Anak Istimewa

Anak Istimewa

Anak Istimewa
Oleh : Imas Hanifah N.

“Kamu ini, satu-satunya anak laki-laki di keluarga, Jang. Kamulah yang akan menyelamatkan keluarga kita.”

Kalimat Bapak, bukan sekali atau dua kali diucapkan. Melainkan, sudah tak terhitung jumlahnya. Bahkan, di depan Teh Maya dan adikku, Ratih. Kedua perempuan itu selalu langsung beringsut ke kamar atau pura-pura tak mendengar jika Bapak sudah mengatakan kalimat tersebut. Aku hanya mengangguk dan mengaminkan apa yang bapak ucapkan.

“Iya, Jang. Emak juga berharap, kamu nanti bisa jadi penyelamat keluarga kita.”

Emak tak mau kalah, ia juga menyumbang kalimat yang mendukung perkataan Bapak.

“Iya, Mak. Doakan saja.”

Sebenarnya, aku juga memiliki keinginan seperti bapak. Menjadi penyelamat bagi keluarga. Menarik keluarga dari garis kemiskinan. Awalnya, Teh Maya juga memiliki pemikiran seperti bapak. Ia sampai rela tak melanjutkan sekolah hanya demi aku. Bapak bilang, tak sanggup jika membiayai tiga orang. Teh Maya pun dengan ikhlas tak melanjutkan sekolah. Toh, emak selalu mengatakan kalau perempuan itu cepat menikah. Jadi, tak usah punya pendidikan tinggi. Di jaman modern seperti ini, emak dan bapak memang masih memiliki pemikiran seperti itu. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, Teh Maya tak kunjung mendapatkan jodoh. Ia pun mulai menaruh perasaan padaku yang masih gencar meraih pendidikan yang tinggi.

Aku sering bercanda dengannya. Kami memang akrab. Namun, kalimat-kalimat bapak yang memuji dan membanggakanku, selalu membuat Teh Maya semakin kesal. Aku bisa melihat dari gelagatnya yang mulai jarang mengawali obrolan. Ia lebih sering membaca buku-buku lama yang aku tahu, sudah dibacanya puluhan kali.

Setiap aku berulang tahun, emak dan bapak selalu mengupayakan mengadakan nasi tumpeng dan memanggil *ajengan untuk tawasul. Mendoakan keselamatanku dan agar keluarga diberikan keberkahan. Setahuku, ulang tahun Teh Maya selalu terlupakan.

Sama halnya dengan Ratih. Adik kecilku yang mulai beranjak usia belasan tahun itu sudah mulai mengerti juga. Ia tidak terlalu menyukaiku.

“Aa mah apa-apa dibeliin. Eneng mah susah pengen beli barang yang murah juga.”

“Iya, nanti, kalau Aa udah kerja dan punya uang banyak, Eneng boleh beli apa-aja. Nanti Aa yang bayar.”

“Bener, ya, A?”

“Iya.”

Percakapan itu sering terjadi dan berakhir dengan wajah kecewa dari Ratih.

“Terus, kapan Aa dapet kerja dan cari uang banyak?” tanyanya lagi suatu waktu.

Aku tersenyum. “Nanti, kalo Aa sudah lulus kuliah.”

Setelah waktu berlalu, hubunganku dan Teh Maya sudah parah. Sudah jarang bertegur sapa lagi meskipun lewat dunia maya. Apalagi, Teh Maya sudah menikah dan pindah ke Jakarta mengikuti suaminya. Aku mengejar kuliah. Meskipun mendapat beasiswa, tetap saja semua biaya lain juga diperlukan. Bapak sangat toh-tohan dalam bekerja. Ia bahkan sempat menjual beberapa petak sawah peninggalan aki demi membiayaiku. Semua pengorbanan, harapan dan keyakinan bahwa anak laki-laki adalah penyelamat keluarga, telah membuat bapak dan emak bekerja keras sekaligus memberiku tekananan yang besar. Aku takut, tak bisa membalas semua kerja keras itu dengan setimpal.

***

Bapak sudah renta. Aku sudah lulus kuliah. Bapak masih terus meyakinkanku untuk mengejar kuliah S2. Ia bahkan punya keinginan untuk membuatku pergi ke universitas di luar negeri. Namun kali ini, emak menepisnya. Bapak sudah tak bisa lagi berkerja sekeras dulu. Ia juga mudah sakit sekarang.

Hubungan bapak dengan Teh Maya rupanya tidak kunjung membaik. Aku tak pernah berani meminta bantuan. Menanyakan kabar saja, kadang ia tak membalas.

Ratih juga demikian. Gadis itu sudah beranjak dewasa dan ia tak pernah bertanya lagi padaku. Mungkin, karena jawabanku dulu padanya belum juga terlaksana.

“Pak, Ujang mau berhenti kuliah sementara ini. Ujang kan sudah lulus S1. Sambil nyari biaya buat S2 seperti yang bapak mau, Ujang harus kerja dulu.”

Awalnya, bapak seperti bingung menentukan pilihan. Mungkin, ia tak ingin aku berhenti kuliah.

“Benar kata Ujang. Sudah, biar Ujang cari kerja dulu.”

Bapak terlihat berpikir lama. “Baiklah, Jang. Biar bapak jual sisa sawah kita untuk bekalmu.”

“Tidak, Pak. Ujang ada tabungan sedikit. Tidak usah jual sawah lagi. Tinggal sedikit, kan? Kalo dijual, nanti kita harus beli beras.”

“Gak apa-apa, nanti kamu keburu dapet kerja, kan? Biar beli juga, asalkan ada uangnya, gak masalah.”

Aku tak bisa melawan. Emak juga hanya terdiam. Aku merapalkan doa di dalam hati. Semoga aku bisa membalas semua pengorbanan emak dan bapak.

Dengan seorang teman, aku pergi ke Bekasi. Di sana, ia bilang aku akan ditempatkan di pabrik. Berbekal ijazah kuliah, tentu saja aku juga melamar menjadi salah satu bagian penting di berbagai perusahaan. Namun, sambil menunggu, aku sudah bekerja di pabrik sebagai buruh. Gajinya lumayan.

Satu bulan lebih bekerja di pabrik, badanku makin kurus. Mungkin, karena kaget bekerja selama berjam-jam dalam sehari. Panggilan dari perusahaan juga tak kunjung datang. Aku sempat sakit dan ternyata, berobat itu menghabiskan biaya yang mahal.

Apalagi, biaya hidup di kota juga tak semurah di kampung. Aku sampai stres. Setiap bapak menelpon, aku tak bisa mengatakan yang sebenarnya. Semua kerja keras emak dan bapak, rasa sakit Teh Maya, kecemburuan Ratih, semuanya seakan menyerangku habis-habisan. Mungkin, sakit fisik bisa sembuh setelah diobati. Akan tetapi, rasa sakit di jiwa ini, seolah membuat fisikku makin semrawut juga.

Berbulan-bulan kemudian, aku tak kunjung mendapat panggilan. Telpon dari bapak juga selalu sebisa mungkin kuhindari. Gaji sebagai buruh pabrik, hanya bisa dipakai sehari-hari.

Aku menatap ponsel lama-lama. Teh Maya, hanya itu yang ada di pikiranku. Aku ingin mencurahkan semuanya pada kakakku satu-satunya.

Aku memberanikan diri untuk menelpon.

“Assalamu’alaikum, Teh. Ini Ujang.”

“Iya, Jang. Ada apa?”

Aku menarik napas panjang. Jantungku berdegup kencang.

“Ujang mau cerita, Teh. Teteh ada waktu?”

Aku sudah menerka jawabannya. Teh Maya pasti tak bisa.

“Maaf, Jang. Teteh lagi ….”

“Teh, sekali ini aja. Ujang gak tau lagi mau cerita ke siapa.”

Mungkin, Teh Maya terkejut. Untuk pertama kalinya, setelah sekian tahun, aku meminta sesuatu padanya.

“Memangnya, kenapa? Ada apa, Jang?”

Nada suaranya terdengar panik. Aku merindukan pertanyaan itu. Pertanyaan dibalut perasaan khawatir seorang kakak terhadap adiknya.

“Ujang takut pulang, Teh.”

“Takut pulang? Kenapa?”

“Ujang belum dapet kerja yang bener, Teh. Kemarin uang bekal juga habis karena Ujang sakit. Di sini, ke dokter itu mahal, Teh.”

“Kenapa gak bilang dari kemaren-kemaren?”

Mendengar pertanyaan itu, aku hampir menangis. Seseorang yang kupikir menaruh kebencian besar terhadapku, langsung luluh ketika aku menceritakan semua kesulitan ini. Percakapan berlanjut dan aku menceritakan semuanya dengan menahan air mata. Perihal beban besar yang sangat berat, rasa takut mengecewakan emak dan bapak serta rasa bersalahku terhadap Teh Maya dan Ratih.

Teh Maya sangat cemas. Ia kemudian menyuruhku secepat mungkin ke Jakarta. Di sana, aku tak menyangka dapat dengan mudah mendapatkan pekerjaan. Suami Teh Maya memang pekerja biasa. Ia juga hanya buruh. Namun, buruh yang baik dan ramah. Suami Teh Maya memberiku informasi tentang lowongan pekerjaan di perusahaannya.

“Jang, kalo kamu yang lamar, pasti diterima. Kamu ada ijazah, ada pengalaman jadi buruh, punya prestasi juga waktu kuliah. Insya Allah, bakal diterima.”

Perkataan suami Teh Maya ternyata benar adanya. Tak lama setelah melamar, aku mendapat panggilan. Aku bekerja dan mnceritakan semuanya kepada bapak. Lewat telpon, aku menceritakan tentang Teh Maya dan suaminya. Bapak harus tahu, Teh Maya juga anaknya yang istimewa.

***

Ketika libur panjang dan semua berkumpul di rumah, sebelum bapak memuji dan membanggakanku di depan Teh Maya dan Ratih, aku lebih dulu bercerita tentang suka duka di Bekasi dan pertolongan Allah yang luar biasa lewat suami Teh Maya.

Setelahnya, bapak tak lagi mengucapkan kalimat-kalimat yang dulu pernah membuat Teh Maya dan Ratih kesal. Bapak mungkin berpikir aku bisa menarik keluarga dari garis kemiskinan. Namun, aku lebih merasa bahagia karena Teh Maya telah menarik keluarga ini dari garis pertikaian.

2019

Imas Hanifah Nurhasanah. Wanita kelahiran 22 tahun silam ini bercita-cita menjadi penulis sejak kecil. Ia juga menyukai jus alpukat, kucing dan kelinci.

Ia bisa dihubungi via sosial media di facebook: Imas Hanifah N atau Ig: @hanifah_bidam.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply