Penghujung Asa
Oleh : Veronica Za
“Never!”
Lagi-lagi aku harus mengucapkan kata itu dengan tegas. Haruskah mereka selalu mempertanyakan soal prinsip yang kupunya saat ini. Tak ingin, dan tak akan pernah menikah meskipun usiaku sudah menginjak dua puluh delapan tahun. Toh, selama sepuluh tahun terakhir ini aku bahagia, meski tanpa orang-orang yang biasa disebut “keluarga”.
Anggi menatapku dengan ekspresi kesal dan putus asa. Dia adalah sahabat yang kumiliki sejak kejadian nahas itu terjadi. Entah sudah ratusan bahkan ribuan kali gadis itu membujukku untuk membuka hati. Tentu saja berakhir dengan hasil yang sama.
“Ayolah, Sya. Tidak semua pernikahan akan membawamu dalam kehancuran. Jangan sama ratakan pria yang ada di dunia ini dengan ayahmu,” Anggi berkata lirih. Bakso di hadapannya tak lagi membuatnya berselera, terlihat dari caranya yang terus mengaduk isi mangkuk itu. Padahal setahuku, Anggi biasa menghabiskan dua mangkuk bakso seorang diri.
“Apa akan ada jaminan jika pernikahanku tak setragis ibuku atau Kak Ellisa? Mereka berdua berakhir di pemakaman akibat ulah makhluk yang mereka panggil suami. Cukup bagiku melihat kematian mereka dari dekat ketika usiaku bahkan belum menginjak dewasa,” aku menjeda sejenak demi menghalau sesak yang menjalari dada. Anggi masih menatapku sendu. “Kini, masa depanku hanya aku yang berhak menentukan. Bukan juga dirimu, satu-satunya sahabat sekaligus keluargaku!”
Beberapa saat kami terdiam. Dalam hatiku sedikit merasa bersalah, tapi ini hidupku, bukan? Anggi menyentuh jemariku seolah menguatkan. Sentuhan itu masih sama menenangkannya seperti saat itu. Ketika ibu dan kakakku meninggal akibat KDRT dalam pernikahan mereka.
“Hai!” sapa seseorang yang membuatku tersedak bakso. Bukannya menolong, Anggi malah tertawa memegangi perutnya. Untung saja kios bakso ini sudah agak lengang. Jika tidak, malulah aku! “Maaf! Aku tidak tahu kalau kamu akan sekaget ini,” sesal pemuda bermata sipit sembari menepuk-nepuk punggungku lembut.
“Tidak apa-apa,” jawabku setelah batuk reda. Arya, kakak dari Anggi itu duduk di sebelah sang adik dan mencuri suapan terakhirnya. Aku balas menertawakan tingkah mereka yang selalu saja konyol.
Bukankah ini saja sudah lebih dari cukup? Kedua sahabatku itu tak mungkin membiarkanku mati kesepian.
****
Laju kereta menembus pekatnya kabut dini hari. Kabar tengah malam tadi membuatku tak bisa berpikir jernih lagi. Anggi sedang berjuang melahirkan buah hati pertamanya. Sayang, adanya komplikasi mengakibatkan pendarahan pasca kelahiran.
Tepat pukul delapan pagi kereta Argo Parahyangan yang kutumpangi tiba di Stasiun Gambir. Aku berusaha secepat mungkin untuk bisa sampai di rumah sakit tempat Anggi melahirkan.
Entah kenapa koridor rumah sakit pagi ini seakan menakutiku. Jemariku mengusap pipi yang basah oleh keringat dan … air mata? Entah sejak kapan aku menangis. Langkahku terhenti kala sosok yang malam tadi memberi kabar, berdiri di ujung sana. Tanpa sadar, aku berlari memeluknya erat seolah mencari kekuatan. Aku tak ingin lagi merasakan yang namanya kehilangan.
“Semua baik-baik saja, Tasya. Anggi dan dua jagoannya sudah lahir dengan selamat. Masa kritis itu sudah lewat.” Arya mengurai pelukannya dan menatapku lekat. Ada senyuman yang mengandung banyak arti di dalamnya. “Selamat, Tasya! Kamu jadi seorang Tante sekarang,” lanjutnya seraya kembali mendekapku.
Arya mengantarkanku ke ruang rawat VIP serba putih berhiaskan balon berwarna-warni lengkap dengan ucapan selamat. Tentu aku tahu itu ulah Bagas—suami Anggi—yang kini tengah menjemput mertuanya di bandara. Anggi sendiri masih terlelap kelelahan. Dua box tempat para jagoan itu terlelap menarik perhatianku. Mereka terlihat begitu damai dan juga menggemaskan.
Puas memandangi si kembar, kami menuju taman rumah sakit demi mengusir gundah yang sejak semalam menghantui, dan itu berhasil. Suasana pagi hari memang menyenangkan. Kupu-kupu aneka warna yang tengah sibuk mencari bunga menjadi fokusku kali ini.
“Maaf, aku membuatmu khawatir,” ucap Arya setelah beberapa saat saling diam.
Aku menggeleng tanpa mengalihkan pandangan. “Malah aku akan sangat membencimu jika sampai tak memberi kabar. Baik atau buruk yang terjadi itu bukan pilihan kita melainkan takdir. Aku memahami itu beberapa menit yang lalu.”
Pria bermata sipit itu tersenyum sangat manis tepat di saat aku menoleh. Perlahan aku merebahkan kepalaku di bahunya sembari memejamkan mata. Menikmati kehangatan yang sedari dulu kurindukan. Ya! Aku rindu sosok keluarga. Aku bohong soal ketegaran dan juga keangkuhanku tentang hidup sendiri selamanya. Munafik memang!
“Aku terima permintaanmu satu tahun lalu, Arya. Itu pun jika masih berlaku,” lirihku masih dengan mata terpejam. Tanpa melihatnya pun, aku tahu ia terkejut dan mencoba mencari kesungguhan dariku. Tak lama, kecupan lembut terasa di keningku. Itu cukup!(*)
Tangerang, 12 Mei 2019
Veronica Za, seorang karyawati dengan dua buah hati yang mungil, sangat suka menulis dan membaca kisah-kisah romantis. Sampai saat ini masih terus mencoba dan belajar demi memperbaiki kualitas menulis. bisa dihubungi via surel veronica160.vk@gmail.com dan FB dengan nama yang sama.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata