Memories
Oleh: Heuladienacie
Dulu, tak ada nisan putih bertuliskan namanya di situ.
Dia masih di sampingku.
Masih dapat ku dengar tawanya.
Masih dapat kurasakan genggamannya.
Semua antologi rasa, ada saat dia bersamaku.
Waktu… salahkan ia!
Yang menggiringnya masuk melewati gawang tak berjaring. Perjalanan panjang. Peristirahatan tanpa mimpi.
Aku berdiri di sini menata bunga dandelion kesukaanmu, agar makammu tak kekurangan cantiknya, selayaknya dirimu dulu.
***
Takdir kadang dapat begitu kejam, begitu pun dapat sangat berbelas kasih. Mungkin bila ia dilahirkan menjadi seorang time traveler, lakon ceritanya tidak akan seperti sekarang. Ia tak akan seperti plafon miring kehilangan keseimbangan. Ia mungkin akan dengan mudahnya kembali menjajaki masa silam dan mengulang momen yang tak akan pernah ia dapatkan.
Potret tua itu berbicara kepadanya. Melalui kata-kata jiwa yang melantun pada bait-bait nostalgia. Pamannya yang tersenyum rembulan, bibinya mengenakan bros berlian, ayah mertuanya yang mengulum kekesalan, dirinya, dan seseorang yang masih membuat hatinya kebas setelah sekian lamanya. Belasan tahun silam, foto itu diambil saat akad nikah di rumahnya. Alangkah utuhnya kebahagian ketika itu.
Kini, semua momen yang pernah ia rasa pada masa lalu, hanya dapat terlipat menjadi satu kesatuan bernama kenangan yang termakan usang.
“Dirga.” Pandangannya beralih pada pria berdasi yang berkacak pinggang di pinggan pintu. Helmi, sahabat karibnya sejak SMA.
“Belum pulang?”
Ia menggeleng dan kembali menatap teriris-iris kerinduan pada frame foto dalam genggaman.
“Mau sampai kapan kamu begini? Sudah tujuh tahun berlalu sejak….”
“Aku baik-baik saja.”
“Bro, Kau memang butuh pengganti.”
Kata-kata yang mulai sering ia dengar belakangan, setelah Nana memergoki kehidupannya yang semakin mirip mayat hidup. Tak payah hidupnya perlu diatur-atur. Biar, ia ingin merasakan luka ini lebih lama. Ia pun ragu akan ada kepingan sama yang serasi dengannya.
“Kau ni masih muda, Dirga. Menikahlah. Adila juga pasti menginginkan kau dapat menjalani hidup normal dan bahagia.”
Akan tetapi, definisi kata bahagia dalam kamusnya, bukan dengan melupakan cintanya.
“Mau bercerita?” Dengan cepat Helmi beralih topik, ketika dilihatnya kerutan dahi Dirga semakin banyak.
Ia tersenyum sekilas, menggeleng sebagai jawaban. Helmi menyerah, berkata akan menelponnya nanti.
Dan kesepian kembali menyergap. Di ruangan yang hanya tersisa dirinya bersama tumpukan pekerjaan yang tak ingin cepat-cepat ia habiskan.
Anggaplah sebuah pelampiasan untuk menjaga kewarasan.
Kerlip notifikasi mengalihkan perhatiannya, pesan dari rumah. Ia membaca sekilas dan langsung membereskan meja. Ia perlu cepat pulang malam ini. Setelah memastikan beberapa pekerjaan yang dapat dikerjakannya di rumah ia bawa, bergegas dirinya menuruni tangga, mencapai gerbang, dan berpamitan dengan satpam penjaga.
Nana sakit. Satu lagi masalah yang harus ia hadapai. Neneknya yang mulai sering sakit-sakitan, dan ketiadaan keluarga lain selain dirinya yang paling dekat. Setelah tujuh tahun lalu, ia memilih untuk tinggal dengan neneknya dibandingkan kembali pada paman dan bibinya yang telah membesarkannya selama ini.
Dirga tak menyadari berapa lama ia melamun hingga sampai ke halte sekitar 200 meter dari sana. Lalu lalang kendaraan mulai surut, seiring gelap malam semakin pekat. Hanya sekitar empat orang yang menanti bus sepertinya.
Kenangan masa silam itu datang tiba-tiba, menyelinap bagai hantu, menginginkan temu, namun, Tuhan tak mengabulkan. Seperti sebuah simfoni yang meremas halus jantungnya, membunuhnya secara perlahan.
Berapa lama kali ini ia melamun? Hingga tersisa hanya ia seorang diri.
Nana menanti, ia menguatkan alasannya untuk kembali. Tepat lima menit kemudian, bus yang akan membawanya datang. Lima belas menit ia habiskan juga dengan menatap ke luar jendela, mengamati hiruk pikuk kota sepulang kerja
Ia memilih turun di persimpangan halte dekat rumah. Tak sengaja bertubrukkan dengan seseoranga wanita bertopi fedora. Ia memungut kliping berkas yang terjatuh. Tak jauh, ia melihat ada handphone tergeletak tak jauh dari sana. Dirga terlambat mengembalikan, sesaaat bus melaju membawa wanita itu hilang dari pandangan.
Ia mendesah, memungut handphone jadul keluaran entah tahun berapa. Ia heran sendiri, karena tak ada lagi yang menggunakan handphone semacam ini. Ia memeriksa, siapa tahu ada seseorang yang dapat ia hubungi. Hanya ada satu nomor yang ia temukan dalam kontak.
Ia berjalan sembari mengecek kembali dan memutuskan akan menelpon pemiliknya esok pagi. Kali ini, ia kirimkan saja pesa singkat untuk memastikan.
Tau-tahu ia telah sampai. Rumah kuno berwarna cokelat kayu khas, berhalaman luas. Suara tawa terdengar, begitu ia berada di ambang pintu masuk. Itu suara neneknya.
“Assalamualaikum. Aku pulang.”
“Wa alaikum salam.” Disambut berbarengan.
“Dirga, kamu sudah kembali, Nak. Sini duduklah. Ada Ruwi datang berkunjung sejak sore.”
“Nana seharusnya tetap di ranjang jika tak sehat.” Dirga berlutut, mencium tangan dan memberi kecupan di pipi kepada wanita renta yang masih tersenyum teduh itu.
“Siapa yang tak sehat? Nana sehat.”
Dirga memecing pada Ruwi yang menahan tawa. “Ruwi yang memintaku pulang cepat. Dia bilang Nana kurang sehat.”
Ruwi menggosok tengkuk sambil cengengesan. Beralih memberi tatapan sungkan pada Nana.
“Maaf deh, Bang Dirga. Itu, ya supaya Abang pulang lebih cepat. Eh, ini mulur juga.” Ruwi tertawa setelahnya.
“Hmm, bikin khawatir tahu enggak,” Dirga mencebik, tak suka dengan cara Ruwi yang serampangan menggunakan alasan.
“Sudah sudah. Ruwi mungkin bermaksud ingin menghabiskan waktu lebih lama sama kamu. Sudah lama kalian tidak ketemu” Ruwi habya menggut-manggut, masih belum kehabisan tawa. “Kamu sudah makan, Nak? Ruwi bawa banyak makanan. Kamu ganti baju trus makan gih.”
Dirga menjotos kepala Ruwi sebelum memasuki kamar. Ia masih mendengar teriakan heboh Ruwi. Bergegas ia mandi dan mengganti pakaian.
“Bang Dir, jangan lama-lama! Ntar keburu dingin gak enak!”
Dirga geleng kepala dengan kecerewetan sepupunya itu. Ia membereskan barang-barang setelah berganti kaus longgar dan celana santai. Sebuah ponsel terjatuh saat ia hendak menggantung pakaian kerjanya. Ia menghidupkan layar, ada notifikasi balasan pesan masuk.
[ Adek:
Dirga?]
Dirga mengerjap terkejut. Bagaimana bisa orang itu mengenali namanya? Ia meletakkan handphone itu tanpa membalas. Sesaat kemudian, layar kembali menyala, memperlihatkan nama Adek menelpon. Ragu-ragu Dirga mengangkatnya.
“Ha-hallo.”
“Dirga, ini benaran nomor kamu, ya? Akhirnya, aku gak kena prank si Franka lagi.”
Mata Dirga seketika membola. Siapa wanita ini? Kenapa… kenapa suaranya begitu mirip. Dirga menggeleng. Halusinasinya kembali, ini mungkin karena dia terlalu lelah.
“Maaf, ini siapa?”
“Astaga, Baby Hui pake sok gak kenal!”
Jantung Dirga seketika menggila. Hanya satu orang yang ia kenali memanggilnya dengan nama itu. Dan dia adalah….
“Kamu siapa? Jangan mempermainkan saya!”
“Aduh, masih aja suara teriakannya paling gede. Ini gue, Dila. Eh, jangan lupa bawa kodoknya buat praktikum besok, ya!”
Gila. Ini gila! Dirga tidak bisa lebih terkejut lagi. Dila? Dila siapa? Jangan katakan… jangan katakan!
“Kamu siapa?!” Air mengalir melewati pipinya. Ia menyeka dan tertegun. Mengapa ia menangis? Siapa gadis ini?
“Lo kenapa, sih? Lagi galau?” Dirga terisak, air matanya menderas. Ia menggigit bibir agar tak lebih jauh menangis. “Hallo? Dir, lo masih di sana? Besok gue bawain deh maka siang. Tapi jangan lupa kata sandinya. Adila imut bawain makan siang gue, ya! Hihihi.”
Dirga tak dapat membendungnya lebih lama. Ia membanting ponsel terkutuk itu ke atas ranjang.
Tida mungkin. Tidak mungkin itu Adila. Apa ini? Siapa yang ingin bermain-main dengannya?
Handphone itu kembali berbunyi. Dirga menatap ngeri. Ia harus memastikan terlebih dahulu siapa orang itu. Nanti, ia akan membuat perhitungan karena membuat suasana hatinya benar-benar hancur.
“Dengar, saya tidak suka dipermainkan. Adila sudah… sudah tiada. Jangan memepermainkan saya! Katakan dengan jelas, kamu siapa?! Apa mau kamu?!”
“Ya ampun Keterlaluan banget loh doain gue mati! Anjirrr! Astaga, bener-bener! Awas aja loh ketemu besok, gue–“
Mati. Dirga mematikan sambungan. Ia terduduk lemas memandang kosong pada handphona dalam genggamannya. Beralih sebelah tangannnya menggapai foto di nakas samping tempat tidur. Foto pernikahan mereka.
Adila.
Apa ini? Rasanya sesak sekali. Ia tidak bisa bernapas.
“Dil, kenapa begini? Kenapa harus begini, Dil. Diiil… Dila. Adilaaa! Adilaaa!”
Teriakan Dirga membuat seisi rumah tergopoh-gopoh memasuki kamarnya.
“Dirga!”
Ia melihat semua orang mendekat, sebelum kesadarannya menghilang. (*)
Heuladienacie, seorang penulis amatir yang masih terus belajar mengembangkan tulisannya. Pernah beberapa kali tergabung dalam beberapa antologi. Wanita 23 tahun penyuka cokelat dan kucing ini bisa ditemui di akun Line, Ig, Wattpad: @heuladienacie
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata