Dosa dan Dosa
Oleh: Hanifah
“Terkadang, dia lebih suka menjadi sedikit jahat tapi bahagia daripada baik tapi bertentangan dengan isi hatinya. Dia bukan pesinetron yang suka berpura-pura.”
Pay mengatakan itu dengan nada yang sedikit kasar. Membuat Lona merasa bahwa ia memiliki penilaian yang salah terhadap Kania, perempuan yang tengah jadi objek pembicaraan mereka sejak tadi.
“Dengar Pay, kupikir benar sekali apa yang dikatakan orang-orang. Bahwa cinta bisa membuat pandangan kita terhadap seseorang itu kurang objektif. Bahkan sangat tidak objektif.”
“Sekali lagi, kau mengatakan kalimat yang salah, Lona.”
Gadis itu mendengus kesal. Beranjak dari tempatnya duduk dan menaruh sebuah pisau di atas meja.
“Apa yang kaulakukan?” Pay seketika berteriak. Lona berbalik, “Apa?”
Sekali lagi, Pay melihat pisau berlumuran darah tersebut. Pikirannya liar kemana-mana. Mengingat Lona adalah mantan pacarnya dan ia begitu membenci Kania.
“Itu hanya pisau.”
“Dengan darah?”
“Kaupikir apa yang telah kulakukan?”
“Lona!!!”
“Lucu sekali Pay, hidup adalah selalu tentang penilaianmu yang belum tentu benar. Dan aku, bahkan berada di sini adalah kesalahan bukan?”
“Kau gila Lona!”
Seketika, Pay meraih pisau itu dan menarik tubuh Lona. Menancapkannya dengan mantap tepat di jantung perempuan ketururan Eropa tersebut. Ia mengerang sepenuh daya, sebelum akhirnya menarik napas terakhir. Ia ambruk. Gadis itu tak lagi bernyawa.
Mata Pay berkilatan. Seperti menahan amarah yang terlanjur telah tumpah. Pertahanannya sebagai manusia kalah telak. Iblis mungkin tengah mengambil alih kesadarannya saat ini.
Perlahan, Pay ikut ambruk. Terduduk di dekat jasad Lona. Menyesal, iya. Tapi berkali-kali hatinya membenarkan apa yang telah diperbuat. Benar, seharusnya memang seperti ini. Nyawa harus dibalas dengan nyawa. Tapi, apakah benar Lona telah membunuh Kania? Kini bimbang, gelisah, tak tahu harus berbuat apa.
***
“Pay, setiap orang pernah melakukan kesalahan. Bahkan harus. Untuk membuat kemajuan di dalam hidupnya. Untuk menjadi berani.”
Mendengar itu, Pay terisak. Kania belum mati. Ia ada di sini. Mengatakan kalimat bijak yang tak sepenuhnya ia mengerti. Sementara Lona, harus terkubur dengan tak wajar di kebun belakang rumahnya. Kini, ia melihat Kania sebagai seseorang yang mengerikan. Bahkan lebih dari itu, ia takut terhadap dirinya sendiri. Ia ingin pisau. Ia ingin racun. Ia ingin mati saat ini juga.
“Pay, kau tahu? Kau bukanlah satu-satunya, yang membunuh seseorang.”
Pay merenung sesaat, “Maksudmu?”
“Aku beruntung Lona yang menemukan pisau dengan darah temanku, telah kaubunuh. Jadi, aku aman.”
“Apa? Kau gila!”
“Kalau aku gila, lalu kau apa?”
Pay semakin menunduk. Menatap gundukan tanah yang di dalamnya terdapat seseorang yang pernah dicintai dan mencintainya. Seseorang yang teramat baik. Tapi kenapa?
“Ayo, kita bersihkan rumah sebelum polisi datang. Mungkin keluarganya mencari dan melapor polisi. Kita harus punya alibi.”
Pay beranjak. Mengumpulkan seluruh tenaga yang rasanya tinggal sepersekian saja. Ia benar-benar tak ingin berbohong atau lari. Tapi bagaimana?
“Ayo Pay!” Kania membujuk agar Pay bergerak lebih cepat.
Mereka berjalan dengan perasaan yang berbeda. Kania yang takut polisi datang dan Pay yang merasa hidupnya sudah kacau sekarang. Tak ada yang bisa diperbaiki lagi. Pay berhenti. Kania berbalik, menatap heran, “Kenapa Pay?”
“Aku akan menyerahkan diri.”
Kania menatap kecut, “Jangan gila Pay, kalau kau menyerahkan diri, aku akan terlibat. Aku tidak mau!”
“Kita harus bertanggung jawab!”
“Tanggung jawab? Terlambat!”
“Tidak, tidak ada kata terlambat untuk menebus sebuah dosa. Untuk membayar apa yang telah kita perbuat. Walaupun seumur hidup aku harus mendekam di penjara, aku rela. Begitu lebih baik.”
“Lebih baik katamu? Tak ada yang lebih baik untuk orang seperti kita. Tak akan ada kesempatan Pay!”
“Ada. Tuhan melihat kita.”
“Aku tidak bisa Pay,”
“Kita harus!”
Setengah berlari Pay menuju rumah. Ia akan menelpon polisi. Ia sangat siap. Tapi sebelum itu, sebuah hantaman keras terlanjur mengenai kepalanya. Pay runtuh seketika. Di belakangnya, Kania menatap kosong.
“Seberapa besar dosa yang dibuat seseorang, pasti selalu memiliki alasan. Aku membunuh temanku karena ia mengejekku memiliki pacar sepertimu. Kau membunuh Lona karena ia membenciku. Kita punya alasan yang tak bisa dibenarkan. Tapi karena itulah aku bertahan dan bisa hidup sampai sekarang atau sampai nanti. Karena yang tak bisa dibenarkan oleh orang-orang, bisa diterima oleh diriku sendiri.”
Kini, ada dua gundukan yang perlahan akan rata seiring waktu. Sama seperti perasaan bersalah seorang manusia yang akan pudar oleh hitungan jaman. Jika kita tak mendapat balasan untuk perbuatan kita hari ini, mungkin besok. Atau lusa. Atau di kehidupan setelah ini. Alam yang disebut orang-orang sebagai alam abadi.
Tasikmalaya, 2019
Imas Hanifah Nurhasanah. Wanita kelahiran 22 tahun silam ini bercita-cita menjadi penulis sejak kecil. Ia juga menyukai jus alpukat, kucing dan kelinci.
Keinginannya menulis berawal dari kebiasaan sang ibu yang terus memberinya buku bacaan ketika masih di Taman Kanak-kanak. Majalah Bobo, Mangle dan bacaan lainnya.
Motivasi terbesarnya dalam menulis adalah orang tua serta teman-teman yang selalu ada untuknya.
Ia bisa dihubungi via sosial media di facebook: Imas Hanifah N atau Ig: @hanifah_bidam.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata