Menjadi Pelangi

Menjadi Pelangi

Penulis: Rizka Safitri

Kulafalkan berulang-ulang me-ji-ku-hi-bi-ni-u yang merupakan urutan warna pelangi—pengetahuan yang baru saja kuketahui dari sebuah buku sains. Pelangi, fenomena alam yang mulai suka kuamati belakangan ini. Berbeda dengan apa yang kutahu saat masih kecil dahulu, bahwa pelangi hanya berwarna merah, kuning, hijau … di langit yang biru—dari potongan lirik sebuah lagu anak-anak. Ah, anak-anak.

Tiba-tiba aku sangat ingin kembali ke masa itu, masa di mana aku hanya ingin permen, coklat dan balon saat aku menangis. Masa di mana aku belum terlalu mengerti kesedihan, kepahitan, dan kejamnya kehidupan. Yang aku pikirkan saat itu paling-paling akan bermain apa besok? Akan pakai baju apa aku besok?

Arghh.

Segera kutinggalkan lamunanku itu dan kurebahkan tubuhku di atas kasur kapuk beralas seprei bergambar bunga berwarna biru—warna kesukaanku. Sambil memeluk bantal guling, kupejamkan mataku. Lagi-lagi bayangan kebahagiaan di masa kecil hingga kengerian di masa yang akan datang terbayang dalam kegelapan. Tanpa kusadari, airmataku menyelinap keluar dari celah mataku. Lama aku biarkan ia membasahi mata dan bantal hingga akhirnya aku terlelap.

Aku terbangun tepat pukul tujuh pagi, saat jam bekerku berdering memekakkan telinga. Entah berapa lama aku menangis semalam.

“Duh, memangnya aku tertangkap mencuri di mana sampai mataku babak belur begini?” celetukku pada diriku sendiri melihat mataku yang sembab dan bengkak di cermin dekat tempat tidurku.

Tak lama kemudian aku beranjak meninggalkan cermin dan bergegas mengambil handuk untuk mandi.

“Uuuh, hari sudah siang begini tapi airnya masih saja dingin,” ucapku saat menyentuh air di dalam bak mandi.

Tak lama kemudian terdengarlah konser pribadiku pagi itu. Aku biasa menghabiskan waktu mandi sambil bernyanyi, ya, selayaknya sebagian besar umat manusia.

What I to do have you hear, hear, hear i wish you where here…”

Oh baby I‘ll take you the sky forever you and I, you and I syalalala…”

Tutupen botolmu, tutupen oplosanmo emane nyawamu ojo mbok teros teroske…”

Beginilah rutinitasku setiap pagi. Aku memuaskan diri berkaraoke gratis di kamar mandi. Entah sudah berapa gelas yang retak, berapa ayam yang pingsan, dan berapa kali geledek menyambar karena aku bernyanyi atau mungkin lebih tepatnya meraung tak jelas.

“Dingin, dingin dimandiin nanti masuk angin….” Aku bernyanyi lagi. Tidak peduli sudah berapa singa yang terbangun dari tidurnya.

“Syukurlah, hari ini tak ada rapat, tak ada jadwal bertemu klien atau hanya sekadar buka laptop untuk menyelesalkan tugas kantor.”

“Haha.”

“Heh, sok mengurus pekerjaan? Kulih saja belum kelar-kelar.”

Barangkali jika ada orang di dekatku saat ini, pasti aku sudah dikira tak waras karena bicara dan tertawa sendiri.

Kebetulan hari ini aku sedang libur kuliah dan bebas dari tugas, jadi aku memutuskan untuk menghabiskan waktu di sebuah tempat yang tak jauh dari tempatku indekost.

Setelah sampai di sana, aku langsung meletakkan tas kecil yang kubawa di atas rumput hijau yang rapi terawat dan bersih. Kukeluarkan ponsel dari tas dan kupasang earphone di telinga.

Sambil mendengarkan musik yang mengalun aku mencoba mencoret-coret kertas kosong yang kubawa dari rumah. Taman ini begitu asri, banyak pohon-pohon rindang dengan hamparan danau buatan di depannya. Semilir anginnya membelai lembut, membuat siapa saja akan betah untuk berlama-lama di sini. Taman ini selalu sepi pengunjung, tak tampak seperti taman pada umumnya yang selalu ramai dengan orang yang berjalan-jalan, berkumpul, nongkrong, pacaran…. Tapi aku lebih senang seperti ini, aku jauh lebih suka menyendiri daripada berada di tengah-tengah keramaian.

“Huuuaaahhh.”

Aku mulai mengantuk karena lambaian angin yang menyapu-sapu pelupuk mataku, membujuknya untuk menangkup. Aku mencoba bertahan melawan rasa kantuk agar dapat menikmati ketenangan itu lebih lama lagi, tapi ternyata aku kalah. Kuletakkan pena dan kertas yang masih kosong di rumput, lalu kurebahkan badanku di atas rerumputan hijau, aku bisa merasakan aroma khas rumput yang segar.

Mataku kini tak lagi memandang ke danau buatan itu, kini aku berpaling pada langit yang putih kebiru-biruan karena ditutupi awan tipis. Sinar matahari pun tak terlalu menyipitkan mataku dengan kilaunya. Akhirnya aku menyerah dengan angin yang dari tadi terus menggoyahkan pertahananku. Perlahan … langit pun tampak memimih, hingga akhirnya aku terpejam. Meski terpejam aku masih bisa mendengar dengan jelas suara Taylor Swift dari earphone yang masih terpasang di telingaku.

Entah berapa lama waktu berlalu hingga bunyi mobil yang melintas di jalan dekat taman membangunkanku.

Di depanku saat itu, melengkung sebusur pelangi.

“Me-ji-ku-hi-bi-ni-u.”

Ah, sungguh indah. Kolaborasi warnanya anggun dan cantik. Ia adalah satu dari sekian banyak kuasa Tuhan. Aku yakin sudah banyak orang yang telah melihatnya namun hanya sedikit saja yang mampu menjabarkan sejumlah kebenaran atau fakta yang terkait tentangnya. Sebagian dari yang tidak tahu itu bahkan hanya mengiyakan informasi-informasi asal, atau masih adakah yang menghubungkannya dengan mitos dan legenda-legenda? Tak semua dari mereka mengetahui dari mana ia muncul, ke mana ia menghilang, dan bagaimana ia bisa terbentuk. Barangkali mereka juga tidak peduli.

Menurutku, ia adalah pesona bagi siapa saja yang melihatnya. Aku merasa senang karena bisa melihatnya tepat selepas aku tertidur sejenak, sekligus kecewa karena pelangi yang sedang kuamati itu nampak cacat. Ia tak utuh karena sebagian darinya tak tampak, membuat lengkungnya tidak sempurna.

Seketika aku menyadari bahwa—memang—tak ada yang sempurna di dunia ini. Segala hal yang tampak sempurna, pasti menyimpan sejumlah kecacatan padanya. Terkadang, kita hanya tidak tahu ia—kecacatan itu—bersembunyi di mana.

Kulihat pelangi itu yang seolah sedang tersenyum kepadaku, dengan sebagian lengkung senyum yang ia sembunyikan. Ia tetap mempesona. Ia indah dengan caranya sendiri—dengan ketidaksempurnaanya itu.

Tiba-tiba aku ingin menjadi seperti pelangi itu.(*)

Rizka Safitri, terjebak dalam dunia sastra sejak memahami indahnya kata. Pencinta kuliner, musik, dan pembaca cerpen dan novel yang nyaman di hatinya IG : RizkaSafitri FB : RizkaSafitri twitter : Rizzka_s

Pegurus dan Kontributor

Cara menulis di Loker Kita