Immortality of Limitations

Immortality of Limitations

Immortality of Limitations
Oleh : Devin Elysia Dhywinanda

“Waktu manusia itu terbatas.”

“Ya. Tapi, waktu itu sendiri tidak memiliki batasan.”

Itu adalah sore muram ketika aku dan dia kembali berbincang-bincang di taman salah satu rumah sakit khusus kanker negara kami. Wajahnya masih berseri-seri, terutama ketika melihat anak-anak yang asyik bermain, sesekali berkejaran mengitari area hijau di tempat berbau obat ini. Aku sendiri berusaha abai akan keramaian kecil di kawasan ini sambil mengingat-ingat kapan terakhir kali aku dibesuk oleh keluargaku sendiri.

Seorang gadis penderita leukemia memberikan bunga aster kepadanya ketika aku menyahut, “Waktu memang tidak terbatas, tetapi nyatanya kehidupan kita bahkan tidak menyentuh nol koma sekian persen dari ketidakterbatasannya.”

“Kau benar.” Aku meliriknya yang tengah berterima kasih kepada gadis berusia sepuluh tahun di hadapannya. Mereka saling melambaikan tangan sebelum si gadis menjauh, bergabung dengan teman-temannya. Dia sendiri menerawang, barangkali memandang langit jingga di balik gedung abu-abu ini, lantas menambahkan, “Dengan perbandingan sekontras itu, sudah sepantasnya kita menganggap bahwa waktu kita sangat terbatas. Kita terlalu lemah, terlalu kerdil, bila dihadapkan pada sesuatu seagung itu.”

Aku mendengkus, melihat beberapa perawat yang silih berganti berjalan di lorong yang melingkari taman ini.

“Tapi, pernahkah kau memikirkan Muhammad atau Einstein? Pernahkah kau berpikir bahwa mereka memiliki waktu yang tidak terbatas untuk terus dikenang oleh mayoritas orang di dunia ini?” Pandanganku beralih kepada sepasang lansia yang mengobrol di dekat air mancur kala suara lembutnya memenuhi pendengarannya, “Waktu kita memang terbatas, tetapi dalam keterbatasan itu kita bisa mengupayakan segala cara untuk bisa dikenang … untuk bisa menjadi bagian dalam ketidakterbatasan waktu.

“Omonganmu terlalu indah. Aku serius.”

“Memang. Dan, aku pun tahu kau pasti bereaksi seperti itu. Tapi, perkataanku memang benar, ‘kan?” Ia tertawa renyah sembari memeluk pundakku. “Setiap orang bisa menjadi bagian dari ketidakterbatasan waktu. Setiap orang bisa menjadi abadi di dunia ini. Tapi, memang … hanya ada sedikit yang bisa memiliki kesempatan itu.”

Aku memutar mata, mengingat impresi pertamaku saat bertemu dengannya beberapa bulan lalu: naif, terlalu teoritis serta utopis. Dari cara bicaranya, aku tahu dia telah melahap berbagai buku, jurnal, atau artikel tentang teori paradoks atau inti sebuah kehidupan sehingga bisa berenang di air yang keruh. Aku sendiri tidak terlalu menyukai orang-orang idealis macam itu, yang berputar pada konsep hingga lupa bahwa dunia butuh sebuah tindakan konkret. Akan tetapi, psikologis manusia ternyata sangat lemah sampai-sampai aku menyerah dan memilih mendengarkan penghiburan macam itu.

Kalau Freud mengatakan, ini semacam mekanisme pertahanan ego. Melarikan diri.

Namun, toh, hidup memang butuh hal-hal semacam itu, ‘kan?

Dia diam sejenak. Memikirkan hal-hal rumit lain.

“Kalau diberi kesempatan lebih banyak, aku ingin menjadi seperti itu. Maksudku, yah, aku sadar tidak mungkin jadi tokoh sebesar Muhammad atau Einstein, tapi setidaknya aku ingin melakukan beberapa hal—hal-hal kecil juga tidak masalah—agar segelintir orang di dunia ini dapat mengenangku. Itu cuma pengandaian, sih.” Dia tertawa pelan. “Ada satu hal yang mayoritas orang di dunia ini percaya: Tuhan adalah Zat Mahakekal. Tapi kalau dipikir-pikir, dengan dikenang oleh orang lain, kita juga bisa menjadi sesuatu yang kekal … dalam perspektif berbeda.”

“Kita adalah bagian semesta. Kita hidup dalam semesta. Bahkan, setelah mati pun kita akan tetap jadi bagian semesta. Itu yang berusaha kupercayai.

Dari sudut mataku, aku dapat melihat wajah ceritanya yang diselubungi sekeping kedukaan. Aku memutar mata, kemudian melihat langit jingga yang perlahan ditelan gelap malam.

“Kau sudah melakukannya, jadi jangan menyesali apa-apa.”

Hening sejenak sampai tawanya kembali terdengar.

“Terima kasih … tapi jangan malu-malu saat mengatakannya, oke?”

Sore itu, kami berdebat sebentar: dia yang membahas betapa tidak jujurnya aku; aku yang mempermasalahkan isi kepalanya yang penuh sesak dengan hal-hal manis—teori serta pernyataan muluk yang cukup kontras dengan realitas dunia ini. Perdebatan itu berakhir dengan aku yang lebih dulu beranjak dari bangku putih, menulikan diri atas nasihatnya agar aku lebih santai dan tidak terlalu realistis. “Nikmati dunia ini sebentaaar saja!” katanya dari kejauhan, yang kubalas dengan kibasan tangan, tanda agar dia diam.

Hidupku masih berjalan secara terbatas dalam ketidakterbatasan yang dia sebutkan, pun hidupnya. Aku sendiri berusaha menuruti nasihatnya, menjalani hari-hariku dengan lebih santai, hingga pada satu waktu aku kembali duduk di bangku putih ini, memandang senja muram dari area hijau di tempat bau obat ini. Sendirian. Akan tetapi, toh, itu bukan masalah besar bagiku.

Pada dasarnya, hidup kita memang sangat terbatas … ‘kan? (*)

Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply