Atas Nama Keabadian
Oleh Devin Elysia Dhywinanda
Ada banyak persoalan kompleks di dunia ini, tetapi kamu sepertinya lebih suka memikirkan hal remeh, seperti kenapa kita mesti mengeringkan tubuh sehabis mandi kalau akhirnya basah lagi; berapa harga yang dipatok Tuhan hanya untuk napas seseorang; ada berapa bintang tidak terkenal di semesta dan apakah mereka kesepian lantaran diasingkan manusia. Aku beberapa kali memintamu berhenti seraya menawarkan alternatif pekerjaan ringan, seperti menemani kucing adikku bermain, tetapi kamu justru menggeleng layaknya anak kecil, kemudian berkata, “Kalau semua orang mendiskusikan hal-hal rumit, lalu siapa yang akan mengurusi persoalan kecil?”
Kamu justru menceramahiku tentang hal-hal kecil sebagai pondasi sesuatu yang lebih agung, yang kubalas dengan kibasan tangan—terserahmu mau berkata apa. Kamu sendiri tampak kegirangan dan mulai mencari topik aneh lain, membiarkanku memijit kening, tidak tahu lagi mesti menyebutnya apa: gila, bodoh, atau terlalu polos. Akan tetapi, kuputuskan untuk abai sebab, toh, kamu pun tidak akan peduli pada hal macam itu. Otakmu telah didesain untuk mendeteksi informasi abnormal dan membuang yang realistis, begitu aku menghibur diri.
Malam ini pun, beberapa menit menjelang tahun baru, ketika kamu menyanggupi undanganku untuk datang berkunjung—orangtuaku sibuk, sedangkan adikku sudah lari entah ke mana dengan dalih menghabiskan tahun baru di akhir tahun bersama teman-teman SMA-nya—kamu masih memiliki waktu untuk meraih kembang api dan berkomentar, “Hei, Janson! Kamu tahu caranya membuat kembang api berpendar lebih lama?”
Aku, yang saat itu memanggang daging sapi kualitas premium, kontan melirikmu. Kamu sudah melaksanakan tugas yang tadi kuberikan—menjaga kucing adikku—untungnya, tetapi otakmu kentara tidak mau rehat untuk mengambil hal-hal aneh di atap rumahku. “Jangan melantur. Kembang api itu kalau sudah dilepas, berpendar, ya, hilang. Itu sudah dari sananya. Mau dimodel seperti apa pun, selama apa pun, pada akhirnya mereka akan hilang. Karena itu, kita menyebutnya kembang api.”
“Tapi, aku ingin mereka berpendar lebih lama!” balasnya seperti anak kecil. “Mereka pantas mendapatkannya. Maksudku, dikagumi banyak orang, tetapi tidak dalam waktu singkat. Mereka sudah berupaya mencapai langit, berpendar, menyemarakkan malam hari, tetapi hilang tidak berbekas begitu saja. Itu tidak adil, ‘kan?”
Aku memejamkan mata, ingat pertanyaannya tentang bintang-bintang di atas sana. “Dengar, bocah, dunia memang tidak adil, kalau kamu melihatnya seperti itu. Tapi, toh, keindahan itu kadang memang ada untuk sebentar dinikmati. Justru kalau ia bertahan lama, biasanya orang-orang akan malas dan menganggapnya biasa.”
“Aku suka berwisata ke Frissian Island.”
“Jadilah orang Jeju dan sadarilah fakta itu.”
Aku melanjutkan memanggang daging sapi, jagung, bawang bombay, dan paprika. Normalnya, kamu akan menanggalkan segala keanehan di otakmu untuk mendekat, memaksaku untuk memasak lebih cepat dan sebagainya. Akan tetapi, sampai bahan makanan itu setengah matang pun, kamu belum juga datang, jadi aku menoleh, mendapatimu yang masih saja berkutat dengan kembang api serta kucing adikku.
Dasar.
“Janson,” vokalmu kembali terdengar, “kembang api itu diciptakan untuk berpendar, lalu mati, ‘kan? Mereka dari awal hanya diciptakan untuk kesenangan sesaat. Bahkan, sebelum sepenuhnya menikmati hal itu, mereka sudah duluan mati. Kasihan sekali, ya?” Kucing persia adikku bergelung di kakinya ketika dia berkata, “Persis seperti kita, ya?”
Aku berhenti sejenak, melihat De Gooyer Windmill yang malam itu dihiasi cahaya hologram. Di sekitarnya, orang-orang hilir mudik, barangkali hendak ke Bourewij’IJ—tempat pembuatan bir yang berdekatan dengan si Kincir Angin Tertinggi—atau hanya ingin berjalan-jalan menyeberangi Funenkade dan Zeeburgerstraat secara bergantian. Keramaian itu membuatku berdecak. Amsterdam benar-benar berisik. Juga menyakitkan mata. Apa seluruh dunia juga mengalami hal yang sama?
“Hei, Janson, apa tidak ada cara agar kembang api berpendar lebih lama? Apa tidak ada cara untuk terus menikmati keindahan tanpa merasa bosan?”
“Tidak ada.”
Kamu—yang kini telah kehilangan sepersekian berat badan—mendengkus, memalingkan wajah dariku. Sejurus kemudian, kamu bergumam, “Apa tidak ada satu pun keindahan di dunia ini yang abadi?”
Aku memindahkan makanan yang sudah matang ke piring. “Ada.”
“Apa memangnya?”
“Ingatan.”
“Ingatan?”
“Hm.”
“Lalu, bagaimana caranya menjadi ingatan?” Kamu tertawa jenaka sambil membelai bulu kucing adikku. “Apa aku harus mengecat rambutku, seperti tetanggamu yang playboy itu? Haruskah aku menjadi Corina Brussaard[1] atau Mata Hari[2]?” Aku melirik arloji yang menunjukkan seperempat jam menuju tahun baru. “Atau, aku harus sembuh?”
Suhu udara turun, entah kenapa.
“Tapi, aku tidak bisa sembuh. Iya, ‘kan?”
“Ya.”
“Lalu, aku harus bagaimana?”
Aku menghela napas. “Sini, kutunjukkan sesuatu yang bisa membuatmu jadi ingatan.”
Kamu menaruh kucing adikku di dekat pintu masuk, kemudian mendekat. Aku memutar mata, lekas meraih—kamu berjalan sangat lambat, dalam pandanganku—dan meletakkan tangan di dadaku. “Di sini. Di sini kamu sudah jadi ingatan, bocah, dan kamu tidak perlu tahu seperti apa bentuknya, kapan dia akan bertahan, sebab kita sudah setuju kalau ingatan adalah sesuatu yang abadi.”
Kamu lagi-lagi tertawa. Matamu membentuk garis. Kamu tidak tersipu atau apa, hanya tertawa sampai menitikkan air mata. Aku memutar mata, menjauhkan tanganmu, membiarkanmu kembali berkeliaran. Aku melihat arlojiku yang menunjukkan pukul 23.55 ketika vokal lembutmu memecah keheningan. “Jason, di antara semua kembang api ini, mana yang menurutmu paling indah? Mana yang akan kamu ingat dalam satu-dua jam ke depan? Mana yang akan kamu pilih jadi kembang api favoritmu?”
Lagi-lagi pertanyaan aneh.
“Tidak bisa. Kamu tidak akan bisa memilih. Jumlahnya sangat banyak. Dan, mereka indah. Paling-paling kamu hanya akan menatap langit dengan sangat malas, lalu lanjut membakar barbeque—atau kamu malah tidur, siapa tahu?”
Kamu berjalan memutari atap rumahku.
“Jadi, mana yang akan kamu pilih?”
Aku membawa satu kembang api, lalu memblokade pergerakanmu yang serupa gasing tanpa pemain. Kamu sedikit tersentak. Akan tetapi, aku lekas menyodorkan sisi lain dari kembang api yang kuambil kemudian berkata, “Kamu bilang kembang api di langit sana terlalu banyak dan terlalu cepat mati, ‘kan? Jadi, mari kita pilih satu dari semua kembang api yang kubeli dan buang sisanya. Kemudian di sini, jam dua belas tepat, kita akan menyulutnya lalu mengingatnya jadi kembang api paling indah—dan kamu harus berhenti membuatku pusing dengan pertanyaan bodohmu sebab, ayolah, Lieka, ini tahun baru—oke?”
“Kamu tidak suka diganggu, tapi kenapa mengundangku datang?” Kamu mencibir, lalu tersenyum. “Tapi, oke!”
Lalu, kita menyulut kembang api, membiarkannya berpendar bersama kembang api lain di langit tahun baru. Kamu masih bergumam, barangkali memikirkan hal lain: cara memperlama waktu pendar sebuah kembang api; kiat berubah menjadi ingatan; tips bergabung menjadi keabadian. Aku tidak tahu pasti—bisa saja itu salah satu dari tiga hal yang telah kusebutkan; bisa saja bukan. Akan tetapi, aku tahu pasti … kepalanya selalu dipenuhi pertanyaan-pertanyaan remeh tentang kehidupan. (*)
[1] Seorang ilmuwan terkemuka asal Belanda yang meneliti ekologi virus Antartika.
[2] Seorang penari eksotis dan pelacur yang dihukum tembak mati di Prancis atas tuduhan menjadi mata-mata saat Perang Dunia I.
Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata