Crush of the Wall (part 2)

Crush of the Wall (part 2)

Aku terjebak ke dalam lingkaran gelap kedap udara. Sesak nafas. Rasa panik menggerayap seperti semut-semut berbaris. Panik bukanlah pilihan tepat, hanya akan mempercepat kematianku.

Aku menghirup udara sedapat kuraup. Bau amis darah mendominasi. Tubuhku bergetar semakin panik.

Tidak! Oh Tuhan, apa yang harus kulakukan.

Aku mencoba tenang di antara kekuatanku yang mulai habis, juga napasku yang semakin menipis. Jelas aku tak akan selamat. Aku akan mati! Aku tak ingin mati seperti ini. Apa yang harus kulakukan? Apa?!

Kurasakan sesuatu mengalir melewati pipi hingga menetes ke pakaian yang mungkin saat ini telah berubah warna. Aku menangis? Sebenarnya, menangis juga bukan pilihan tepat. Aku akan tersengal dan semakin kehilangan napas. Hal itu juga akan berimbas dengan keberlangsungan hidupku. Aku harus mendapat ketenangan yang kurasa mustahil dapat kukendalikan saat ini.

Tanahku berpijak bergetar seolah terkena gempa bumi dadakan. Kurasakan dinding-dinding itu bergerak mendekat, merapat, berhenti beberapa centi, sebelum bergerak kembali sampai jaraknya hanya setengah hidung bangirku.

Pada akhirnya aku menangis dengan putus asa. “Tolonglah siapapun. Katakan padaku apa salahku?!”

Dinding-dinding itu bersuara, tertawa terbahak-bahak.

“Kau percaya sekarang?” sahut suara lain. Aku mengenalinya.

“KAU H! DI MANAPUN KAU BERSEMBUNYI, AKU TAK KAN MEMAAFKANMU! HENTIKAN OMONG KOSONG INI. KELUARKAN AKU DARI SINI!”

Aku menggeram. Memukuli dinding membabi buta. Gagal. Berakhir sia-sia. Aku tersengal-sengal. Lalu, kebingungan karena dadaku seolah teremas.

“Jawab saja, apa kau percaya?”

Aku mengutuk anak itu seumur hidupku. Aku bersumpah akan membalasnya jika berhasil keluar dari sini. Jantungku sudah hampir mengkerut. Tenagaku hanya tinggal satu kedipan mata.

Apa semua ini akan berakhir begini?

Aku menjawab dengan lantang masih berteguh di sisa napasku. “TIDAK!” Jika aku menyetujuinya, dia mungkin akan semakin menggila.

Ini pasti hanya mimpi, sungguh hal itu yang ingin kupercayai, meski akalku mengatakan ini adalah realita. Yang kuharapkan adalah ketika aku bangun, aku berada di ranjang kesayanganku, dan ibu telah memasakkan makanan kesukaanku.

Dengan tiba-tiba, aku merasakan getaran. Dinding-dinding menangis, merintih, berteriak, memaki. Aku tak dapat mendengar lagi. Setitik cahaya menjajaki. Semburat retakan memanjang, retakan-demi retakan meluas.

Byarrr! Aku menutup mata dari serpihan dinding yang hancur, selayaknya diledakkan dengan bom atom.

Terdengar suara lirih, “Kau membangkitkan Hades kembali.”

 

***

 

Aku membuka mata. Mengerjap beberapa kali, menyesuaikan diri dengan cahaya menyilaukan di balik sela-sela jari. Entah bagaimana bisa, diriku berada di sebuah ruangan dengan banyak orang keluar masuk berpakaian rapih. Kulihat Geby menyapaku dari kejauhan.

“Kau bilang akan sedikit terlambat? Kau datang tepat waktu Mister Tampan.”

Geby menarik tanganku, mengajakku masuk lebih dalam. Aku mengamati diriku yang bersih tanpa noda dengan pakaian pesta. Ini adalah Prom Night yang dinantikan. Semua orang berpakaian indah, cantik dan tampan. Mereka bercengkrama, tertawa, berdansa tanpa beban.

“Entah kenapa aku merasakan hal yang buruk menguntit di belakangmu.”

Geby memperhatikan dengan saksama di balik punggungku. Tak menemukan apapun, dia mengajakku berdansa.

Ini semua hal yang kuinginkan, tetapi mengapa semua terasa salah. Bukannya menikmati, batinku was-was mengamati. Hades tak ada di sini. Kemana jelmasan iblis itu bersembunyi.

“Yang harus kau lakukan adalah terbebas dari belenggu. Hadapi! Jika, dinding itu lebih tinggi, maka bangun dasar dindingmu lebih tinggi lagi.”

Geby mengejutkanku dengan spontanitasnya. Dia aneh.

“Oh, apa yang baru saja kukatakan. Maafkan, aku terlalu terpengaruh dengan bacaanku.”

Aku tak yakin itu hanya bacaan, atau mungkin sebuah petunjuk?

Lantunan musik walls berhenti mengalun. Seorang guru mengetuk mix untuk meminta perhatian. Belum beberapa detik berlalu, tiba-tiba suasana berubah mencekam.

Guru tadi menjerit dengan lengkingan awal sebuah melodi kematian. Sebelum memulai babak baru, tercecer di hadapanku. Siapa yang berada di dekat panggung, menjerit dengan nada pilu, kejang-kejang, dan segera terbujur kaku dalam sekejap.

“Aaaaa!”

Semua orang berteriak, memekik dengan ritme menyakitkan. Memukul-mukul dada mereka dengan ekspresi kesakitan tak terperi. Mereka mengambil pisau pemotong, menancapkannya di bagian yang sakit berulang kali. Kelegaan terpancar dalam ekspresi mereka. Mereka menusuk untuk mengurangi rasa sakit.

Aku menahan dorongan isi perutku yang bergoncang. Menggenggam erat kendali Geby, satu-satunya sahabat yang ku punya. Tidak akan kubiarkan!

Serangan datang dari arah belakang. Seorang menusuk punggung Geby.

“Ini akan mengurangi rasa sakitmu.”

Geby memekik, terkulai lemah dipundakku kemudian tumbang ke lantai.

“Tidaaak! Geby! Bangunlah Geby! Bertahanlah!”

Dia tak bernapas, tubuhnya membiru dengan cepat. Rahangku mengetat. Ini keterlaluan!

Aku mengamati sekeliling. Mereka mencabik, mencakar, menusuk. Tak ada keanggunan pesta dansa, semua berubah menjadi ajang predator memangsa. Darah tercecer dimana-mana. Potongan tubuh tak lengkap, terlempar, terinjak seolah hanya mainan belaka.

“Hentikan!!!”

Aku mendapati penampakan Hades dengan jaket hoodie hitam dan penampilan hitamnya.

“Harusnya kau datang mengenakan baju hitam alih-alih putih untuk datang ke pemakaman.”

Darahku sudah naik ke ubun-ubun. Aku menyerangnya dalam sekali pukul, ia melesat, tak tersentuh, dan masih berdiri dengan pongahnya.

“KAU PEMBUNUH! APA YANG SEBENARNYA KAU INGINKAN?!”

Dia menyeringai.

“Lihat aku!”

Aku tak menuruti, tapi sepintas mendapati hal mengejutkan. Kakinya tak berpijak pada tanah!

Aku menatapnya dengan binar ragu dan goyah. Dia mendorongku menjauh.

“Kau yang membunuh mereka. Lihat!”

Aku menyaksikan diriku dengan pakaian yang sama, menyeringai, membantai mereka membabi buta.

“Tidak! Itu bukan aku!”

Hades mengulurkan jari tangannya, menampakkan jaring-jaring tali menghubungkan setiap tubuh, yang akan putus jika salah satunya mati.

“Mereka hanya mainan, dan aku menginginkanmu.”

“TIDAK!”

Aku memutar langkah meski semua hal yang terjadi membuat darahku surut, tubuhku gemetar. Aku berlari dari kejaran Hades. Dia tak dapat menyentuhku, dia tak akann menyentuhku.

“Percuma kau berlari. Takdir mereka akan sama, mereka akan mati, meski bukan dengan cara ini.”

Aku berlari semakin kencang, tak tentu arah ke mana kakiku akan membawa. Jauh darinya. Sejauh-jauhnya.

Terbebas dari belenggu

Menghadapi

Membangun dinding lebih tinggi

Perkataan Geby terngiang kembali

Aku harus terbebas dari belenggu ilusi. Kakiku melangkah hingga sampai ke tembok bata berdarah. Rasa merinding menyergapku. Suara isakan, rintihan, tawa, pekikan di baliknya, yang selalu kuabaikan selama ini.

Aku menenangkan tabuhan jantung yang kian menggila, mencoba menyentuhnya.

“Biarkan aku mengurangi rasa sakit yang membelenggu. Biarkan aku kembali dan memperbaiki.”

Dinding itu bergetar, mengeluarkan pusaran hitam menyebar. Menarikku masuk kedalam pusaran kegelapan dengan suara-suara memilukan.

“Hades tak kan melepasmu dengan mudah. Kau membangkitkannya. Dia menginginkan tubuhmu untuk kesempurnaannya. Dia tak bisa menyakitimu, karena kau satu-satunya yang tak percaya. Hanya ada satu cara… hancurkan dindingnya!”

Aku mendengr dengan saksama, lidahku seperti dipotong, kelu. Dan kembali tersadar seolah terbangun dari mimpi. Kembali ke masa, dimana aku melewati jalan ini, menatap jariku di penuhi noda darah dan dinding bata yang masih tegak berdiri.

“Hancurkan dindingnya!”

Aku menggeram. Merasakan dorongan kuat perasaan menghancurkan yang membuncah. Tangan dan kakiku bergerak mencakar-cakar, menendangnya. Tembok itu tetap kokoh berdiri.

Aku membutuhkan alat bantu untuk memudahkan pekerjaanku. Tak jauh pandang, aku menemukan sebuah palu pemecah batu. Aku mencari titik vulneralnya, memukul dengan sekuat tenaga. Isakan, tangisan, rintihan terdengar pilu, namun tak dapat menyurutkan amarahku.

Hades muncul secara tiba-tiba, setelah beberapa saat menghilang. Sorot tajam membunuh terpancar dari matanya. Luka menganga di dada, kulitnya mengelupas seperti kertas.

“KAU PEMBUNUH!!!” Dia berteriak. Menyerangku dengan kekuatan kinesisnya.

Aku terjengkang dengan kuat ke belakang. Aku bangkit. Dia mendekat, memukulku lagi, dan meencoba merebut palu itu dariku.

Aku memukul kepalanya dengan keras. Tengkoraknya pecah dan hancur, seperti balon yang meletus, isinya berhamburan menciprati wajahku. Kehilangan keseimbangan, dia tersungkur ke tanah. Darahnya beriak-riak, menggumpal, perlahan menyusut kembali membentuk wajah.

Ini kesempatanku. Aku bangkit segera, dengan tubuh bergetarku, menghancurkan dindingnya lagi. Susunannya sudah setengah jadi, saat Hades telah bangkit dari kematiannya.

Ia mengaum dengan buas. Matanya merah nyalang, tubuhnya tak berbalut kulit, kuku-kuku memanjang dari sela-sela jarinya.

“KAU HARUS MATI!!!”

Aku masih terus menghancurkan dinding. Hingga tersisa bongkahan terakhir untuk merubuhkannya. Dia menusuk punggungku menembus dada. Darah mengucur deras dari lubangnya . Dengan sisa akhir tenagaku, aku memukul bongkahan terakhir. 

“TIDAAAK!”

Dinding itu hancur, berguguran. Serpihannya menimpaku. AAku merasakan sesuatu keluar dari lubang punggung lukaku.

Dia telah berada di hadapanku, menatap dindingnya terakhir kali, sebelum tubuhnya mengering, terbakar menjadi abu yang di bawa angin.

Di balik dinding itu, ada tengkorak manusia yang telah lama dikurung. Bentuk wajahnya mengungkap kesedihan.

Apa dia Hades?

Aku berharap dapat menguburkannya dengan layak. Meraih dan mengumpulkannya dalam dekapanku. Rasa sakit menghujamku. Aku tak dapat bertahan lebih lama, atau hanya sekedar memperingatkan mereka.

Bersamaan dengan redupan cahaya, aku melihatnya. Anak itu tersenyum untuk pertama kalinya, berucap “Terima kasih” tanpa suara.

Sekejap sebelum menutup mata, aku mendapati seringai yang sama, dengan sebuah tawa mengerikan.

Tirai diturunkan, kegelapan menyelimuti. Aku tertidur dengan nyenyak menuju kematianku sendiri.

***

~End~

Heuladienacie, seorang penulis amatir yang masih terus belajar mengembangkan tulisannya. Pernah beberapa kali tergabung dalam beberapa antologi.  Wanita 23 tahun penyuka cokelat dan kucing ini bisa ditemui di akun Line, Ig, Wattpad: @heuladienacie

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

 

 

Leave a Reply