Percakapan Dalam Hening

Percakapan Dalam Hening

Percakapan dalam Hening

Oleh: Erlyna

Kesiur angin menampar kesadaran sejak tadi. Entah sudah berapa lama aku duduk di sini. Diam tanpa mengucap kata-kata. Seolah-olah tubuh telah menyatu dengan tanah. Suasana sekitar terdengar begitu ramai. Bukan oleh suara manusia, tapi dengung ribuan lalat hijau yang diam-diam mencuri udara segar yang tinggal satu dua.

“Puas?”

“Eh? Aku … belum ….”

“Kurang apa lagi?”

“Tidak ada. Kecuali apa-apa yang belum pernah kumiliki sebelumnya. Aku masih ingin ….”

“Kejarlah!”

“Sedang memikirkan cara, kok. Namun, jika terlalu banyak berpikir, akhirnya justru tidak jadi bertindak. Terlalu banyak pertimbangan bodoh yang bahkan aku sendiri merasa sangat lucu telah memikirkannya.”

“Manusia dewasa memang rumit.”

“Iya, kah? Sayangnya aku bukan orang dewasa.”

“Benar. Kamu hanya tahu cara bersenang-senang.”

“Bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin menikmati hidupku sendiri.”

“Menikmati?”

“Iya. Aku telah menyia-nyiakan waktuku sebelumnya. Namun, kini aku tidak akan seperti itu lagi. Aku ingin merasakan manisnya hidup.”

“Terlambat.”

“Terlambat? Ah, jangan bercanda.”

“Aku tidak pernah bercanda!”

“Jadi … inikah alasanmu datang? Tidak bisakah membiarkanku sendiri? Sebentar saja. Berilah aku waktu untuk mengingat dosa-dosaku.”

“ Ini perintah.”

“Perintah, ya? Akan tetapi sudah lama sekali aku tidak pernah percaya dengan siapa pun.”

“Mulai sekarang, percayalah!”

“Kamu sungguh bisa dipercaya? Penampilanmu bahkan meragukan.”

“Ya!”

“Apa jaminannya?”

“Apa pun yang kamu inginkan.”

“Oke. Deal?”

Deal!”

Dersik angin kali ini terasa menampar-nampar wajah. Beberapa bahkan tanpa permisi menerobos masuk ke dalam lubang telinga. Aku bergidik sambil menggosok-gosokkan telapak tangan kiri ke paha. Angin musim kemarau kali ini begitu semangat. Seolah-olah ingin merontokkan tulang-tulangku yang miring dan menolak kembali ke posisi semula. Aku masih bergeming dalam jeda yang diciptakan percakapan ambigu. Masih sibuk menata perasaan dan berpura-pura baik-baik saja. Nyatanya, terkadang hal-hal kecil lebih baik jika dilihat dari sisi berbeda. Kekhawatiran di dadaku, misalnya. Sejak tadi aku berusaha menyembunyikan getar-getar yang nyaris meledakkan dadaku sendiri. Kekhawatiran yang sebenarnya tidak beralasan, atau mungkin aku terlalu gengsi untuk menyadarinya? Entahlah.

***

“Sudah selesai?”
Dia memutuskan memulai pembicaraan.

“Apanya? Aku tidak sedang melakukan apa-apa.”

“Sejak tadi, kamu sibuk berdebat. Siapa yang tinggal di dalam tubuhmu itu?”

“Bukankah kamu yang lebih tahu dari siapa pun?”

“Tugasku hanya menjalankan perintah.”

“Bisa tidak pergi sekarang? Kamu benar-benar mengganggu waktuku.”

“Aku tidak pergi tanpa perintah. Ceritakan dosa-dosa itu!”

“Sudah tidak ada cerita lagi. Semua yang kuingat seperti telah ditarik paksa keluar dari kepalaku. Sekarang, tidak ada kenangan yang tersisa.”

“Bohong!”

Sial!’

“Hari itu, apa yang kamu lakukan?”

“Maksudmu sebelum ibuku mati sepuluh tahun lalu?”

“Ya!”

“Tunggu! Kamu tidak penasaran bagaimana ibuku mati?”

“Bunuh diri.”

“Kamu benar-benar sedang mempermainkanku, ya. Kamu tahu semuanya, lalu untuk apa bertanya lagi?”

“Memastikan. Mengukur tingkat kejujuranmu.”

“Baiklah, mari bicara tentang dosa-dosaku di masa lalu. Meski aku sendiri sangat membencinya, tapi tidak ada salahnya mengiris kembali jahitan luka itu. Sakitnya akan lebih hebat, tapi aku masih bisa menjahitnya lagi nanti.”

“Katakanlah!”

“Lima tahun lalu, aku adalah anak paling terkutuk yang pernah ada.”

***

“Ibu! Mana uang jajanku?”

“Hari ini tidak ada uang, Nak. Maafkan Ibu.”

“Tidak bisa. Aku harus membayar sewa game yang kupinjam. Beri aku uang!”

“Tidak ada, Nak ….”

Tiba-tiba saja sebuah tendangan mendarat di bahu kurus wanita yang melahirkanku. Pelakunya jelas, kaki kiriku yang begitu jahanam.
Kupandangi wajahnya yang dipenuhi air mata. Entah setan apa yang merasuki tubuhku, bukannya iba aku justru meludah.

“Dasar orang tua miskin! Menyesal aku dilahirkan oleh orang sepertimu.”

Wanita kurus itu bangkit pelan-pelan. Mengusap air matanya sambil berjalan menuju dapur. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Wajahnya tidak menggambarkan ekspresi apa-apa.

Namun, siapa sangka bahwa itu adalah saat-saat terakhir aku melihatnya. Setelah kejadian itu aku keluar rumah dengan membanting pintu. Pergi ke rumah Joh–temanku sejak masa kanak-kanak– untuk pergi ke kebun milik pak lurah, mencuri mangga.

Sorenya baru aku kembali ke rumah, dengan perut mulas dan tubuh tidak keruan. Saat itulah kesadaran yang sudah lama hilang dari kepalaku kembali. Di depan pintu dapur, kulihat ibu tergeletak dengan tangan bersimbah darah dengan adikku dalam pelukannya.

Alih-alih membantu, aku hanya bergeming. Cukup lama, terlalu lama untuk menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dan aku benar-benar terlambat.

***

“Bagaimana semua itu bisa berakhir seperti ini? Berakhir menyedihkan dengan keadaanmu sekarang?”

“Kamu tahu, kan? Tuhan tidak pernah tidur. Bahkan jika aku diam-diam mencuri napas orang lain Dia akan tahu. Jadi mungkin ini yang namanya karma.”

“Menyesal?”

“Tidak! Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah menyesal atas apa-apa yang pernah kulakukan. Aku melakukan semua dan aku menikmatinya. Terlebih lagi, aku melalukan semua ini demi seseorang.”

“Ibumu?”

“Bukan. Namun, seorang balita yang entah datang dari mana. Dia tiba-tiba tertidur tepat di sampingku saat aku terbangun suatu pagi setelah krmatian Ibu. Rambutnya kusut dengan baju sobek di sana-sini. Awalnya aku kesal. Bagaimana tidak, seorang anak yang tidak kukenal memanggilku ’kakak’. Lama kelamaan aku berpikir dan sadar. Mungkin anak ini adalah pengganti adik yang Tuhan kirimkan padaku. Tuhan ingin aku menebus dosa-dosa masa lalu. Namun, karena aku miskin dan bodoh, aku justru menghapus dosa dengan melakukan dosa-dosa yang lain.”

“Lanjutkan!”

“Ya. Sejak itu aku pelan-pelan berubah. Memperbaiki diriku sendiri, meski terkadang caranya masih salah. Setidaknya aku ingin menjadi contoh terbaik untuk diriku sendiri dan Nira. Namun, terkadang aku memang tidak selalu mendapatkan apa yang aku inginkan. Tentu saja karena kita tidak berhak menentukan takdir kita sendiri. Seiring berjalannya waktu, aku semakin tidak keruan. Melakukan hal-hal konyol demi bisa membahagiakan Nira bagaimanapun caranya. Aku hanya ingin Nira bahagia. Aku ingin langit mengampuni dosa-dosaku. Aku ingin menebus kematian adik karena keegoisanku dengan sesuatu yang aku perjuangkan sendiri. Aku ingin adik dan Ibu di surga bangga, aku ….”

“Sepertinya langit menutup mata.”

“Aku tahu aku keterlaluan. Bahkan jika langit menutup mata sekalipun, aku masih akan berjuang.”

“Di mana dia?”

“Siapa? Nira? Sepertinya seseorang telah menculiknya, atau orang tuanya telah menemukan dirinya, atau mungkin dia kembali ke langit. Seperti saat pertama aku melihatnya di pagi hari yang aneh, dia juga menghilang dengan cara yang aneh. Sepertinya dia benar-benar utusan dari langit.”

“Kamu yakin?”

“Aku hanya menduga-duga. Selain itu, aku tidak menemukan petunjuk apa-apa setelah bertahun-tahun mencarinya. Aku bahkan melupakan keadaan diriku sendiri. Sampai seseorang di dalam tubuhku mengutuk karena lalai menjaga tubuh ini.”

“Apakah ini setimpal?”

“Aku sudah seperti ini dan kamu masih bertanya? Jangan mulai bercanda!”

“Tidak. Hanya saja semua ini begitu lucu.”

“Jangan mengejekku lagi. Bagaimanapun juga, aku telah berusaha berubah. Aku sudah sampai ke titik ini dengan perjuangan yang tidak mudah. Tidak bisakah kamu melihat?”

“Benar. Kamu benar-benar telah berubah. Dengan keadaan kurus kering menyisakan tulang belulang yang tidak lagi pada tempatnya, berbeda sekali dengan dirimu di masa lalu.”

“Itu sebabnya. Aku tidak ingin mengingat diriku di masa lalu lagi. Aku ingin menghancurkan kenangan tentang diriku di masa lalu hingga keping paling kecil. Biarkan kepingan-kepingan itu terbang, hilang bersama angin. Tidak kembali lagi selamanya.”

“Jadi, sekarang sudah siap?”

“Apa aku punya pilihan selain berkata ‘ Ya’?”

“Mari ikut denganku!”

“Jadi kamu hari ini benar-benar datang untukku, ya?”

“Tentu. Ini adalah perintah.”

“Kamu sungguh sangat patuh. Tidak heran ….”

“Ini tugasku.”

“Jadi, kapan tepatnya waktuku untuk berangkat?”

“Surya Adi Wibowo. Sabtu, 31 Agustus 2019. Pukul 15.00 WIB.”

“Masih ada waktu lima menit. Maukah kamu memberitahuku cara mengucap syahadat?”

“Dengan senang hati.”

“Terima kasih. Tidak kusangka malaikat maut baik dan setampan ini.”

“Aku anggap itu pujian.”

“Baiklah kalau begitu ditambah tahlil, ya?”

“Dasar serakah!”

“Hei! Kamu mengumpat?”

Waktu selalu setia menemani kita. Menangisi kebahagiaan dan menertawakan kesedihan. Namun, ia tidak akan pernah kembali jika sudah telanjur hilang. Jadi, selama dia masih milikmu, kamu sendiri yang paling tahu bagaimana cara menjaga dan memanfaatkannya.

Wahai waktu … kenanglah aku.

Purworejo, 31 Agustus 2019

Erlyna perempuan sederhana yang menyukai dunia anak-anak. Suka menulis dan menyaksikan anak-anak menciptakan keajaiban.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply