Dari Sebuah Kata Maaf
Penulis: Mimi La Rose
Ibuku selalu mengajari kami untuk menjadi pribadi yang hangat dan mudah memaafkan. Awalnya sulit, tapi saat mendengar kisah beliau, aku pun tidak segan lagi mengatakan, “Ya, aku memaafkanmu.”
Sambil asyik menikmati cokelat berbentuk kepala singa yang dingin di lidah, aku menyimak cerita Ibu dengan senang hati.
Siang itu toko manisan milik Ibu lumayan ramai. Tiba-tiba ada seseorang yang memberitahu Ibu kalau ada seorang wanita muda yang menyelipkan barang-barang toko di balik bajunya. Ibu memperhatikan wanita muda itu dan sepertinya wanita muda itu tahu kalau dirinya sedang diperhatikan. Bukannya memarahi, Ibu malah mengajaknya masuk ke ruang dalam toko dan mengajaknya mengobrol.
Wanita muda itu menceritakan bahwa dirinya benar-benar terpaksa mengambil satu kotak susu dan beberapa makanan bayi karena sudah tak punya uang lagi. Suaminya seorang TKI dan belum mengirimkan apa pun selama tiga bulan ini. Dan tentu saja dia merasa sangat malu saat Ibu memberi sejumlah uang, beberapa kotak susu dan makanan bayi. Ibu juga bilang kalau dia bisa kembali lagi kalau membutuhkan sesuatu.
“Lalu bagaimana, Bu?” tanyaku tak sabar.
“Rasanya, hadiah dari maaf itu lebih besar dari apa yang Ibu berikan. Wanita muda itu tidak pernah lupa pada Ibu, setiap tahun dia selalu mengunjungi Ibu dan kami menjadi sahabat.”
“Apa yang Ibu maksud itu Tante Lisma?” ucapku sedikit sangsi, Tante Lisma adalah salah seorang sahabat Ibu yang kutahu. Dia perempuan yang kaya dan cantik. Ah, rasanya tak mungkin pada masa lalu dia menjadi seorang pencuri.
“Iya, Lisma adalah wanita muda itu. Kita tidak pernah tahu akan nasib orang. Sayang, saat itu Ibu hanya belajar memaafkan dan memahami seandainya wanita itu adalah Ibu. Tentu Ibu juga butuh dimaafkan bukan?”
“Jadi, Ibu memaafkan karena mengharapkan sesuatu?” buruku.
“Ya, Ibu memang berharap dia tidak menjadi pencuri lagi, walaupun terpaksa.”
“Dan hadiah yang Ibu terima dari memaafkan adalah Ibu memiliki sahabat baik sampai sekarang dan cokelat lezat ini?” Aku berkedip nakal.
“Itu cuma bonus!” jawab Ibu singkat.
Tidak ada yang lebih indah pada usia dewasa, selain memiliki sahabat-sahabat sejati, yang senantiasa tulus mendoakan. Selalu mendukung dan berbagi senyum dan tawa. Tak pernah menghakimi, berprasangka.
Jujur dalam bersahabat, tidak memamerkan drama-drama murahan seperti di sinetron.
Betapa indahnya.
Sungguh, aku pun ingin.(*)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata