Di Balik Rupa, Setipis Kasta
Oleh: Evamuzy
Kamu tahu benar, bahwa hatimu adalah pembenci ketidakadilan. Ketika sekelompok pelaku pendidikan zaman dulu saja, ternyata sudah bermain-main dengan janjinya, hanya karena tergiur secuil materi. Oleh rupa, oleh seberapa hektar tanah yang dimiliki para orang tua dari manusia-manusia kecil pembawa tas gendong di ruang kecilnya.
Kamu ingat benar, saat itu dirimu hanya bocah ingusan yang terabaikan. Semakin gersang nyali dan ilmu sebab bapakmu yang hanya seorang tukang angon.
“Bapak tidak bisa memberi makanan enak ke Ibu guru. Atau anting-anting cantik seperti yang pernah diberikan temanku di teras kelas. Jadi saat air minumku tumpah, Ibu guru marah-marah. Aku memang si pembuat ulah, katanya. Lalu disuruh untuk membersihkannya setelah menemukan serbet buluk di gudang belakang. Tidak seperti saat temanku melakukan hal yang sama, Ibu guru segera membelikan minuman baru. Juga saat dia sakit, seluruh teman-teman digiring untuk menjenguknya. Memang benar, di rumah temanku itu, banyak sekali kue yang enak. Tidak seperti di rumahku yang hanya ada nasi kering simpanan Ibu. Mungkin itu alasannya Ibu guru dan teman-teman tidak pernah menjengukku saat penyakit asmaku kambuh.” Sore hari, kamu bergumam lirih, ditemani segerombolan burung pemakan ikan yang terbang pulang dari selatan.
Kamu duduk di dekat kandang kambing milik bapakmu, di atas batang pohon sawo seukuran pelapah pisang yang roboh. Dengan kaki yang luput dari alas kaki. Hingga sesekali menjadi santapan empuk para semut-semut kecil yang nakal. Dengan hidung yang terbiasa dengan bau kotoran kambing–seakan itu hanya bau daun-daun kering–kamu asik menekuri buku paket hasil pinjam perpustakaan. Kamu paling senang melihat gambar organ-organ tubuh manusia, hewan dan tumbuhan, menghafal nama dan fungsinya, juga cara supaya organ-organ tubuh itu bekerja dengan baik dan terjaga.
“Hampir gelap. Tidak pulang kamu, Nduk?”
Suara bapakmu membuat pandanganmu teralihkan. Lalu memasukkan buku-buku ke dalam kantong kain hasil jahitan ibumu. Segeralah kamu melangkah di belakang pria tua berbaju lusuh yang membawa arit dan sepeda onthel bekas.
***
Bertemu malam, gelap dan sepi. Hanya ditemani temaram cahaya lampu minyak yang api kecilnya terlalu sering terombang-ambing oleh angin nakal yang masuk melalui celah dinding gubug rumahmu. Juga nyaring suara pesta pora jangkrik-jangkrik yang mirip anak TK di waktu jam istirahat. Kamu menyelesaikan soal hitung menghitung dengan khusyuk. Sesekali menggosok ujung hidung yang dihinggapi nyamuk, atau menepuk kening saat gigitan serangga itu mulai terasa mengganggu.
“Tidur dulu, Nduk. Sudah malam. Lihat hidungmu, sudah menghitam begitu.” Kalau bukan ibumu, ya pasti bapakmu yang berkata ini.
Orang-orang yang serba dililit kesulitan, dijerat keterbatasan, sampai-sampai cahaya malam saja menjadi harta berharga, noda-noda hitam di pipi, hidung, kening, atau tak jarang di bawah mata adalah bukti kenikmatan menjadi orang miskin. Ya, asap dari api kecil lampu minyak, nakal menempel di wajah sesuka hati. Semacam bedak tabur di pipi bayi.
Bagi kalian, kesengsaraan sudah bukan lagi pahit rasanya. Melainkan, ibarat kalian punya kebun yang hanya bisa ditumbuhi tanaman pare, maka dengan sangat terpaksa–awalnya–itulah yang kalian lakukan. Menanam pare, merawatnya, memanen, lalu menjadikannya lauk saban hari, sebab tak ada satu orang pun yang sudi mengonsumsinya. Mau bagaimana lagi, sudah takdir. Begitu kira-kira mulut-mulut orang yang gemar sekali menyalahkan takdir, berceloteh.
Satu informasi penting–ya, anggap saja ini penting–bahwa kamu, bukanlah anak yang berotak kecil meski bapak ibumu jarang memberi makan lauk ayam atau ikan. Otakmu yang hanya sering diberi makan nasi putih, tempe goreng dan sayur singkong itu masih bisa memecahkan soal teori pitagoras dengan cepat. Bahkan lebih gesit dari si anak pemberi anting-anting ke Ibu guru itu. Namun anehnya, itu tidak pernah berhasil membawamu ke jajaran anak-anak berprestasi di kelas. Ya, sebut saja ranking. Ibu-ibu dari temanmu hobi sekali membicarakan perihal ini di saat akhir semester. Kemudian terbit senyum bangga saat anak-anaknya ada di jajaran terdepan. Saat itu asumsimu sederhana, “Bapak belum bisa memberi makanan enak atau anting-anting cantik kepada Ibu guru. Jadi aku belum bisa ranking seperti teman-teman.”
Sesederhana itu isi otak kecilmu. Namun, tak sesederhana itu perjalanan hidupmu. Akibat buku-buku yang selalu khusyuk kamu tekuni–masih di samping kandang kambing–mengganjarmu dengan perjalanan pulang yang panjang. Pergi keluar kota yang jauh dan merampungkan tumpukkan berkas penting–kali ini benar-benar penting. Memecahkan kasus virus-virus baru, sampai kakimu harus terbalut sepatu mengkilat. Ya, meski itu demi sebuah formalitas pengabdian semata. Kalau boleh memilih, kamu lebih nyaman membiarkan kakimu bebas dari apapun, merasakan angin menerpanya, seperti dulu di samping kandang kambing.
Kamu juga meninggalkan suara lengkingan batuk bapak dan ibumu di gubug yang kini jauh lebih mendingan. Mereka saling mengobati demam dan sesak napas khas orang-orang uzur satu sama lain, sebab anak satu-satunya itu–siapa lagi kalau bukan kamu–sibuk mencari sesuatu yang orang ramai sebut dengan cita-cita. Naif sekali memang dirimu, Orang Miskin.
“Lusa saya pulang, Bu, Pak. Jaga kesehatan kalian dan Ibu tak perlu memasak yang banyak. Istirahatlah saja.”
Membawa mereka berpindah ke tempatmu yang sekarang, sepertinya akan menjadi pertimbanganmu ke depan.
Kamu jelas bukan Malin Kundang yang tega meninggalkan orang tua demi gempita dunia. Kamu tidak sedurhaka itu. Nyatanya, lusa benar-benar kamu mengemasi peralatan di ruanganmu. Mengunci pintunya, kemudian berjalan menuju kendaraan beroda empat yang setahun ini kamu miliki. Sebelum benar-benar meninggalkan bangunan kecil itu, kamu berdiri di depannya. Menengadah, memandangi tulisan di bagian paling atas bangunan itu.
‘Klinik Sehat Bersama’
Bangunan kecil tempat semua kalangan masyarakat bisa mendapatkan layanan kesehatan secara cuma-cuma. Sebab bagimu yang bukan lagi anak muda, hidup bukan hanya tentang sibuk membedakan status miskin dan kaya. Lalu memikirkan perilaku yang tepat untuk membuat eksistensi dari yang lebih tinggi semakin kentara saja. Bukan, bukan itu. Melainkan tentang perilaku yang adil, tulus, tanpa memandang status kasta. Pengabdian untuk sesama manusia. Kamu mengerti itu, meski dirimu tak mendapat kesempatan menjadi seorang Ibu guru. (*)
Evamuzy. Penulis amatir dari Brebes, Jawa Tengah. Anti sama semua jenis makanan berprotein tinggi. Terlebih susu dan makanan laut.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata