Kepergiannya

Kepergiannya

Kepergiannya
Oleh : Fathiyya Rahma

Adakah yang lebih menyakitkan ketika harus berdebat dengan orang terkasih? Bagiku tak ada, ada perasaan dan ego yang sulit untuk ditempatkan ketika dalam situasi seperti ini.

“Bertahanlah sebentar lagi, Han. Sampai aku selesai kuliah dan mendapat pekerjaan yang baik,” ucapku pada Han, kekasihku. Sayup-sayup suara penyanyi cafe mengisi ruangan yang cukup sepi malam ini. Aku berusaha bersuara pelan agar tidak menarik perhatian.

“Sampai kapan aku menunggu? Ini sudah terlalu lama, El.” Suara lirihnya membelai indera pendengaran. Ada nada getir di sana. Air mukanya terlihat makin pucat di bawah temaram lampu gantung di atas meja kami.

Wajah itu terlihat memelas, tak tega aku memandangnya dan memilih memalingkan wajah. Menatap sisi lain kafe tempat kami makan malam saat ini. Biasanya aku begitu menikmati memandang wajah ayunya, tapi sekarang entah. Aku tidak suka dengan kesedihan yang begitu kentara di rupa Han.

Serupa ada tangan tak kasat mata yang menghimpit dada, sesak. Aku pun menghela napas panjang, menghantarkan oksigen lebih, berharap ada kelegaan kemudian. Lalu, memandang Han kembali. “Apa ucapanku masih belum jelas? Sampai aku mendapat pekerjaan yang baik. Agar aku mampu bertanggung jawab penuh terhadapmu!” Kali ini suaraku naik beberapa oktaf. Pertahanan emosi yang sedari tadi kutahan jebol. Sulit untuk tetap tenang. Ini bukan kali pertama kami berdebat akan hal yang sama. Masih saja Han mengulangnya, lagi dan lagi. Apa begitu sulit untuk mengerti keadaanku? Kami sudah cukup dewasa untuk mengerti sulitnya menikah tanpa persiapan matang.

Matanya kini membulat, lalu kudengar helaan napas beratnya.

“Aku tahu itu, tapi beri aku perkiraan waktu. Setahun, dua tahun atau berapa lama? Inget umurku semakin bertambah, El! Desakan orang tua terus datang Elqi, aku capek. Tolong ngertiin!”

Makin sulit untuk menjawab dengan pasti. Perbedaan umur di antara kami juga sering menjadi masalah. Bagaimana pun Han lebih tua dua tahun. Dia sudah lulus kuliah dan juga punya pekerjaan. Sedangkan aku, lulus saja belum, pekerjaan masih harus mencari. Tanggungjawab besar menanti di hadapan. Jika menuruti perkataannya sekarang dengan mengiyakan, mungkin bisa membuatnya senang. Tapi, aku tak bisa mengambil resiko di kemudian hari. Telah begitu banyak teman atau orang sekitar yang menikah tanpa persiapan dan kematangan. Pada akhirnya hanya membuat tangis dan percekcokan di antara keduanya. Sebisa mungkin jika nanti menikah, ketika kami sudah matang dalam segala hal. Namun, sepertinya Han lebih mementingkan perasaan saja.

“Kenapa diem aja, Elqi? Kamu nggak serius sama aku? Jujur aja!” Kini wajahnya cemberut, sepertinya dia makin kesal.

Perempuan selalu seperti ini. Tidak tahukah aku sedang berpikir?

“Apa aku terlihat seperti lelaki yang tidak serius? Bagaimana aku harus membuktikannya, Han?” tanyaku lirih. Kuremas jemari kurusnya pelan tetapi Han melepaskan, lalu memalingkan wajah.

Lama dia mengalihkan pandangan. Terlihat air mata menetes dari sudut mata berbulu lentiknya. “Nikahin aku secepatnya atau setidaknya tunangan dulu. Kita sudah menjalin hubungan cukup lama El, tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Aku butuh kejelasan hubungan kita akan berakhir di mana?” Dia kemudian bangkit dari duduknya dan berbalik, lalu berjalan menjauh. Sepatu wedges-nya menghentak lantai meninggalkan suara berdetak. Rambut hitam sepunggungnya berkibar tertiup angin malam saat dia membuka pintu.

Aku benci melihat ada air mata yang jatuh dari mata indah itu. Lebih benci lagi pada diriku yang masih belum mampu memberikan apa yang dia minta. Keadaan tak selalu mengijinkan sejalan dengan kehendak hati.

“Sial.” Aku mengumpat kesal dan menyugar rambut dengan kasar, lalu beranjak. Berjalan cepat menyusul Han yang telah sampai pintu keluar. Segera kutahan lengannya, menangkup kedua pipi tirus Han dan menatap manik hitamnya. “Tolong mengertilah, ini bukan perkara yang mudah. Kita harus memikirkannya secara matang, Han. Satu hal yang mampu kujanjikan adalah berusaha sebaik mungkin agar tak menunda wisudaku tahun depan. Beri aku waktu sedikit lebih lama lagi,” ucapku memohon dan memilih mengalah berdebat dengannya. “Ketika aku sudah siap, tanpa diminta pun akan segera menemui orang tuamu. Aku sangat mencintaimu, Han. Percayalah ….”

Dia tidak menjawab, hanya kembali menitikkan air mata. Kulihat dia menggigit bibir bawahnya yang tipis, kebiasaan yang tanpa sadar dilakukan jika sedang bingung, seperti sebelumnya. Berhubungan sekian lama membuatku hapal kebiasaan Han. Apa yang saat ini sedang dipikirkannya? Masihkah dia ragu dan tidak yakin padaku?

Sungguh aku tak tahu harus bagaimana. Saat ini apa yang bisa dilakukan selain mengusap pipi dan menarik tubuhnya ke dalam dekapan? Tak ada. Aku hanya mampu memeluknya dengan erat, mengusap punggung Han pelan dan mengecup puncak kepalanya. Berharap dia berhenti menangis dan paham tentang kesulitan ini.

Jika dia tahu, akulah yang lebih sakit. Aku pun menangis hanya saja tanpa air mata dan juga isak tangis. Sebisa mungkin menahannya dalam hati. Bagaimana pun aku lelaki, tak patut bila harus menangis di hadapan kekasih hati.

Hampir tengah malam ketika aku sampai di kamar. Setelah sebelumnya mengantar Han pulang ke rumahnya, dia melepas dengan senyum dan lambaian tangan. Ada sedikit ketenangan hadir, meskipun tak yakin akan mampu membuatku tidur nyenyak malam ini.

***

Seminggu berlalu, semuanya tampak baik-baik saja. Tak ada lagi perdebatan besar, hanya sesekali ribut masalah kecil. Kami pun masih berkirim pesan dan mengobrol via telepon. Meskipun tak sesering dulu. Seakan ada jarak yang tercipta. Apakah dia benar-benar tak percaya pada keseriusanku? Ah, segera kutepis pikiran buruk tentang itu. Lebih baik berpikir yang positif saja.

Sampai saat ini aku masih merasa bersalah telah membuatnya menangis. Harus segera menebusnya. Kebetulan hari yang ditunggu tiba.

Ini adalah hari kelima di bulan Mei yang merupakan ulang tahun Han. Aku mempersiapkan segalanya, membeli seikat bunga dan kue ulang tahun.

Dengan perasaan bahagia aku menuju kontrakan Han di daerah Karawaci. Kontrakan dua lantai yang cukup luas. Dia tinggal sendiri di sini, tempatnya cukup luas hampir seperti rumah kecil yang nyaman dengan dapur dan kamar.

Kali ini aku ingin memberi kejutan dengan datang ke kediamannya. Tidak seperti tahun lalu kami merayakannya dengan tiup lilin dan potong kue di rumahku. Sesampainya di sana aku segera menuju ke lantai atas ke bagian paling kanan, berdiri mematung menatap pintu tertutup dengan jendela tertutup tirai. Han bukan gadis yang malas, sudah siang begini pasti dia sudah bangun dan pasti membuka tirai.

Aku mencoba mengetuk pintu berwarna hitam itu berulang kali, tak ada yang menyahut. Mengucap salam dengan keras tak ada yang menjawab, memanggil namanya juga sama, tak ada yang ke luar.

Ingin berpikir bahwa dia sedang pergi ke luar sebentar. Namun, penjelasan dari penghuni kamar sebelah Han membuat dunia seakan runtuh.

“Dia sudah pergi, tadi pagi sepertinya mengemasi semua barang-barangnya,” jelas wanita muda dari kamar sebelah.

“Ke mana?” tanyaku penasaran. Berharap dia tahu dan aku bisa menyusulnya.

“Nggak tahu pastinya, dia nggak bilang jelas, sih?”

Aku menghampiri dan kembali bertanya, “Apa dia membawa barang-barangnya? Semuanya?”

“Kayaknya semuanya, deh. Ada beberapa koper dan kardus yang dibawa soalnya. Makanya aku bilang dia sudah mengemasi semua barang-barangnya,” tuturnya dan kembali ke dalam.

Aku segera menahan. “Tolong beri tahu aku ke mana dia pergi.”

“Sudah kubilang aku tidak tahu!” Kali ini intonasinya meninggi dan berbalik akan masuk kembali, sekali lagi menahannya. Dia berdecak sepertinya mulai risih dengan cengkraman tanganku.

“Sudahlah, yang jelas Hana sudah pergi dan tolong lepaskan.”

Dia segera berlalu setelah kulepaskan genggaman tangannya dan hilang di balik pintu rumahnya.

“Sialan!”

Ada amarah yang seakan mendidih. Pun ada sakit yang luar biasa. Bagaimana mungkin Han berbuat seperti ini. Ingin sekali tak mempercayainya, tetapi fakta bahwa kontrakan ini kosong memaksaku menerima kenyataan. Meski sungguh pahit.

Ketika keadaan kacau seperti ini mau tak mau membuatku berpikir buruk. Apakah cinta Han begitu dangkal? Mempercayai niatku pun tak mampu. Mengingat kembali ucapan Han minggu lalu tentang desakan orang tuanya untuk segera menikah. Apakah dia akan pulang kampung dan menikah di sana? Apakah dia dijodohkan? Begitu banyak pertanyaan yang muncul, hingga membuat kepala berdenyut nyeri. Oh, Tuhan … kenapa seperti ini?

Jika tahun-tahun sebelumnya aku selalu mengingat Mei dengan segala kebahagiaan, sebab ada banyak hal istimewa yang terjadi di bulan ini. Dari pertemuan pertamaku di awal bulan Mei tiga tahun lalu, juga Mei adalah hari lahirnya yang selalu kami rayakan bersama. Meniup lilin dari kue ulang tahun dariku lalu dia akan memelukku dengan erat sebagai balasan. Namun, kali ini berbeda. Bukan kebahagiaan yang tercipta melainkan kesedihan.

***

Setelah malam paling menyakitkan itu, setiap hari aku terus datang. Berharap dia kembali, tetapi kenyataan tak pernah ada yang kembali. Hanya bayangan wajahnya saja yang terus hadir.

Kenangan manis bersamanya terus menerus hadir. Senyum dan tawanya memenuhi pikiran. Bagai roll film yang diputar satu persatu kisah kami muncul dalam ingatan. Aku ingin mengenyahkan, tapi sulit sekali. Warna yang dia berikan selama ini telah berganti menjadi gelap. Serupa malam tanpa temaram bulan.

Kini sudah seminggu berlalu tanpa ada kabar tentang Han. Sudah coba menghubungi, tetapi nomor teleponnya tidak aktif. Dia seperti hilang ditelan bumi. Tanpa jejak.

Apa yang lebih menyakitkan dari ini? Bagiku tak ada. Ditinggalkan oleh orang yang paling berarti dalam hidup tanpa pamit. Tanpa ucapan perpisahan. Di saat aku masih sangat menyayanginya.

Mencintai dengan sepenuh hati ternyata tak mampu membuatnya tetap berada di sampingku. Meski sudah berusaha, tetapi dia pergi juga. Menyerah pada akhir yang belum bisa dipastikan. Bukan aku tak mau, tetapi rasanya tak adil jika menjanjikan sesuatu yang belum pasti. Bagaimanapun aku lelaki, pantang untuk memberikan harapan semu.

Meskipun aku yakin waktu mampu mengobati luka. Namun, untuk benar-benar melupakan sakit ini pasti sulit. Akan terus diingat sebagai kenangan Mei paling pahit.

Ada satu yang disesalkan dari perpisahan ini. Adalah kepergiannya yang tanpa pamit. Setidaknya jika sudah tak mampu bertahan, katakan selamat tinggal. Maka, aku akan mempersiapkan diri untuk melepaskan. Mungkin sakit yang dirasa tak akan sesakit ini. Dia pergi membawa sebagian hatiku. Kini yang tertinggal hanya kekosongan.

Fathiyya Rahma. Seorang wanita yang mencintai tulis menulis. Menyampaikan rasa lewat aksara.
FB : Fathiyya Rahma
Email : fainayya3@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply