Hijrah (bagian 1)
Oleh: Lutfi Rose
“Kita sudah membahas semua itu kemarin malam. Jadi aku sudah tidak mau berdebat lagi,” ucap Listi dengan wajah yang tampak bersungut-sungut.
“Please … dengarkan aku sebentar saja, Sayang,” sanggah pemuda di hadapannya.
“Sudah, Mas. Cukup! Aku tak mau berdebat lagi, semua sudah aku putuskan. Mulai hari ini kita putus. Aku mau berhijrah, Mas. Nggak mau seperti ini terus, pacaran itu dosa. Dan dalam Islam gak ada pacaran. Memangnya kamu mau menghalangiku menjadi lebih baik? Kamu lebih suka kalau aku masuk neraka?” cerca gadis berkacamata dan berambut ikal itu, sambil sesekali membenahi letak kacamatanya.
“Tapi tidak begini juga kali, Sayang. Okelah kamu berhijrah tapi bukan berarti kita harus memutus komitmen kita, kan? Kamu yakin sudah rela melepas semua yang sudah kita rencanakan? Apakah kamu sudah benar-benar siap kehilangan kebersamaan kita?” Mata pemuda itu menatap gadis di depannya tajam bagai bara api, nanar menahan kesal.
Gadis berkulit putih dengan lesung pipit di sebelah pipinya itu diam. Dia tidak mencoba untuk mendebat apa yang dikatakan lelaki di depannya. Sejujurnya dia sendiri belum yakin dengan apa yang dia putuskan. Apakah benar dia sudah siap untuk kehilangan Rasyid, pria yang selama hampir dua tahun menjadi kekasihnya. Apalagi Rasyid adalah lelaki yang baik, taat beribadah dan sangat menjaga hubungan mereka dalam batasan aman. Bahkan dia menghindari kontak fisik secara langsung dengan Listi. Dia berjanji bahwa hubungan mereka tak akan melanggar batas pergaulan lelaki dan perempuan. Hanya saja sejak Listi kerap mengikuti kajian di kampus. Dia mendengar banyak hal dari tausiah juga kakak-kakak seniornya di sana bahwa sebagai seorang muslim yang baik selain dia harus menutup aurat dia juga tidak boleh pacaran. Pacaran itu haram karena pacaran itu mendekatkan zina dan itu akan mengantarkan kita pada dosa besar yang kemudian berakhir di neraka. Dia bergidik ngeri mengingat apa yang dia dengar beberapa waktu terakhir ini.
“Listi!” panggil Rasyid melihat gadisnya terdiam.
“Ini sudah tidak bisa ditawar lagi, Mas. Tolong bantu aku menjadi wanita yang lebih baik.” Listi menarik napas panjang mencoba menetralisir debaran di dada dan gemuruh yang seolah menggedor-gedor pertahanannya.
Bukan hal sepele mangambil keputusan ini. Hubungan Listi dan Rasyid sudah terjalin sebelum mereka berada di satu kampus yang sama. Mereka saling mengenal ketika Rasyid mendampingi MABA melaksanakan bakti sosial di desa Beringin, tanah kelahiran Listi. Kala itu Rasyid beserta rombongan bertandang ke rumah Pak Kades dan kebetulan Listi adalah sahabat karib anak gadisnya. Di situlah perkenalan mereka dimulai, mulai akrab dan berlanjut ke arah serius setelah beberapa kali Rasyid mengunjungi kediaman Listi.
Ketika Listi masuk perguruan tinggi dan memilih kampus yang sama dengan Rasyid pun tak luput dari campur tangan kekasihnya tersebut. Mereka sempat berbincang tentang Listi yang ingin menjadi seorang lowyer. Dia ingin menjadi pembela rakyat kecil yang selama ini diperlakukan tidak adil di dalam hukum. Bagaimana hukum negeri ini yang tak ubah seperti mata pisau yang menghunjam ke bawah dan tumpul ke atas. Rasyid kemudian menyarankan pada Listi mengambil jurusan Ketatanegaraan.
Sejurus kemudian Listi bangkit dari bangku keramik panjang di halaman fakultas Hukum Universitas Brawijaya kota Malang dengan bergegas. Dia meninggalkan Rasyid–pemuda berbadan tegap semampai dengan potongan rambut yang selalu cepak–tanpa memberi penjelasan lebih lanjut. Rasyid masih mematung mencerna apa yang terjadi di hadapannya. Dia belum bisa menerima apa yang diucapkan Listi.
**
Mengobati rasa kegamangannya, Rasyid mulai mencari informasi penyebab perubahan pemikiran Listi. Dia mendatangi teman-teman kekasihnya yang dirasa cukup dekat. Sayangnya tak ada hasil yang memuaskan. Listi cukup tertutup meski sekilas dia tampak banyak bicara dan ceria, dia tak begitu suka berbagi kehidupan pribadi pada teman-temannya. Tetapi Rasyid tak patah arang, dia tak rela jika hubungan yang dibangun susah payah akan berakhir begitu saja. Dia mulai menggali informasi sebanyak-banyaknya perihal kegiatan Listi akhir-akhir ini. Mulailah Rasyid mencatat nomor ponsel beberapa teman Listi, dia mulai memantau kegiatan gadisnya di luar kelas.
Bagi Rasyid Listi bukan sekedar pacar. Hampir setiap saat Listi mengisi hari-harinya. Gadis itu bagaikan bayang-bayang yang setia mengikuti ke mana pun Rasyid pergi. Mengingatkan jam makan siang atau sekedar menanyakan perihal tugas kuliah yang harus dia selesaikan sebelum deadline. Listi juga selalu meneleponnya hanya sekedar bertanya apakah dia sudah salat atau belum. Rasyid sadar betapa dirinya begitu bergantung pada Listi, hampir semua hal mengenai dirinya kekasihnya tahu. Bagi Rasyid memutuskan hubungan dengan Listi sama saja dengan berhenti menghirup udara, dia akan mati.
Rasyid memutar otak demi memecahkan masalah pelik yang dia hadapi. Dua sholat sunah dia kerjakan di dalam masjid kampus pagi ini. Dosen mata kuliah Kewarganegaraan tidak masuk, dia bisa bebas di jam pagi hingga menjelang kuliah siang pukul 13.00. Tiba-tiba sekelebat wajah wanita paruh baya muncul di benaknya usai mengucap salam. Mata Rasyid langsung membesar dan berbinar.
“Mungkin ini petunjuk Alloh,” gumamnya dan segera mengemasi tas yang tergeletak di sampingnya.
**
Seorang wanita berhijab keluar dari balik pintu seusai Rasyid menekan bel.
“Assalamualaikum, Tante,” ucap Rasyid kemudian mencium punggung tangan sang perempuan.
Mereka berbincang sambil duduk di sofa ruang tamu. Dengan hati-hati Rasyid menceritakan semua kelakuan putri mereka belakangan ini. Dia menyatakan bahagia atas perubahan Lesti sekaligus sedih jika harus putus dengan lesti. Ibu Listi tersenyum menanggapi cerita Rasyid.
“Sabar, ya …,” ucap ibu Listi.
Pembawaan wanita itu memang santai dan tenang.
“Tante tahu Listi sangat menyayangimu. Jangan terlalu khawatir, Nak. Dia hanya emosi. Sebentar tante ambilkan minum dulu.”
Ibu Listi meninggalkan Rasyid sendiri dalam kegamangan yang makin menjadi-jadi. Kini nasib Rasyid bagai air di atas daun talas, tak tahu kemana arah, tak tenang dan terombang ambing. Beberapa kali tampak Rasyid mengepal tangan dan memukuli pahanya. Sebentar mengusap muka lalu menyisir rambut cepaknya ke belakang dengan tangannya.
Sebuah tepukan di bahu Rasyid mengagetkannya.
“Sudah dari tadi?” seorang pria bertanya bersamaan katika Rasyid menoleh.
“Eh! Iya Om. Belum terlalu lama,” jawab Rasyid segera meraih tangan kanan pria tersebut.
“Om masuk dulu, ya.” Lelaki itu melangkah ke ruang tengah.
Selang beberapa saat ayah dan ibu Listi keluar bersama-sama. Suasana menjadi terasa canggung.
“Tak perlu setengang itu Anak Muda,” ucap pria–ayah Listi–sambil terkekeh. “Tante sudah cerita semua pada Om. Sekarang mau kamu bagaimana?”
“Saya belum tahu, Om. Hanya saja kalau harus putus dari Listi saya belum siap. Saya mencintai Listi, Om. Dan saya serius dengan hubungan kami.”
“Kau yakin pilihanmu tak salah?” tanya ayah Listi lagi.
“Yakin, Om. Seyakin-yakinnya,” jawab Rasyid mantab.
“Baik! Kalau begitu nikahi Listi!”
Bagai guntur tanpa didahului kilat, Rasyid kaget dengan ucapan ayah Listi. Dia mencubit tangan kirinya, meyakinkan diri bahwa dia tidak sedang bermimpi.
“Jika kamu mencintainya maka kamu harus menjaganya. Termasuk menjauhkan dia dari dosa. Jadi halalkan dia. Kecuali … Jika ….”
Belum usai kalimat ayah Listi, Rasyid memotong, “Iya iya, Om. Saya mau menikahi Listi. Masalahnya, apakah dia mau, Om?” Wajah berseri Rasyid kembali murung.
Bersambung ….
Lutfi Rose, lahir di sebuah desa di sudut kota Malang. Saat ini sedang mengembangkan bisnis fashion secaca online setelah sebelumnya sudah lenih dari 10 tahun membuka usaha butik secara offline. Baginya menulis adalah rekreasi, melepas penat setelah seharian bekerja.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata