Dialog Teras Belakang
By: Reza Agustin
Dua cangkir teh tubruk di meja masih beruap. Gema takbir dan gemuruh beduk kian berdengung di udara. Satu malam lagi menuju hari yang fitri. Sumi mendesah, di usianya yang beranjak senja, tak banyak harapan lagi yang terpanjat tiap tahunnya. Semoga si sulung segera menjadi PNS dan si bungsu segera menikah. Terbayang dua bocah lelaki kecil yang dulu berlari di halaman belakang. Tanpa pernah Sumi hitung, tinggi mereka tiba-tiba saja menyalip Sumi.
Getar rindu itu membuncah, membawa air mata yang belum lama mengering di atas sajadah.
“Bu,” panggil suaminya lirih, “kangen sama anak-anak?”
Sumi kian bergetar, sesak menghantam dadanya. “Ya, Ibu kangen sama mereka.”
“Kenapa enggak ditelepon aja, atau video call. Menangis aja enggak akan bikin mereka pulang.”
Nyeri di ulu hati tiada tertahan. Menangis memang tak akan membuat orang yang ia cintai pulang. Bahkan di atas sajadah sembari menengadah tangan. Sang Ilahi telah berkata demikian.
“Mereka pasti pulang tahun ini, Pak. Enggak seperti tahun-tahun kemarin.” Sumi mengusap wajahnya kasar. Matanya telah membengkak, bahkan sebelum sepasang cangkir itu diisi daun-daun teh kering dan diseduh air panas beberapa saat yang lalu.
“Ya, padahal dulu mereka sama sekali enggak mau pisah sama Ibu. Sekarang udah lupa rumah dan orang tua.” Suaminya mengikuti arah pandang Sumi, pada sebatang pohon jambu air yang enggan berbuah lagi. “Dulu mereka sering memanjat pohon jambu air itu. Petik banyak-banyak lalu dimakan di bawah sana. Kalau udah selesai, sampahnya ditinggal. Ibu sering marah gara-gara mereka.”
Sumi terkekeh, terbayang saat dua jagoan kecilnya masih berusia enam dan delapan. Layaknya anak lelaki yang membawa sifat bandel dan membangkang di aliran darah mereka. Dua jagoan Sumi tumbuh sebagai biang kerok di masa kecilnya. Sering bolos mengaji, meninggalkan surau hanya dengan berkalung sarung dan celana pendek. Baju koko entah ke mana. Lantas mereka akan bergabung dengan anak-anak lain bermain air di sungai.
Tak ada karcis, pun dengan waktu tutup seperti water boom yang baru selesai dibangun tak jauh dari rumah. Waktu tutup ketika para ibu datang membawa pemukul kasur atau hanya bertangan kosong. Untuk apa membawa benda seperti itu kalau tatapan bengis dan jeweran berhasil membuat dua jagoan Sumi menangis meraung-raung. Suaminya akan jadi tempat bagi anak-anak bandel itu menangis untuk kedua kalinya.
Mereka akan menambah bumbu-bumbu bahwa Sumi berubah menjelma menjadi Buto Ijo yang galak. Namun, suaminya mempunyai cara tersendiri untuk membuat anak-anak mereka takluk. Suaminya adalah guru sekolah dasar yang berhati lembut. Jangankan memukul murid, membentak saja hatinya tak kuat. Itu juga berlaku pada dua putranya yang terkenal mbeling.
“Jangan diulangi lagi, kasihan Ibu kalian. Surga itu ada di bawah telapak kaki Ibu, kalau kalian nakal nanti pintunya terkunci. Jadi kalian nanti masuk neraka.”
Sumi tersenyum lebar, dua putranya semakin menjadi tangisnya. Terkadang omelan Sumi tak ada apa-apanya dibanding ceramah suaminya yang justru menenggelamkan hati kedua bocah bandel tersebut.
“Yah, pas kecil nakal begitu, kita sampai heran kalau besarnya nanti jadi apa. Eh, besarnya malah jadi anak yang nurut,” suara suaminya riang. Sedikit membuat dada Sumi melonggar. Ah, tak bertahan lama, baru beberapa detik, lalu kembali sesak.
“Soalnya mereka mau jadi seperti kamu, Pak. Guru sama aparatur negara. Guru yang benar-benar guru. Digugu dan ditiru sekarang mereka benar-benar mengikuti jalanmu. Tapi malah nyasar dan lupa rumah,” imbuh Sumi. Getar dalam suaranya masih kentara.
Kedua putranya tak pernah menunjukkan banyak perubahan sikap di bangku sekolah dasar. Masih bandel dan membuat tekanan darah Sumi meroket. Namun, menginjak bangku sekolah menengah pertama, sedikit-sedikit perilaku mereka berubah. Tak lagi bolos mengaji, menyempatkan diri belajar, bahkan pernah juara kelas, dan tak lagi memanjat pohon jambu air di halaman belakang rumah.
Motivasi mereka tak jauh dari jadi pendidik atau aparatur negara. Masa depan terjamin katanya. Sumi agak tercubit, ia bukan aparatur negara seperti suaminya. Hanya ibu rumah tangga biasa yang menyambi membuat kue. Ada kalanya Sumi ingin mencubit bibir putranya gemas. Tanpa jadi aparatur negara pun kalau tekun pada bidangnya pun, masa depan juga bisa terjamin. Suaminya menanamkan doktrin menjadi karyawan, sehingga pengusaha kecil seperti Sumi tak ada bagusnya di mata kedua anak yang beranjak dewasa tersebut. Walaupun Sumi sudah punya tiga belas karyawan dan sebuah ruko sendiri di pasar.
Sampai sekolah menengah atas pun impian mereka tetap sama. Hingga akhirnya saat di mana si sulung mulai menentukan jalan menuju kehidupan yang baru. Ia sudah jelas memilih perguruan tinggi dengan prodi pendidikan matematika. Sumpah, Sumi paling benci dengan penjumlahan, pembagian, angka-angka, dan kurva tak terbaca itu. Justru si sulung dengan percaya diri memilih menjadi calon guru matematika. Si sulung memang memiliki sifat perhitungan. Si bungsu beda lagi. Lulus sekolah menengah atas, ia memilih mengikuti tes CPNS langsung. Menjadi sipir katanya. Jalan adik lebih bercahaya daripada kakaknya, dalam satu percobaan ia lolos. Mengantongi gelar CPNS dan meninggalkan kakaknya yang masih berkutat dengan teori-teori seputar jumlah, bagi, dan angka-angka.
“Heran, enggak ada yang mau mengikuti jalan Ibu jadi pengusaha kecil. Padahal enak, kan, Bu. Kalau capek tinggal istirahat. Mau libur tinggal tutup pesanan. Enggak kayak Bapak. Sakit aja harus ada izin dokternya,” gurau suaminya.
Kekehan ringan suaminya lantas terdengar. Alih-alih ikut tertawa, Sumi kembali menangis. Air mata mengaliri wajah sejak bertahun-tahun silam. Saat suaminya terjatuh saat sedang mengajar. Stroke, yang katanya sering jadi penyakit orang-orang yang jadi karyawan. Gerak suaminya terbatas. Pergi mengajar pun harus diantar oleh karyawan Sumi. Salah sendiri suaminya yang masih keras kepala ingin mengajar sampai datang masa pensiunnya.
Bahkan setelah masa pensiunnya tiba, suaminya masih memiliki keinginan besar untuk membantu anak-anak yang kesulitan mengikuti les tambahan. Biaya hidup semakin mencekik, begitu pula dengan les yang sifatnya bukan fardu ain itu. Tubuh suaminya yang kian kurus tak lantas membuat kedua putranya pulang. Masih banyak pekerjaan di rantau orang. Hanya si bungsu yang sesekali pulang karena belum memiliki tanggungan untuk dibawa-bawa. Sedangkan si sulung tak pulang dua lebaran ini. Satusnya masih guru honorer, sudah menikah, dan punya satu buntut. Sumi terkadang masih mengirim sedikit bantuan untuk si sulung.
“Kalau Ibu kangen sama mereka, suruh pulang. Jangan sampai telat ngomongnya, kalau udah telat, waktu juga enggak mau kasih kesempatan kedua. Jangan kayak Bapak, ya, Bu.”
Tangis Sumi pecah lagi. Sesak di dadanya tak terbendung. Dua cangkir teh telah dingin. Tangan suaminya pun telah dingin sejak azan Isya berkumandang tadi. Karyawan dan tetangganya mengerubungi tubuh bergetar Sumi di teras belakang rumah. Sejenak gema takbir tergantikan oleh berita kematian.
END
Wonogiri, 18 Mei 2019
Reza Agustin, pecinta kucing dan hallyu. Kunjungi wattpad: @reza_summ08 dan Instagram: @reza_minnie.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata