Keindahan Tak Pernah Abadi

Keindahan Tak Pernah Abadi

Keindahan Tak Pernah Abadi
Oleh : Fathiyya Rahma

“Kamu tahu kenapa aku suka musim gugur?” tanya Anna di suatu sore yang tenang.

“Karena kamu suka daun maple yang berguguran,” jawabku.

Dua tahun sudah usia perkenalan kami ketika pertanyaan itu Anna lontarkan. Aku cukup hafal kebiasaannya yang selalu memaksa berjalan kaki dari Sungai Seine ke Jardin du Luxembourg. Seperti saat ini.

“Banyak filosofi dari gugurnya daun maple,” ucapnya sambil berhenti dan berbalik menghadapku. “Kamu masih ingat apa yang aku katakan dulu, Daniel?” Sekarang dia berkacak pinggang dan menatapku lekat.

Aku menghela napas berat. Entahlah, aku sudah sedikit lupa karena saat itu dia banyak bercerita, terlalu banyak hingga kapasitas otak tidak sanggup menampungnya. Lagi pula, ada banyak hal yang sedang kupikirkan saat ini. Apa lagi kalau bukan thesis yang harus segera selesai.

Dengan berat aku menjawab, “Aku ingat kalau gugurnya daun maple membawa keindahan tersendiri yang membuat Kota Paris berwarna orange, merah, dan cokelat. Juga, daun maple yang berwarna hijau kemudian berubah warna menjadi orange dan merah saat gugur, sebagai perlambang kesetiaan. Sedang gugurnya daun itu perlambang keindahan tidak akan kekal.”

Aku melihat sudut bibir Anna terangkat sedikit, seiring matanya menyipit menatapku. “Kamu yang terbaik, Daniel. Meskipun lebih dari itu sebenarnya. Kamu tahu bukan, ini juga alasanku kenapa memilih melanjutkan kuliah di sini. Karena tempat ini,” ujarnya kemudian.

Dia menghampiri, mengamit lenganku. Lalu berjalan menyusuri Saint Michel dari arah sungai Seine—tempat sebelumnya yang kami kunjungi—menuju Jardin du Luxembourg.

Sepanjang perjalanan, kami melewati sejumlah toko pakaian, kedai makanan, bekas bangunan gereja tua yang dibongkar, Univeritas Paris V (Sorbonne)—tempat kami menimba ilmu—dan sejumlah toko lainnya.

Salah satu sudut dari taman ini, berhadapan dengan gedung Panthéon yang berisi ratusan makam pahlawan Prancis yang usianya sudah ratusan tahun. Gedung Panthéon, seperti gedung-gedung lainnya, merupakan destinasi wisata. Pun demikian dengan area pemakaman yang ada di daerah Montparnasse.

Di sana ada makam penyair Charles Baudelaire, filsuf Jean Paul Sartre, dan dramawan Eugene Ionesco, untuk menyebut sejumlah tokoh terkenal pada zamannya. Ketiga nama tokoh tersebut, cukup dikenal di Indonesia. Karya-karya mereka banyak dipelajari di berbagai universitas di Indonesia. Itu juga yang membuat kami begitu menyukai tempat ini.

Sekarang kami sedang menuju Jardin du Luxembourg yang merupakan sebuah taman di Paris, yang luasnya mencapai 22 hektare. Di dalamnya ada Luxembourg Palace, yakni kantor Senat Republik Prancis. Selain itu, ada juga Museum du Luxembourg. Meski tidak terlalu besar, tapi asri. Di museum tersebut sering digelar pameran lukisan, baik dari karya pelukis masa kini maupun masa lalu.

Tempat ini dibangun oleh Marie de Medici, janda Henry IV, yang juga ibu dari Raja Louis XIII. Beliau berasal dari keluarga bangsawan di Florence, Italia. Pada tahun 1612 , Marie de Medici membeli 22 hektare tanah kepunyaan pemilik hotel du Luxembourg dan membangun istana baru di sana.

Aku dan Anna sering mengunjungi tempat itu. Selain suasana yang indah, di sana juga begitu tenang. Kami bisa membaca buku atau menikmati santainya suasana.

Sekarang, kami duduk di bangku kayu taman yang berwarna kecokelatan. Untuk mendapatkan bangku kosong di tempat ini, cukup mudah karena banyak tersedia. Jadi, masih ada saja yang bisa diduduki. Atau mungkin, orang-orang lebih tertarik dengan menara Eiffel? Entahlah. Yang jelas, Anna menyukai tempat ini dan aku pun akan menyukai apa yang dia suka.

Dia menyandarkan kepala di bahu kiriku. Rambut Anna yang panjang, perlahan jatuh tergerai menutupi sebagian wajahnya. Aku tersenyum, lalu merapikannya ke belakang telinga Anna.

“Terima kasih, Daniel, untuk segalanya. Kamu … selalu baik padaku selama ini,” ucap Anna lirih.

“Kenapa berkata seperti itu?”

“Karena aku sangat bersyukur bisa mengenal seorang sahabat sepertimu,” ucap Anna, lalu mendongak menatapku. Iris cokelatnya terlihat begitu indah bak permata.

Namun, saat ini aku tidak bisa menatapnya lebih lama. Ada nyeri yang perlahan berdenyut di sini. Di dalam rongga dada saat kata “sahabat” lagi-lagi keluar dari bibir tipis, semerah daun maple yang gugur di depan sana.

Apakah begitu sulit untuk mengartikan kepedulianku padanya selama ini? Apakah begitu sulit untuk memahami rasa yang kumiliki? Tidak bisakah untuk lebih dari sekadar sahabat? Ah, kenapa sulit sekali menahan sakit yang selalu muncul saat mendengar itu. Bodoh sekali kamu, Daniel!

Aku memilih menatap dedaunan yang berserakan memenuhi sudut taman. Tertangkap mataku pohon-pohon maple berdiri tegak dengan daun serupa bunga, jika dilihat dari kejauhan sebab warna-warninya yang indah. Namun sayang, hatiku tak berwarna seperti daun-daun itu sekarang. Gelap.

“Ya, sama-sama. Meskipun sebenarnya tak perlu berterima kasih.” Aku berujar sambil berusaha menetralisir perasaan yang mulai kacau. Seharusnya dia tahu tidak ada persahabatan yang murni antara pria dan wanita dewasa.

Kami diam. Hanya suara kicau burung yang terdengar samar. Beberapa orang lewat dengan pakaian olahraga. Lalu, ada juga sepasang orang tua yang berjalan bergandengan menapaki jalan setapak di pinggir taman. Apakah aku akan seperti itu saat tua nanti? Kalaupun iya, aku harap yang menemaniku adalah Anna.

Ah ….

Tak ada obrolan yang keluar seperti biasa. Sepertinya, dia sibuk dengan pikiran sendiri, begitu pun aku. Tubuh kami duduk bersisian, bahkan dia masih bersandar di bahuku. Namun entah, rasanya hati seolah berjarak.

Jika dipikir-pikir, seminggu sudah emosinya naik turun. Cepat berubah. Kadang banyak bicara seperti dulu, lalu tiba-tiba diam, melamun. Tadi Anna begitu banyak bicara di pinggir Sungai Seine dan masih banyak bicara saat perjalanan ke sini. Namun lihatlah, sekarang dia bungkam.

Aku ingin bertanya, tapi teringat kemarin saat kudengar jawabnya yang selalu saja tidak ada apa-apa. Anna … tahukah aku begitu peduli padamu melebihi diri sendiri? Mengapa tak pernah memberi aku kesempatan untuk sebentar saja meraba hatimu?

“Kamu ingat puisi yang aku bacakan di sini, dua tahun lalu?” tanyanya tiba-tiba, memecah keheningan.

“Aku ingat kamu membacakan sebuah puisi. Hanya saja, aku sudah lupa bagaimana lariknya.”

Dulu, di tempat ini dia pernah membacakan sebuah puisi dengan suara yang merdu. Aku ingat bagaimana mataku tak bisa lepas dari memandang ekspresinya. Ada keindahan sekaligus kesedihan yang terpancar. Dan juga, ada debar yang bertalu-talu. Aku hanya mengingat Anna, bukan isi puisinya. Konyol, bukan?

“Mau aku bacakan lagi, Daniel?”

Aku mengangguk.

Dia bangkit dan mengambil ponsel, mungkin sedang mencari catatan. Tak lama Anna berdeham dan mulai membacanya.

“Puisi dari Wing Kardjo. Dengar, tidak boleh tertawa!”

Jardin du Luxembourg

Apakah hanya sunyi saja pagi itu

antara hidup dan kembang-

kembang kuncup, jauh

di dasar benua?

terlupa, dalam akar-akar musim

terkubur dingin. Apakah

hanya sunyi saja pagi

ini antara matahari

dan salju putih, taman

beriak, silau dari

tepi ke tepi

Antara mimpi dan otak

yang rusak hanya

sunyi berteriak

Antologi puisi Fragmen Malam: Setumpuk Soneta (Pustaka Jaya, 1997:59)

Aku masih menyukai suara Anna yang merdu. Akan tetapi tidak dengan ekspresinya kali ini. Berbeda, dan aku tidak suka! Apalagi ada air mata yang menetes, membasahi pipi tirusnya. Kesedihan jelas lebih dominan, daripada semangat yang dulu terpancar di wajah itu, saat pertama kali kudengar dia membacakannya untukku.

Segera beranjak dari duduk, aku menghampirinya. “Kenapa?”

Dia tiba-tiba memangkas jarak di antara kami, menghambur memeluk tubuhku. Erat, erat sekali. Aku terkejut. Sedang dari bibirnya, masih tidak ada jawaban. Hanya isak yang terdengar. Anna?

Oh, Tuhan. Sungguh! Melihat Anna seperti ini, sakit rasanya.

“Jika ada masalah, seharusnya kamu cerita padaku. Kamu anggap aku apa?”

“Aku seperti pohon maple yang kering di musim dingin. Tak diinginkan lagi, setelah daun-daunnya gugur. Tidak ada yang menyukai lagi setelah keindahannya hilang,” ujar Anna di antara tangis.

Aku mengelus rambut hitamnya. “Kamu sudah berpisah dengan pacar barumu—Gabriel?” tanyaku pelan.

Entah kenapa menyebutkan nama itu membuat muak. Cemburu? Iya!

Dia menggeleng.

“Lalu apa masalahnya?”

“Aku akan pulang ke Indonesia, Dan.”

“Hah?!” Aku kaget dan melonggarkan pelukan. “Jangan bercanda. Kita belum lulus, An.”

“Aku serius, ini sudah aku pikirkan matang-matang. Lagi pula, aku sudah tidak konsentrasi untuk melanjutkan penelitian. Tidak ada semangat juga, tidak ada yang menyukaiku.”

“Anna, jangan konyol. Lalu, kamu anggap aku apa selama ini?” Aku bertanya sambil menunjuk dada.

Ada rasa di mana kesakitan lebih mendominasi meski di satu sisi aku juga merasa ada yang salah dengan dirinya. Anna seolah pesimis, berbanding terbalik dari dirinya yang kukenal tak mudah putus asa.

“Kamu sahabatku, Dan.”

Kini pelukan kami benar-benar terlepas.

Jarak kembali tercipta, dan dia memilih duduk di bangku kayu tadi. Matanya bergerak-gerak, tangannya berulang kali diremas. Wajah itu kini benar-benar terlihat berbeda. Ada ketakutan yang tampak, meski samar.

Aku menghampiri Anna dan berjongkok di hadapannya. Menatap mata cokelatnya, aku berkata, “Kamu boleh anggap aku sahabat. Tapi buatku, kamu bukan hanya sahabat. Jauh sebelum kamu bersama dengan pria-pria itu, aku lebih dulu menyukaimu. Semua hal tentang dirimu. Bagiku, kamu tetaplah indah, siapa bilang kamu sudah tidak indah lagi?”

Entah kenapa, aku ingin mengatakan ini padanya. Mungkin hanya ingin berkata jujur dan melepaskan beban yang selama ini memenuhi dada, hingga terkadang terasa sesak.

“Jangan!” ucapnya seraya menggeleng. “Jangan menyukai perempuan kotor sepertiku.”

“Anna …,” panggilku lirih, lalu membingkai wajahnya dengan kedua telapak tanganku. “Setiap orang pernah berdosa, pernah berbuat salah. Begitu pun aku. Tapi tolong, jangan bilang dirimu perempuan kotor. Kamu bukan penjaja ….”

“Tapi, kamu tahu bagaimana aku dengan mereka. Dan sekarang ….”

Ucapannya menggantung, berhenti begitu saja.

Anna pun berdiri. Tarikan tanganku di lengannya dilepaskan kemudian, begitu saja. Aku terdiam bimbang.

“Kita tetap berteman saja, Daniel. Kamu lebih pantas untuk orang lain.”

Aku coba membantah, tapi telunjuk Anna menempel di bibirku. Seketika aku pun diam, kuperhatikan lagi dirinya yang menggeleng dengan genangan di pelupuk matanya.

Pelan dia pun pergi meningalkanku dengan segudang pertanyaan yang menggantung.

***

Kepergiannya sore tadi membuat tidurku tidak nyenyak. Apalagi, tidak ada kabar sama sekali dari dirinya. Baik telepon atau pesan di akun sosial media, tidak ada yang direspons. Sialan! Dia benar-benar menyiksaku.

Keesokan harinya, dia pun tidak tampak di kampus. Begitu juga dengan hari-hari berikutnya. Hingga seminggu berlalu, kuberanikan diri mendatangi tempat tinggal Anna.

Sempat ragu seraya memandang gedung apartemen yang terletak di pinggiran Kota Prancis, bangunan lima lantai dengan design klasik. Balkon-balkonya tidak begitu terawat, mengurangi keindahan tempat ini.

Beruntung aku bertemu dengan Breana—teman satu kamarnya. Kuputuskan untuk bertanya perihal Anna.

“Aku tidak tahu apa yang dia lakukan Anna di luar sana. Dia jarang pulang dua bulan terakhir ini. Dan … dia sudah pulang ke Indonesia,” tuturnya.

“Bre, kamu tidak bercanda?” tanyaku sambil mengguncang bahunya.

Dia menggeleng. “Aku tidak tahu dia ada masalah apa. Sebenarnya aku sudah berjanji tidak akan mengatakan apa pun padamu atau orang lain yang bertanya tentangnya. Tapi sepertinya kamu harus tahu, mungkin dia malu karena dia ….” Breana menggigit bibir dan menggantung ucapan.

“Dia kenapa?”

Breana menghela napas sebelum berkata, “Ini hanya asumsiku saja bahwa dia hamil. Beberapa kali, aku melihatnya terkena morning sickness. Emosinya juga tidak stabil sebelum dia memutuskan untuk keluar dari kampus dan kembali ke negaranya. Hmm … doakan dia baik-baik saja, Daniel,” ucap Breana sambil menepuk punggungku dan berlalu pergi.

Aku bergeming di halaman apartment mereka. Kaget dan tidak percaya dengan apa yang kudengar. Mungkin lebih baik mendengar dia menikah dengan orang lain dari pada harus mendengar kabar ini.

Cukup lama aku berdiri, tercenung. Sebelum akhirnya melangkah menyusuri jalan yang diapit oleh pohon-pohon maple. Melewati tumpukan daun berwarna merah yang berserakan di kanan-kiri jalan. Seperti hatiku yang telah terserak.

Kini, aku mengerti tentang ucapannya kemarin. Dia bukan lagi kembang mawar yang indah. Bunga itu telah layu. Seperti daun maple yang gugur, keindahannya memang tak kekal. Mungkin, telah hilang.

Dan apa pun yang terjadi padanya, yang jelas Anna telah pergi. Meninggalkanku dengan tanda tanya dan menolak perasaan yang kupunya. Apalagi yang tersisa? Tidak ada!

Haruskah kuucapkan adios pada cinta yang belum juga mekar sempurna? Gugur seperti daun-daun maple.

T, September 2019

Fathiyya Rahma adalah seorang wanita 28 tahun yang menyukai kopi dan cokelat. Menulis adalah cara untuknya menenteramkan jiwa dan menyalurkan emosi. Bisa kenal lebih dengan akun FB-nya Fathiyya Rahma atau email fainayya3@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply