Dialog Sederhana

Dialog Sederhana

Dialog Sederhana

Oleh: Evamuzy

Tangan tuamu yang penuh keriput dan gelap, bergerak membenahi handuk kecil yang menggantung di leher. Kini, percakapan cukup mengalir terjadi di antara kalian: kamu dan gadis itu.

“Bau terasi, Neng. Biar Bapak saja.” Begitu kira-kira kamu—si bapak tua—berkata kepadanya yang satu-satunya penumpang angkot umum jurusan kota sebelum kamu menghentikan kendaraan itu, lalu ikut menumpang. Ya, benar, kamu hanya menumpang. Sebab sekitar lima belas sampai tujuh belas menit lagi kendaraan itu akan berhenti sebentar, setelah kamu meminta turun. Berbeda dengan gadis itu. Dia datang dari kota, perjalanannya lumayan lama. Dia kemari untuk menghadiri pesta pernikahan seorang teman atau … sebut saja mantan kekasih.

Gadis yang sebelumnya sibuk membaca buku—sebenarnya ini hanya pengalihan dari rasa aneh sejak keluar dari pintu keluar pesta pernikahan—itu tersenyum. “Bukan masalah, Bapak. Biar Bapak mudah untuk duduk.”

Dibantu oleh gadis itu, dua pikulan dagang milikmu akhirnya berjajar rapi di dalam angkot. Menjadi pemisah dirimu dan gadis itu. Gadis yang diam-diam mengamati isi kotak-kotak kayu yang dibuat sedemikian rupa. Satu kotak berisi alat penumbuk dari kayu dan berbagai macam buah-buahan yang mulai layu. Sementara satunya lagi berisi terasi, gula, kacang, garam, asam, dan cabe yang dimasukan dalam satu wadah berbeda-beda. Tanpa kamu beri tahu, gadis itu sudah mengenali caramu mencari nafkah: tukang rujak buah tumbuk.

“Ramai, Pak, hari ini?” gadis itu bertanya ramah. Kamu menyambutnya dengan sopan pula.

“Ya, Alhamdulillah, Neng.” Kamu menepuk-nepukan kain serbet kepada lalat-lalat yang hendak hinggap di alat penumbuk. Bau terasi memang paling ampuh menarik hidung mereka. “Eneng dari kota, ya? Habis dari mana?” Giliran kamu yang bertanya.

“Iya, habis dari pernikahan seorang teman, Pak,” jawab gadis itu datar. “Putranya masih ada yang sekolah, ya, Pak?” Jika dua orang asing bertemu dalam satu ruangan, untuk membunuh sepi—jika mereka mau—maka yang terjadi adalah sebuah sesi tanya jawab.

Kamu senyum-senyum mendengar itu. Mengerti mengapa gadis muda itu bertanya demikian. “Bapak suka seperti ini, daripada diam menunggu anak-anak memberi jatah makan. Mereka, anak-anak Bapak sudah berkeluarga semua. Alhamdulillah. Lagi pula, bekerja itu seperti obat suntuk dari kesepian.” Ada senyum getir di akhir kalimatmu.

Akhirnya kamu bercerita. Satu anakmu tinggal di luar kota, merantau dan sukses di sana. Satunya lagi baru saja menikah dan ikut suaminya pindah. Sementara dua lagi masih tinggal di satu rumah yang sama, rumahmu. Mereka empat bersaudara. Satu laki-laki, dan tiga perempuan. Di rumah yang ditinggali dua anak itulah kamu tinggal saat ini. Hidup bersama anak-anak perempuan yang telah berkeluarga dan hanya menunggui jatah nafkah dari suami-suaminya.

“Wah, sama. Aku juga empat bersaudara dan aku yang terakhir.” Wajahnya semringah kali ini. “Istri Bapak sehat?” dia bertanya.

“Dia sudah meninggal sejak si bungsu baru kelas dua SD, Neng.”

Kali ini, barulah rona wajah gadis itu berubah, layu. “Kalau ayah dan ibuku masih ada,” gumamnya lirih, seperti bicara untuk dirinya sendiri. Namun, telinga tuamu belum sampai tuli. Kamu masih cukup awas mendengarnya. Meski mustahil bagimu mendengar bagian pertikaian kecil gadis itu dengan ibunya sebelum pergi ke pesta pernikahan kali ini.

“Jaga mereka baik-baik, Neng,” katamu sambil menerawang masa-masa indah itu. Masa di mana kamu masih punya kekasih, tempat pulang dan berbagi cerita dan kesah. Dorongan dalam dirimu, mendesak untuk melanjutkan kata-kata, “Enak kalau masih ada pasangan hidup, Neng. Pulang-pulang ada yang menyambut. Ada yang tanpa diminta memijit kaki dan punggung saat malam hari. Seperti tahu benar, kalau badan ini lelah seharian. Tidak seperti sekarang, semakin tua, semakin cepat lelah dan sakit-sakitan, Bapak hanya menyimpannya sendirian di kamar usang. Tidak ada lagi pertanyaan, perhatian apalagi pijitan sekadar mengurangi nyeri di persendian.”

“Anak-anak Bapak?” gadis itu spontan bertanya.

“Yang tinggal bersama Bapak, mereka anak-anak perempuan. Selalu melakukan sesuatu atas rida suaminya. Kalau suami mereka kelihatan tak suka, Bapak mau bagaimana lagi. Saat seperti ini, Bapak teramat merindukan Ibu. Andai dia masih ada.”

“Di sana, Ibu juga selalu mendoakan agar Bapak di sini selalu sehat dan kuat,” kata gadis itu, mencoba memberi kekuatan.

“Bapak bertahan demi Ibu. Waktu yang Bapak lewati hanya perjalanan menunggu. Menunggu bertemu Ibu. Bapak bekerja dan ke luar rumah, agar hari-hari Bapak tidak hanya dihabiskan untuk mengingat Ibu. Bapak ingin menikmati masa penantian ini dengan baik. Sebab Bapak percaya, jika Bapak di sini baik-baik saja, maka Ibu di tempat penantiannya akan merasa bahagia.”

Tanpa terasa, gapura ujung jalan menuju rumahmu sudah di depan mata. Kamu merogoh kantong celana untuk mengambil uang biaya angkot sambil melirik ke depan. Gadis itu tampak mengusap ujung matanya. Apa dia terharu? Padahal bagimu, cerita ini sangat biasa saja. Ini percakapan biasa. Hanya dialog sederhana.

Sebelum benar-benar keluar dari angkot, kamu berpesan kepada gadis itu, “Sampai bertemu lagi, Neng. Salam untuk ibu dan ayahmu. Sayangi mereka selalu.” Lalu bergegas keluar, pergi, meninggalkan rasa haru di hati gadis itu. Dia jadi tahu, rasa kehilangannya hanya seujung kuku dari rasa kehilangan yang menimpamu. Juga jadi teringat pertikaian kecilnya dengan sang Ibu. (*)

Evamuzy. Si penyuka warna cokelat muda. Sampai semua sepatunya berwarna itu.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply