapu justru yang ia terima.

Bukan tanpa alasan neneknya berbuat seperti itu, ia hanya tidak mau Intan kecewa pada harapannya sendiri. Neneknya tahu impian gadis kecil itu tidak akan pernah terwujud untuk kembali bertemu dengan ibunya, sejak setahun lalu ia mendengar kabar jika ibunya dihukum pancung di negara tempatnya bekerja karena terpaksa membunuh majikannya demi mempertahankan kehormatannya sebagai seorang perempuan.

Intan kecil yang tidak tahu keadaan sebenarnya hanya bisa menangis melihat tabungannya kosong. Masih mengenakan seragam sekolah lengkap, di belakang rumah Intan menangis sambil memeluk celengan tanpa isi itu.

”Bu, Intan kangen.”

End.

 

Syania Azahra, perempuan penyuka warna hitam dan putih yang lebih suka menikmati waktu sendiri dari pada harus berkumpul di keramaian.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply