Putri Rinai
Oleh : Mila Athar
Alkisah, di belahan bumi sebelah timur sedang dihebohkan dengan persiapan kelahiran penerus tahta yang telah lama ditunggu-tunggu. Para penghuni istana sibuk membantu sang Ratu mempersiapkan persalinan. Ada yang mengambil air, kain lap, selimut untuk memenuhi permintaan bandari. Bandari adalah orang yang membantu persalinan sang Ratu.
Di tengah kesibukan tersebut, sang penguasa duduk termangu. Wajahnya tampak suram. Keningnya berlipat, tanda kerisauan pada dirinya. Sang panglima yang melihat hal tersebut pun menjadi penasaran.
“Wahai paduka, maafkan hamba jika lancang, apa yang membuat paduka begitu risau?”
“Hmm, tak apa-apa Panglima, aku hanya berpikir.”
Tiba-tiba terdengar lengkingan tangisan bayi yang memecah di istana tersebut. Raja segera beranjak dari singgasana dan menuju ke sumber suara tangisan.
Sang Raja segera beranjak dari singgasananya. Hatinya membuncah bahagia mendengar tangis bayi yang telah lama didambakannya. Langkah kakinya mantap dan bergegas. Ketika tiba di kamar sang Ratu, tak terdengar lagi suara tangisan sang bayi. Raja mengerutkan kening dan segera bergegas membuka pintu.
Raja melihat Bandari menggendong bayi merah. Beliau segera beranjak dan tak sabar melihat jenis kelamin bayi tersebut. Bandari yang melihat kedatangan Raja tampak gugup dan segera menundukkan badan menyambut. Raja hanya mengangguk.
“Bandari penerusku kelihatannya sudah lahir dengan selamat. Beritahu aku, apa jenis kelaminnya?”
“Maafkan, hamba paduka. Ratu telah melahirkan seorang putri cantik yang sehat.”
“Apaaaaaa, putri?” Suara Raja menggelegar memecah ruangan. Ia tak menyangka jika keturunan yang telah lama ditunggunya adalah seorang putri.
Raja menahan amarah. Ia melihat ke arah sang Ratu yang tertidur karena kelelahan sehabis melahirkan.
“Singkirkan bayi itu, aku tak mau melihatnya,” tanpa ekspresi Raja menyampaikan titah.
Bandari tampak terkejut dan hanya mengangguk tak berani membantah. Tubuhnya bergetar gugup. Ia segera beringsut sambil menggendong sang bayi.
“Jangan sampai Ratu atau siapapun tau. Ini hanya menjadi rahasia kita. Apabila Ratu bertanya, katakan saja kalau sang bayi telah meninggal dunia. Jika kau berani membocorkan rahasia ini, maka nyawamu dan keluargamulah yang jadi taruhannya.”
Sang Bandari hanya mampu mengangguk. Malam itu menjadi malam yang tak pernah bisa ia lupakan seumur hidupnya.
*****
Gadis itu berlari diantara pohon rindang dan bunga-bunga bermekaran. Baginya tidak ada yang lebih menyenangkan daripada menghirup udara sejuk di sekitarnya diiringi dengan kicauan burung di dahan pohon. Tiba-tiba langkahnya terhenti, ia melihat seekor pipit tergeletak tak berdaya. Setelah meletakkan pipit secara hati-hati di tangannya, ia memeriksa kondisinya. Ternyata, salah satu kaki pipit terluka. Gadis berhidung bangir itu akhirnya memutuskan untuk membawa burung malang tersebut pulang.
Setelah sampai rumah, ia meletakkan pipit tersebut di samping rumah dan merawat lukanya. Dengan sabar dan telaten ia merawat luka si pipit.
“Rinai, apa yang sedang kamu lakukan?”
Gadis manis itu tersentak bangun dan menengok ke arah suara yang menegurnya.
“Aku menemukannya di hutan Nek, kakinya terluka dan merawatnya.”
Nenek hanya mengangguk kemudian berujar kembali, “Jika kau telah selesai, temui Nenek di ruang depan. Ada hal yang harus Nenek bicarakan.”
Wajah Nenek begitu serius seperti menyimpan beban yang begitu berat. Setelah selesai ia bergegas
“Apa yang ingin Nenek bicarakan?”
Perlahan Nenek menyerahkan sebuah gelang berwarna tembaga. Ada ukiran di sepanjang gelang berbentuk seperti sulur. Rinai mengamati gelang tersebut dengan rasa penasaran.
“Apa ini Nek?”
“Itu adalah gelang milikmu. Waktu itu tiba-tiba hujan turun sangat deras padahal tidak ada pertanda apa-apa. Nenek segera bergegas pulang, namun tiba-tiba aku mendengar suara tangisan bayi yang cukup kencang. Nenek mengikuti suara tangis tersebut dan menemukan bayi cantik di bawah pohon besar di tepi hutan sebelah barat. Lalu Nenek membawa bayi tersebut merawat serta mengasihinya. Dia sekarang telah dewasa tumbuh menjadi gadis cantik dan baik budi.”
Mata Nenek tampak berkaca-kaca. Dia memandang gadis di depannya dengan penuh rasa sayang. Tangannya terulur dan membelai rambut si gadis dengan lembut.
“Nenek memberinya nama Rinai, karena setiap kali dia menangis maka tiba-tiba langit memuntahkan airnya secara bersamaan.”
Rinai segera memeluk wanita tua yang dikasihinya tersebut. Dia sudah menganggap Nenek seperti orang tua yang tak pernah dimilikinya.
“Saat ini Nenek ingin meminta satu hal. Carilah orang tuamu.”
“Tidak Nek, Rinai tidak ingin mengetahui siapa orang tua Rinai.”
“Kau harus mencari mereka. Beberapa malam ini Nenek bermimpi. Orang tuamu adalah seorang Raja di negeri ini. Entah benar atau tidak, pergilah ke istana.”
Rinai tetap menggeleng kuat-kuat. Ia sangat menyayangi Nenek dan perkampungan hutan ini.
“Kau bisa kembali kalau kau sudah menemukan orang tuamu atau kalaupun nanti kau tidak kembali, Nenek juga tak keberatan.”
Rinai hanya menggeleng, air matanya mulai turun satu-satu. Bersamaan dengan itu, langit mulai gelap dan hujan mulai turun begitu derasnya.
******
Raja termenung. Bertahun-tahun segala cara ia tempuh untuk mencari putrinya. Namun hasilnya nihil. Hal itu diperparah dengan musim paceklik yang melanda wilAyah keRajaan. Telah sekian lama hujan tidak turun. Rakyat kelaparan di mana-mana. Rakyatnya hidup dalam kesengsaraan. Raja menyesal, mungkin ini akibat dari kesalahan besarnya membuang putrinya.
Ia ingat, sehari setelah ia memerintahkan untuk membuang putrinya masalah demi masalah selalu menerpa. Mulai dari Ratu yang buta karena menahan sedih ditinggal oleh anak yang telah lama dinantinya. Hingga keRajaan-keRajaan yang mulai memutus hubungan persahabatan. Akibatnya, keRajaannya tidak berkembang dan rakyat tidak dapat menjual hasil panennya ke luar.
Sumber air di wilAyah yang dikuasainya lama-lama juga semakin menipis dari tahun ke tahun. Para penduduk harus mencari sumber air dari wilAyah keRajaan lain. Itupun dengan menempuh jalan berpuluh kilometer.
Tidak sampai di situ. Setiap malam, Raja selalu dihantui mimpi buruk. Bayangan-bayangan hitam selalu mengejar dan hendak mencekiknya. Kini, ia menjadi Raja yang penuh dengan nestapa. Maka, ia memutuskan untuk membuat sayembara. Siapa saja yang bisa menurunkan hujan akan diberi imbalan wilAyah sebanyak separuh dari keRajaan ini. Karena dengan hujan wilAyahnya akan kembali makmur.
Berbondong-bondong para ksatria, pangeran, orang sakti hingga orang biasa mengikuti sayembara tersebut. Namun, mereka pulang dengan tangan hampa. Tak ada yang berhasil mendatangkan hujan di keRajaan tersebut.
******
Rinai terus berjalan tanpa lelah. Telah tujuh hari perjalanan ini ia lalui. Ia telah jauh dari kampung halaman Nenek. Akhirnya Rinai memutuskan untuk mencari orang tuanya. Rinai tak sanggup menolak permintaan Nenek. Setiap hari Nenek selalu membujuknya dengan tatapan mengiba.
Perjalanan yang dilaluinya tidak gampang. Ia harus masuk ke luar hutan, menuruni lembah dan bukit. Namun entah mengapa awan seolah-olah selalu menaunginya. Setiap hal-hal jahat ingin mendekat, langit seolah membantu dan mereka yang berniat jahat lari tunggang langgang.
Langit telah berubah oranye. Senja akan segera tiba. Sekitar mulai gelap. Saat ini Rinai tiba di sebuah gerbang dengan ukiran besar di tengahnya. Ia mengeja nama keRajaan tersebut dalam hati. Ia memutuskan untuk melangkah perlahan memasuki gerbang. Walaupun keadaan sekitar cukup gelap, Rinai bisa melihat pemukiman tersebut cukup memprihatinkan. Mulai dari tumbuhan yang gersang, penduduk yang kurus kering hingga rumah-rumah yang berdebu tebal. Timbul iba dalam hatinya.
Gelap sudah sempurna menjelma. Rinai memutuskan untuk bermalam di pemukiman ini. Ia bertanya ke salah satu penduduk letak penginapan. Telunjuk sang penduduk mengarah ke ujung jalan dengan penerangan seadanya. Rinai segera beranjak dan meninggalkan tempat tersebut.
******
Rinai bergegas menuju istana. Tadi pagi ketika sedang makan tak sengaja ia mendengar percakapan tentang sayembara keRajaan. Rinai penasaran untuk ikut. Ia tidak tergiur akan hadiahnya, namun ia peduli dengan penduduk wilAyah ini. Ia berharap para penduduk lebih sejahtera setelah turun hujan.
Ketika ia tiba, ada beberapa antrian di gerbang istana. Ternyata peminat sayembara ini cukup banyak. Tiba-tiba sorak sorai mulai terdengar dari arah timur. Rupanya Raja sedang lewat.
Rinai terkejut melihat wajah sang Raja yang mirip sekali dengannya. Walaupun garis keriput telah nampak lelaki tersebut masih gagah. Rambutnya mulai memutih. Ia mengenakan baju berwarna kuning keemasan. Rinai kembali tertegun ketika sang Raja menyalami salah satu tamu, di pergelangan tangan sebelah kiri melingkar gelang yang sama persis dengan yang ditemukan Nenek.
Rinai menutup mulut dan beringsut mundur. Mungkinkah benar kata Nenek bahwa ia adalah putra seorang Raja. Ia kembali menatap ke wajah sang Raja. Wajahnya terlihat menua dan menyimpan beban yang begitu berat. Rinai tiba-tiba meneteskan air mata. Dan benar saja tiba-tiba gerimis tipis turun di kota tersebut. Rakyat mendongak ke atas dan bersorak.
Tiba-tiba entah dorongan dari mana Raja memandang ke arah gadis yang sedang meneteskan air mata. Ia tertegun. Wajah itu, wajah yang selalu muncul di dalam mimpinya. Dengan tergesa Raja mendekat ke arah Rinai berdiri. Pandangan mereka bertemu dengan jarak yang begitu dekat. Saat itulah air mata satu persatu turun dari ke dua mata Rinai. Bersamaan dengan itu langit menghitam dan turun titik-titik air yang menderas. Rakyat bersorak dan bersujud syukur karena hujan yang telah begitu lama mereka nantikan telah datang.
Raja memegang tangan Rinai dan pandangannya mengabur.
“Maafkan Ayah, maafkan.”
Kata-kata tersebut terus terulang dari mulut Raja dan Rinai hanya bisa mengangguk kemudian membalas genggaman tangan Ayahnya tersebut.
******
“Saat Ayah mendengar dari Bandari bahwa kau ditinggal di sebuah hutan, Ayah segera menyuruh prajurit mencarimu di sekitar sana. Namun dirimu tidak ditemukan. Bahkan hampir sebulan para prajurit mencarimu di hutan. Tapi hasilnya nihil. Sekali lagi maafkan Ayah,” Raja menghela napas dan menundukkan kepala.
“Sudahlah, Ayah. Rinai sudah memaafkan Ayah,” jawabnya sambil tersenyum.
“Terima kasih, kau ternyata suatu berkah untuk negeri ini. Berkat dirimu, hujan telah membasahi tanah ini. Penglihatan Ratu juga sembuh berkat air matamu.”
Ayah dan anak tersebut saling memandang penuh sayang. Raja telah menyadari, bahwa sebenarnya ia harus mensyukuri terhadap semua hal yang hadir dalam hidupnya.(*)
Mila Athar. Hanya seorang gadis biasa yang mencoba belajar beraksara yang terserak di semesta.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata