Nilai Sebuah Penyesalan

Nilai Sebuah Penyesalan

Nilai Sebuah Penyesalan

Oleh: Erlyna

Mulai sekarang, hari-hariku yang membosankan, akan dimulai.

Klik!

Pintu kamar terbuka. Ibu masuk sambil membawa nampan berisi sepiring nasi goreng dan segelas susu.
Wajahnya sayu. Sepertinya beliau begadang lagi. Akan tetapi, kenapa matanya berkaca-kaca? Beliau menangis? Tunggu! Kenapa menangis di hadapanku? Bicaralah pada Ayah. Ceritakan semua masalah yang ada, kalian pasangan, kan? Ah, menyebalkan sekali.

Aku memutuskan untuk melangkah keluar rumah. Tidak tahan rasanya jika harus berlama-lama berada di dalam rumah yang suram ini. Tidak ada canda tawa, tidak ada suara. Rumah yang selama enam belas tahun kutinggali ini seperti tidak punya nyawa.

Suasana sekolah mulai ramai. Waktu pelajaran masih setengah jam lagi. Aku memutuskan untuk jalan-jalan menyusuri lorong yang mulai dipenuhi siswa. Langkahku terhenti di sebuah kelas yang didominasi warna biru muda. Kelas senior. Pandanganku tertuju pada sosok yang sedang asyik menatap langit di luar jendela. Dia … Jen. Laki-laki pertama yang membuatku jatuh cinta.

Ah ….

Aku meninggalkan kelas senior itu dan melangkah menuju atap. Sinar matahari menampar langsung di tempat ini. Selain terasa bebas, tempat ini paling cocok dijadikan tempat untuk bolos saat pelajaran Matematika.

Aku duduk di salah satu ujung yang menghadap langsung ke pintu gerbang sekolah di bawahnya. Ini tempat favoritku. Aku sering menghabiskan waktu di sini bersama seseorang kalau sedang jenuh.

Drap!

Sebuah langkah kaki tiba-tiba berhenti di bawah. Rana, itu Rana, kan? Kenapa dia berhenti berlari dan menatap cukup lama ke arahku? Kenapa? Ada apa? Apa dia …?

Tidak! Itu tidak mungkin. Aku menepis berbagai pikiran aneh yang tiba-tiba menyerbu kepala. Aku harus segera pergi dari sini.

“Tania … Tania … kamu di sini, kan?”

Aku kaget. Tiba-tiba Rana sudah berdiri di hadapanku dengan napas tersengal-sengal. Mau apa dia?

Untuk sesaat kami hanya diam di tempat. Seperti sedang memahami satu sama lain.

“Tania ….”
Rana memanggil dengan suara serak. Perempuan berambut panjang itu menutupi wajahnya, seolah-olah berusaha menyembunyikan tangisnya.

‘Maafkan aku, Rana. Maafkan aku.
Kumohon jangan seperti ini. Jangan terlalu memikirkan aku. Bahagialah. Orang baik sepertimu berhak bahagia.’

Aku melangkah meninggalkan Rana yang kini berlutut sambil terisak.
Sungguh! Ini menyakitkan sekali. Namun, aku tidak punya cara untuk membuatnya berhenti menangis. Tidak lagi sekarang.

Aku berlari meninggalkan sekolah menuju sebuah taman. Di sana banyak sekali anak-anak balita yang sedang asyik bermain bersama orang tuanya.

Aku tersenyum mengamati dari jauh. Mereka beruntung sekali. Masa kecil mereka bahagia. Tidak seperti masa kecilku dulu yang selalu saja diwarnai pertengkaran Ayah dan Ibu. Sungguh, aku sangat menyesali hidupku sendiri.

“Kak, kenapa sendirian? Ayo main sama Al. Al punya layang-layang baru.”

Aku tersadar dari lamunan dan melotot kaget. Di sampingku seorang anak laki-laki menatap sambil tersenyum. Aku mengerjap tidak percaya. Tunggu! Kenapa dia ….

“Kak, ayo!”

Tiba-tiba saja anak laki-laki itu sudah menarik baju menuju sisi kanan taman yang terlihat lapang. Di sanalah aku menemaninya bermain layang-layang.

“Al.”

“Ya, Kak? Apakah kakak suka layang-layang? Kalau suka tersenyumlah. Mama pernah bilang pada Al untuk selalu tersenyum dan jangan bersedih. Kalau bersedih, nanti dunia kakak jadi hitam,” ujar Al sambil menarik ulur benang layang-layangnya.

Aku tersenyum sambil menggigit bibir, berusaha keras untuk tidak menangis.
Aku menatap Al tidak percaya. Bagaimana bisa bocah laki-laki itu begitu kuat. Bagaimana caranya?

* * *

Malam ini hujan turun. Aku menikmatinya sambil melihat kendaraan yang lalu lalang. Tiba-tiba pandanganku menangkap sosok tubuh yang sangat familier. Jen … itu Kak Jen … tapi siapa yang berjalan bersamanya itu? Wajahnya mirip sekali dengan … Rumi.

Deg!

Rumi? Tunggu! Apa benar itu Rumi?
Sejak kapan mereka begitu dekat? Apa selama ini mereka memang sedekat itu? Apa aku ini memang terlalu bodoh untuk menyadari?

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Kak Jen.

Rana? Kenapa dia?

“Keterlaluan kamu, Kak Jen!” ucap Rana menatap galak.

Aku melongo tidak percaya. Rana, sahabatku sejak kecil yang sangat lembut ternyata bisa memukul orang? Di tempat umum begini?

“Hei! Apa-apaan kamu? Pergi sana!”
Rumi yang berdiri di samping Kak Jen menatap kesal. Dia terlihat tidak terima Kak Jen diperlakukan seperti itu.

“Diam kamu! Jangan ikut campur urusan orang lain!” balas Rana kesal.

“Kak Jen, jawab aku. Kenapa Kak Jen bisa bersama dia? Kenapa kakak tega melakukan ini? Kenapa, Kak? Padahal … padahal Tania ….”

“Cukup, Rana. Jangan menyebut nama Tania di depanku. Aku sudah tidak punya perasaan apa-apa lagi padanya. Semua sudah hilang.” Kak Jen menjawab tegas. Saat itu juga Kak Jen meraih tangan Rumi, lalu pergi.

Aku berlutut di bawah guyuran hujan. Membiarkan semua kenangan-kenangan yang aku punya berjatuhan dan hilang bersama genangan. Rasanya menyakitkan sekali mendengar perkataan seperti itu keluar dari mulut Kak Jen.

Aku menatap Rana dengan tatapan sayu. Sungguh, aku merasa bersalah sekali padanya. Aku tidak menyadari bahwa ada orang yang sangat peduli padaku.

Selama ini aku begitu dibutakan oleh Kak Jen. Sejak menyadari aku jatuh cinta pada laki-laki itu, aku jadi mengabaikan semua orang-orang di sekelilingku. Aku egois sekali. Selalu ingin dimengerti tapi tidak mau mengerti orang lain.

Rana, sahabatku itu … dia memahami diriku lebih baik dari diriku sendiri. Sial! Apa sebenarnya yang sudah kulakukan? Aku ini bodoh sekali!

* * *

Suara kicauan burung membuatku terbangun. Aku refleks mengerutkan dahi saat menyadari sinar matahari bersinar tepat di wajahku.

Taman?
Aku semalaman tidur di taman dan tidak pulang ke rumah?
Sepertinya semalam aku menangis hingga tertidur di bangku kayu ini. Untunglah tidak ada yang mengusirku. Ah, ya … tentu saja tidak ada.

“Kakak … kakak ….”

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara Al. Aku kaget saat melihatnya sedang berlari sambil menangis ke arahku.

“Al?”

“Kakak tolong aku.”

“Al, kamu kenapa?” tanyaku saat sosoknya tiba dan bersembunyi di belakangku.

“Al, sedang apa kamu? Ayo ikut Mama.”
Tiba-tiba seorang wanita berlari mendekat dan menggedong Al dengan paksa.

“Kakak tolong aku. Aku tidak mau ikut dengan Mama. Aku masih ingin bermain layang-layang.”

Suara Al sayup-sayup masih terdengar. Aku berusaha mengejar dan mengikuti mereka.

Wanita itu membawa Al masuk ke sebuah gedung apartemen paling mewah di kota ini. Aku melotot saat tahu wanita itu membawa Al menuju lantai 30. Lantai 30 itu berarti … rooftop.

Tidak … jangan. Kumohon jangan.
Aku panik luar biasa saat menyadari apa yang hendak dilakukan wanita itu bersama Al. Kenapa? Apa yang terjadi? Kumohon dengarkan aku.

“Kakak ….”

“Tidak!!!”
Aku menjerit sekuat yang aku bisa. Mereka benar-benar melompat dari atap gedung ini? Wanita itu … membawa Al untuk bunuh diri?

Lalu aku … aku … aku hanya melihat tanpa bisa melakukan apa-apa.
Tentu saja. Tentu saja aku tidak bisa menolong. Aku tidak bisa meraih tangan Al. Aku tidak bisa menyelamatkan mereka, karena aku sendiri sudah mati. Ya … aku sudah mati.

Al, anak laki-laki itu. Kini aku mengerti mengapa dia bisa melihatku. Anak itu … jiwanya pasti sangat bersih, suci. Itu sebabnya dia bisa melihat sesuatu yang tidak tertangkap mata orang normal.

Al, maafkan aku. Terima kasih sudah menyadarkan diriku dan mewarnai sisa-sisa kesempatan hidupku. Sekarang aku bisa pulang dengan tenang. Terima kasih kawan kecilku.

* * *

Ingatan-ingatan menyakitkan itu berputar lagi di kepalaku.
Malam itu … malam yang sangat dingin. Entah apa yang kupikirkan saat itu. Yang jelas kakiku tiba-tiba menyelinap ke sekolah dan termenung cukup lama di atap gedung sekolah. Tempat itu … tempat yang selalu kudatangi bersama Rana jika sedang jenuh dan muak akan masalah-masalahku. Tempat yang selalu menjadi pilihan pertama untuk menumpahkan seluruh perasaanku tentang Kak Jen. Tempat yang membuat aku dan Rana semakin dekat dari waktu ke waktu. Tempatku bunuh diri.

Entah apa yang kupikirkan saat itu. Sepasang kakiku bergerak begitu saja. Seolah-olah semua berada di luar kendaliku. Aku … mengakhiri hidupku dengan begitu bodoh.

* * *

Ibu, maafkan aku. Maafkan anakmu yang bodoh ini. Maaf tidak bisa memenuhi semua impian-impianmu dan membuatmu bangga. Maaf sudah menyia-nyiakan pengorbananmu selama ini. Kumohon … berhentilah menyiapkan makanan di kamarku, Bu. Berbaikanlah dengan Ayah. Berbahagialah, Bu.

Rana, maafkan aku. Maaf aku yang selalu saja merepotkanmu dengan sikapku yang kekanak-kanakan. Selamanya, kaulah sahabat terbaik yang aku punya. Maaf telah membuatmu sedih karena aku pergi seperti ini. Berbahagialah, jangan melulu memikirkan diriku.

“Selamat tinggal semuanya. Aku sayang kalian.”

Purworejo, 31 Agustus 2019

Erlyna, perempuan sederhana yang menyukai dunia anak-anak. Hobi menulis dan menyaksikan anak-anak menciptakan keajaiban.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply