Penulis: Rye Ayu Cendani
17 Juli 2015
Maaf, jika aku selalu menunduk ketika kita kerapkali bertemu. Tak berani mendongak. Apa lagi melihatmu. Meski cinta bukan seperti hujan yang jatuh ke mana saja. Tetapi hati ini tetap jatuh padamu. Meski cinta adalah arah panah. Ketika aku pun salah memanah, arahnya tetap kepadamu.
Aku seringkali memilih untuk berputar mengelilingi labirin hati. Mencari-cari jalan yang tak ada bayangan semumu. Seringkali kucoba tanpa kau minta. Namun, lagi-lagi aku menemui jalan keluar dan bayanganmu sudah berdiri di depan sana. Berulang kali.
Aku tak menyerah sampai di situ. Aku putar arah lagi. Selagi aku bisa jika ini benar salah. Namun, lagi-lagi aku menemuimu. Menemui perasaan sesak sendiri.
Hari ini adalah hari pertamaku mengawali pelajaran semester pertama kelas 3. Tak ada bedanya bangunan kelas 3 dibanding kelas 1 atau 2 lainnya. Tetap didominasi warna putih dan abu-abu. Hanya saja kelas 3 memiliki warisan berbagai gambar karya tangan-tangan kreativitas dari kakak kelas sebelumnya yang tercetak pada dinding bangunan. Tak ada yang lebih istimewa selain itu.
“Arra, kita satu kelas lagi,” teriak riang Nisa menghampiriku.
“Dih, beneran nih?” tanyaku yang ikut gembira.
“But, lo sekelas lagi sama dia,” katanya hati-hati.
“Dia siapa? Jangan bilang dia itu…”
“Lihat di papan pengumuman nih,” ucap Nisa yang segera menarikku ke arah sebuah lembaran kertas yang tertempel di jendela kelas yang akan kuhuni untuk satu tahun terakhir itu.
- Anisa Dilla
- Arra Senja
- Aron Gumarey
So, satu kelas lagi ?
Sedoa dan usaha apa pun manusia untuk menentukan keinginannya, kalau sudah kehendak Tuhan bisa berkata apa? Semenghindar apa pun sama satu manusia, kalau dipertemukan kembali oleh takdir, bisa berkata apa?
“Gue sempet kaget loh, Ra. Kalau Aron bisa-bisanya mempermalukan lo di depan Ibu Yun.” Kata Nisa. Perempuan bertubuh mungil yang nasibnya duduk sebangku denganku.
“Yaps, gue benci banget sama dia. Selama ini gue gak pernah mencoba jatuhin dia. Gue gak peduli betapa cerdasnya dia yang bisa ngalahin gue. But, saingannya secara sehat dong. Apa coba maksudnya, dia nanya ke gue saat presentasi cuma nanyain kenapa soalnya kek gitu? Lah gue mana tau lah. Emang gue yang bikin soal. Mana nanya sendiri jawab sendiri. Gimana gue gak malu? Satu kelas ngertawai gue bahkan sempet-sempetnya kami berdebat malah di cie-ciein. Bingsal gue,” kataku dengan amarah yang menggebu-gebu.
Suasana kantin yang hanya diisi oleh beberapa murid itu pun sontak melihat ke arahku. Karena sebelumnya sejak kejadian konyol sejam yang lalu itu, aku di ajak Nisa untuk menenangkan diri di dalam kantin. Mungkin ide yang cukup bagus daripada bertahan dalam kelas.
“Hati-hati loh, Neng. Bibik pernah nonton sinetron, kalau benci bisa jadi cinta,” kata Bik Yem, penjual model di kantin, yang ternyata menyimak obrolanku dengan Nisa.
“Hahaha… Betul tuh, Bik. Secara mereka juga saingan merebut tahta juara kelas,” kata Nisa yang ikut menimpali.
“Amit-amit,” sautku dengan cibiran.
Sayangnya, aku pernah jatuh hati. Sebelum benci ini bersemayam dalam hati. Mungkinkah aku beralih membencimu sebagai upayaku untuk melupakanmu?
03 Maret 2016
“Kalian berdua akan ditunjuk sebagai perwakilan sekolah untuk lomba cerdas cermat,” kata Ibu Imel di ruangannya setelah memanggil aku dan Aron.
Sebagaimana yang mesti kalian tahu, Aron Gumarey adalah lelaki cerdas yang cukup populer. Memiliki wajah rupawan, tubuh tegap, mata tajam dan dengan garis dagu yang maskulin. Ia benar-benar berevolusi menjadi lelaki yang lumayan tampan bagiku. Ralat! Dia lumayan tampan dan lebih cerdas dariku.
Sedangkan aku adalah Arra Senja, panggil saja Arra. Seorang gadis manis berkacamata yang lebih menggemari membaca novel dibanding hunting pakaian atau tempat nongkrong seperti anak muda zaman sekarang. Meskipun begitu aku juga tak kalah populer dari Aron. Aku dan Aron adalah dua nama yang selalu dikaitkan dalam perihal juara kelas. Orang-orang menyebutnya sepasang pesaing berhati dingin.
“Apakah kami setim, Bu?” tanya Aron langsung.
“Iya kalian setim, makanya nanti kalian mesti belajar kelompok bareng. Ibu pengennya kalian mesti kompak, namanya juga setim,” kata Ibu Imel dengan logat jawanya yang kental itu.
Mampus! Ibu Imel gak update sama pemberitaan sekolah, deh. Aku dan Aron yang begitu iritnya dalam perihal bicara mana mungkin bisa diajak belajar bareng.
Aku beranikan diri memandang Aron di sebelahku. Ia memandangku dengan bahasa tubuh yang mengisyaratkan untuk segera membuka suara. Karena sejak awal pembicaraan akulah yang lebih memilih bungkam dan patuh untuk mendengarkan saja.
“Insya Allah, kami akan melakukan yang terbaik untuk sekolah, Bu,” kataku akhirnya.
Tiba-tiba datanglah seorang lelaki maskulin yang terbilang begitu popular di kalangan guru di balik pintu masuk ruangan, Pak Karmyn, guru olahraga di sekolahku yang usianya belum dua lima.
“Kayaknya kaca matanya sama. Jangan-jangan kalian jodoh nih,” kata Pak Karmyn yang menggodaku dengan Aron. Ahh, sepertinya Pak Karmyn sudah melihat bendera perang itu.
“Iya, Bu. Cocok banget loh mereka ini. cerdas- cerdas orangnya,” kata Pak Pur, guru agamaku yang ikut nimbrung.
What the… Kenapa jadinya ikut-ikutan menggodaku. Ayolah candaan macam apa ini? Dan Aron, kenapa lelaki itu membalasnya dengan tertawa? Mana sisi dinginnya? Kenapa di depan guru sikapnya begitu berbeda dibanding jika bersamaku? Aron… kau buat aku bingung.
***
29 Maret 2016
Jangan coba-coba mendekat. Jangan berada di hadapanku. Jangan mengajakku bicara. Jangan bersuara selagi suaramu bisa dijangkau oleh indera pendengaranku. Jangan memandangku walau sekejap. Dari segala hal tentangmu, maka, menjauhlah.
Karena bagiku, kau adalah penyakit yang tak bisa kucegah. Efeknya sungguh membuatku lelah. Membuat kesehatan jantungku terganggu. Membuat napasku terus tercekat. Hingga, dalam beberapa detik tubuhku telah sempurna kaku
Karena kau ada tidak jauh dariku berdiri. Aku harus menahan ini dan seolah menatap binar pada langit dan bersyukur karena cuaca kali ini cukup cerah. Nyatanya, itu hal yang sia-sia. Ingin sekali rasanya mengutuk keadaan.
Hari ini adalah hari perlombaan. Sebelumnya Ibu Imel memintaku dan Aron beserta tim perlombaan lainnya yang ternyata satu tempat dengan kami untuk berangkat serempak saja.
Jadi, di sinilah kami. Tempat yang dijanjikan untuk berkumpul. Namun, sampai sekarang tidak ada tanda-tanda kehadiran yang lain. Hanya ada Aku dan Aron.
“Mana yang lain?” tanyaku membuka suara.
“Gak tau,” jawabnya yang kubalas dengan anggukan kepala saja.
Sunyi. Tidak ada lagi yang bersuara. Lagi-lagi dingin tercipta. Jika kalian bertanya apa sebabnya kenapa aku dan Aron sama-sama bersikap dingin? Jangan tanyakan aku ataupun Aron, sebab kami pun tak tahu. Ini terjadi begitu saja. Sudah 4 tahun lamanya kami bertahan dalam kondisi seperti ini. tidak ada yang mempermasalahkannya sama sekali.
“Arra, kita duluan aja,” katanya yang seketika membuyarkan lamunanku.
“Naik motor berdua?” tanyaku ragu.
Ini pertama kalinya aku bisa sedekat ini denganmu, Aron. Bagaimana mungkin?
Di bawah mendung, rintik hujan mengenai seragam sekolah yang kita kenakan. Kita sama-sama bungkam. Rasa kikuk beradu pada gerakan tubuh yang terlihat gelisah tak mengarah. Kita sebisa mungkin menutupi kejanggalan yang telah ada. Aku yang terlalu larut dalam irama rintik hujan, sedangkan kamu yang terlalu fokus mengendarai motor.
Aku pun jenuh. Kemudian, tangan kiriku menengadah ke atas, membuka perlahan, dan menampung rintik hujan itu. Merasakan tetesannya yang menari-nari di telapak tanganku. Masih tak ada yang bersuara, selain bunyi percikan hujan dan kendaraan yang berlalu-lalang. Lagi dan lagi kita mengheningkan cipta bersama. Mampukah ini diberi jeda? Ketahuilah, aku sulit sekali untuk bernapas.
Kemudian, untuk pertama kalinya aku bisa mendengar kamu membuka pembicaraan di antara kebungkaman kita. Sulit untuk kupercaya walau kamu hanya sekadar bertanya tentang kealpaanmu tentang ulangan matematika kala itu. Ini pertanyaanmu untuk ke berapa kalinya sepanjang aku mengenalmu? Entah akan ada apa lagi setelah ini. Yang pasti, aku tak percaya jika separuh hari ini aku bisa bersamamu. Bisa sedekat ini denganmu.
Perlombaan yang memakan separuh waktu hari itu kini telah usai. Sayangnya, aku dan Aron pulang membawa tangan kosong. Hah, sangat disesali. Terlebih lagi kurangnya kerja sama jadi penyebabnya. Permintaan Ibu Imel yang meminta aku dan Aron untuk belajar kelompok, tidak sepenuhnya kami turuti. Toh, inilah kami yang tidak mungkin bisa mencairkan keadaan.
“Kayaknya gerimis, Ron,” kataku setelah beberapa menit sebelumnya usai membahas ketidakhadiranmu mengikuti ulangan kemarin.
Entahlah apakah Aron mengacuhkan perkataanku atau tidak mendengar suaraku yang terbilang cukup rendah saat itu. Bising kendaraan yang berlalu-lalang mungkin menjadi penyebabnya. Namun, aku bisa merasakan laju kendaraannya lebih cepat dari sebelumnya. Ahh, ini benar-benar dingin, Ron. Sangat dingin melebihi gerimis yang makin deras ini.
***
06 Mei 2016
“Ron, lo kenapa sih sama Arra?” tanya Nisa yang mungkin sangat penasaran dengan keadaan antara aku dengan Aron.
“Aku gak ada apa-apa sama Arra.”
“Gimana gak ada apa-apanya? Udah berapa tahun kalian sama-sama diam? Udah 2 tahun loh kalian satu kelas. But, kalian gak ada tuh saling sapa kayak teman lainnya. Kelihatan banget kalian itu ada apa-apanya,” kata Nisa.
“Mungkin kami gak akrab,” jawabnya ringan.
“Ron, lo tau gak, beberapa hari lagi kita mau perpisahan. Gak baik pergi ninggalin masalah,” kata Nisa mengingatkan.
Aron pun hanya mengangguk paham.
***
17 Mei 2016
Hujan selalu membawa keramaian angin. Kadang menghadiahinya sebuah kilatan cahaya. Kadang anginnya membawa terbang segala rasa. Meskipun ia tak mampu membawa raga pergi. Biar kutitipkan pada angin hujan untuk membawa pesan padanya
Biarlah terus memanggil kenang, ketika rindu lama tak menjemputnya kembali.
Apakah ini salah satu caranya ia mengingatkanku, jika tanda-tanda perpisahan itu kian nyata dan dekat?
Dear, Aron.
Aron…
Ini aku. Arra Senja. Seorang gadis payah yang merelakanmu berkali-kali untuk dimiliki oleh gadis lain. Yang tidak mempunyai keberanian untuk mendekatimu kembali. Yang memilih diam-diam mencintaimu. Meski sesak ini makin dalam ketika kau berulang kali berganti pasangan. Ketika dinginmu dan dinginku merebak ke segala arah. Sesak ini kupendam sendiri, tak apa.
Aron, sudah empat tahun lamanya aku masih mampu bertahan dengan dinginmu. Namun, ini sudah waktunya untuk kuberitahu isi hatiku padamu. Sebelum semuanya akan kusesali seumur hidup. Sebelum aku beranjak pergi dari kehidupanmu.
Terimakasih atas segala kenangan sederhana yang pernah terekam pada dunia dan hidupku. Meski setiap ceritanya kebanyakan tentang kebungkaman dan dinginnya kita.
Aku pamit, Ron. Mungkin aku tidak akan menemuimu lagi. Aku akan melalang buana di negeri orang demi mengejar cita-citaku.
Untuk itu, sebelum aku benar-benar pergi, ada perihal yang ingin kuberitahu padamu. Bahwa kau adalah dinginnya hujan yang selama ini tak mampu kupertahankan. Hujan yang tak selamanya memberi pelangi yang kuharapkan. Namun, aku tak bisa membohongi diri jika aku menyukaimu. Menyukai segala hal yang kau miliki. Dan hujan pertama dan terakhir yang kurasakan bersamamu tempo hari, biarlah menjadi saksi dan penanda, untuk mengingat kenangan sederhana itu.
Karena saat hujan, aku bisa merasakan pelukan semumu di antara dingin yang mengigilkan tubuh sekaligus hati ini.
Dari penyuka hujan,
Arra Senja
Gerimis beralih menjadi hujan. Namun, lelaki itu masih tetap bergeming di bangku taman. Sepucuk surat ia dapatkan selepas acara perpisahan sekolah.
Selembar kertas itu ia genggam erat-erat. Jas berwarna abu-abu yang ia kenakan kian basah kuyup. Namun, ia tak mempedulikannya. Hujan sudah berhasil menyampaikan pesan dari penyukanya. Berhasil membuat Aron terpaku pada satu kebenaran yang tersembunyi empat tahun lamanya.
Bagaimana bisa perasaan ini tertutup rapat-rapat tanpa sepengetahuannya? Bagaimana kisah ini sudah berjalan empat tahun lamanya? Apa isinya hanyalah sebatas ketidaktahuannya tentang perihal ini? Dingin macam apa yang Arra rasakan? Sebab, ia tak punya sama sekali jawabannya. Apakah mesti Aron mencarinya di antara tetesan hujan?
Aron ingin merasakan pelukan hujan itu. Mengukur seberapa banyak dingin yang Arra rasakan selama ini? Namun, ia terlambat.(*)