Namaku Em
Oleh : Mila Athar
Namaku Em. Tak ada embel-embel lain di belakangnya. Mengapa bisa? Jika kau bertanya seperti itu, maka akan kujawab bisa saja. Apa yang tidak bisa di dunia ini. Orang tuaku memang unik. Mereka suka kepraktisan. Nama panjang menurut mereka tidak ada gunanya. Toh akhirnya ketika namamu berderet panjang, tak mungkin akan dipanggil semua. Mereka hanya akan memanggilmu dengan beberapa kata entah di bagian belakang atau depan. Atau yang lebih sia-sia lagi, namamu begitu panjang, tetapi kau dipanggil dengan nama yang sama sekali tidak berkaitan dengan nama panjangmu tersebut. Contohnya salah satu temanku, namanya Wayan Putra Nugraha Prasasti Astu Erlangga Sabda. Dan kau tahu nama panggilannya? Le. Tidak ada hubungannya sama sekali kan. Konon itu adalah nama kesayangan ibunya yang asli Jawa. Sejak kecil dia dipanggil seperti itu dan terbawa ketika dia berkenalan dengan teman-temannya.
Namaku Em. Selain soal namaku. Aku adalah penyuka kopi. Bagiku kopi adalah minuman surga yang ada di dunia. Katakanlah aku berlebihan, tapi biar saja. Biji kopi ini pertama kali ditanam di Ethiopia hingga menyebar ke seantero dunia. Bermacam jenis kopi aneka rasa kini mulai bertebaran. Namun aku tetap setia dengan kopi hitamku.
Namaku Em. Untuk kesekian kalinya aku di sini, sendiri. Setiap hari aku berkunjung ke kafe bernuansa etnik ini untuk menikmati secangkir kopi hitam tanpa gula. Kopi hitam di sini nikmat luar biasa karena kepahitannya. Bagiku semakin pahit kopi semakin nikmat rasanya. Kau pasti berpikir lidahku aneh. Namun bagiku tidak. Aku baik-baik saja dengan lidahku ini. Kuberitahu satu hal, rasa di lidah hanyalah soal persepsi. Jika kita mengatakan bahwa suatu makanan rasanya tidak enak, maka itulah yang akan kita terima di hati dan pikiran kita. Pun sebaliknya. Maka jangan heran jika sebagian orang suka atas suatu makanan sebagian lainnya tidak.
Namaku Em. Aku punya luka. Tapi tak kubiarkan menganga. Karena jika ku biarkan menganga ia akan menjalar merusak segalanya. Luka jika kau nikmati tak akan berat sakitnya. Karena aku punya obatnya. Waktu. Ya waktu adalah obat terbaik. Nikmati saja perlahan, waktu yang akan menyembuhkannya. Enak sekali kau bicara, Mungkin banyak yang berteriak memakiku seperti itu. Hai, kubilang aku sudah membuktikannya. Kalau kau tak percaya itu hakmu. Bukan urusanku. Bagi yang percaya, coba saja.
Namaku Em. Aku punya cinta. Cinta yang besar. Namun aku tidak pernah menyebutnya jatuh cinta. Karena jatuh itu sakit. Maka aku memilih bangun cinta. Karena bangun itu kuat, semangat, dan tidak sakit. Namun meski aku menamakannya bangun cinta. Toh, aku tetap sakit. Karena ternyata cinta itu esensinya bukan dari nama namun dari perasaan kita. Hati kita sendiri.
Namaku Em. Aku bahagia. Bagiku bahagia adalah keharusan. Hidup cuma sekali harus bahagia. Rugi sekali, hidup cuma sekali tapi dihabiskan dengan kesedihan. Lagi pula kuberitahu. Jika sedih biasanya kita menangis. Menangis itu melelahkan, mata jadi perih dan hidung jadi beringus. Menjijikkan sekali.
Namaku Em. Aku suka tertawa. Karena aku tidak suka bersedih. Kan sudah ku beritahu menangis itu melelahkan. Maka aku suka tertawa-tawa di mana saja. Waktu mandi aku tertawa. Waktu makan aku tertawa. Waktu tidur dalam mimpiku aku juga tertawa. Di jalan-jalan aku tertawa. Tawaku ada di mana-mana. Ku sebar agar orang tertular bahagia. Pokoknya selain kopi, aku suka tertawa.
Namaku Em. Kembali ke kopi. Bagiku kopi mengingatkanku pada rasa. Rasa antara manis atau pahit yang kau reguk di satu waktu. Ada yang menyukai pahitnya saja. Mungkin ia pernah terjebak pada luka, hingga ia tak mau mereguk rasa manis lagi. Atau sebaliknya menginginkan rasa manis, karena terluka dengan pahit dan sulit sembuhnya. Dan akhirnya aku disini memilih rasa diantara keduanya. Karena menyeimbangkan rasa membuat hidupmu lebih bijak menikmati semua.
Namaku Em. Aku suka mengoceh. Ocehanku mengalahkan orator ulung sekalipun. Mengocehkan berbagai hal. Orator ulung hanya ngoceh waktu tertentu. Aku ngoceh setiap hari. Karena hai, kau perlu tahu. Aku sudah mengalami berbagai hal dalam hidupku. Tak percaya, ayo kita berjumpa. Kuceritakan kisah hidupku yang istimewa. Tak ada orang yang mau menjalaninya. Maka akan sia-sia jika tak diocehkan.
Namaku Em. Aku meneguk kopi hitam di depanku untuk kesekian kali. Di bawah lampu remang kafe yang berwarna kuning. Menikmati kopi, luka, cinta, tawa, ocehan, dan hiruk pikuknya.
Namaku Em. Aku beritahu satu rahasia, aku adalah salah satu penghuni rumah sakit jiwa di koridor sebelah sana. (*)
Mila Athar. Hanya seorang gadis biasa yang mencoba belajar beraksara yang terserak di semesta.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata