The Darkest Side (Part 2-When the Fear Come)
Oleh: Hilda
Apa ketakutan terbesarmu?
Berada di sebuah daratan kosong tanpa nama. Sendirian. Kesepian. Ketakutan. Tidak ada lagi orang yang dapat kamu jumpai selain bayanganmu sendiri.
Kamu menginginkan pengakuan akan keberadaanmu, namun kamu juga menghancurkan apa yang menghalangimu.
Ada monster di dalam dirimu. Esensinya bertambah besar dan besar. Setiap kali kamu terjaga, ia akan datang. Mengalahkanmu. Dan orang-orang di sekitarmu akan lenyap, meninggalkanmu bersama ketakutan terbesarmu.
***
Aku tidak akan pernah mengatakannya.
Apa yang telah kuhabiskan selama ini. Pengalaman mengerikan yang kuamati. Mengendap ke dasar, dan tak akan pernah muncul lagi.
Aku tidak akan mengatakan pada Rin, dari mana aku mendapatkan uang untuk menghidupinya. Bahwa aku telah kehilangan segalanya. Masa mudaku, hidupku, bahkan harga diriku.
After that-nya adalah bahwa kami harus kembali menghirup debu jalanan setelah tiga tahun menjalani kehidupan normal.
Si tua Go Seok tak ingin ikut campur. Ia takut bahwa cerita Rin akan membuat masalah pada usahanya.
Jalan terbaik, adalah pergi. Atau, bisa kukatakan bahwa wanita itu mengusir kami. Di tengah malam berguntur dan hujan deras yang mengguyur tanpa makan malam dan selimut tebal.
Ae Ra, wanita kharismatik yang kemudian meminta kami hidup bersama. Takdir membawa kami bertemu dengannya secara tak terduga. Dia bahkan memberikanku sebuah pekerjaan.
Wanita berusia 28 tahun itu memiliki seorang putra seumuran Rin. Dia adalah seorang hooker elite di daerah itu. Langganannya orang-orang mafia juga beberapa petinggi desa, katanya. Salah satunya memberikanku pekerjaan sebagai cleaning service, karena Ae Ra tidak ingin aku menjadi sepertinya.
Dia tidak tahu.
Dan hanya aku yang tahu.
Kami hidup bersama dalam satu rumah. Makan dan minum bersama. Seperti keluarga, tanpa pria. Ae Ra bercerita bahwa ia ditinggalkan pacarnya, hingga melahirkan Jin Gong di usia muda. Aku dapat melihat gurat kerja keras dan beban yang harus ditanggungnya. Ia sudah terlanjur tidak dapat mempercayai ada yang dinamakan pria baik. Ia sendirian dan mendapat nasib buruk hingga berakhir seperti sekarang.
“Aku tidak tahu bagaimana harus membalasmu. Selama setengah tahun ini, telah banyak membantu kami.”
“Kau sudah kuanggap seperti adikku sendiri, Akira-ah,” Ae Ra berujar tulus. Aku menggenggam tangannya. “Hiduplah dengan baik. Itu adalah permintaanku.”
Setelah begitu lamanya, kehadiran Ae Ra seperti oase di tengah gurun. Membawa kami dari landang tandus menuju pada pelukan selimut yang nyaman.
Pekerjaanku yang baru lebih fleksibel, sehingga aku bisa lebih sering menemani Rin. Hasilnya akan kuberikan pada Ae Ra untuk ia kelola sebagai kebutuhan sehari-hari, meski wanita itu seringkali menolaknya.
“Rin-kun, aku akan berangkat!”
Rin mengangguk dan kembali asik dengan anak Ae Ra, Jin Gong.
Rin… dia mulai bermain bersama. Rin berbisik bisik dan membuat anak itu tertawa senang, meski wajahnya sendiri tidak berubah dan tetap datar. Aku merasa bahagia Rin akhirnya mau membuat pertemanan. Rasanya, sudah terlalu lama anak itu menanggung kesedihan.
“Jangan terlalu jauh main di luar. Belakangan ini sedang banyak penculikan terjadi.” Ibu Shin Ae memperingatkan keduanya.
Tetangga paruh baya seumuran Eomma yang sering mentraktir Rin makan. Lebih lanjut, ia bergosip sedikit tentang beberapa anak hilang di daerah ini. Yang sejujurnya membuatku sedikit cemas.
Desas-desus tentang penculikan semakin santer terdengar, beberapa bahkan telah sampai ke media. Di tengah kecemasanku yang melarang Rin bermain di luar sampai keadaan membaik, masalah baru kembali datang.
Seperti sebuah pohon, semakin besar pohon tumbuh, semakin kencang angin yang meniup. Hubunganku dengan Ae Ra pun memburuk.
Pernah suatu hari, aku memergokinya memarahi Rin, dan bahkan terang-terangan mengakui ketidaksukaannya di depan Rin.
“Jin Gong! Sudah Eomma katakan jangan dekat-dekat dengan anak ini!” Ia menyeret Jin Gong menjauh dan memberi Rin tatapan sinis.
Aku tidak mengerti pada awal permasalahannya. Bukan hanya sekali, aku melihat hal itu terjadi.
Rin setiap kutanya hanya menjawab. “Salahku. Itu semua salahku.” Lalu, dia tidak pernah lagi mau membahasnya.
Puncaknya, adalah pada saat Ae Ra mengatakan akan berpindah tempat. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Apa yang sebenarnya terjadi?
Rin tak memberiku jawaban cukup. Ae Ra tak ingin aku membela.
Aku mencari jalan keluar yang akan meredamnya. Rin apapun salahnya dia tak akan menganggu Jin Gong lagi. Padahal kukira hubungan pertemanan mereka baik-baik saja, tetapi Ae Ra memiliki pemikiran sendiri.
Dua hari sebelum festival kembang api, tidak biasanya Rin mengajakku untuk datang. Aku meminta izin cuti untuk memberikan quality time bersamanya. Rin terlihat bersemangat, meski sekali lagi, wajahnya tetap tak berubah.
“Apa kau senang, Rin?” Rin tak menjawab secara langsung, namun antusiasnya telah berbicara.
Malam semakin larut, dan euforia kesenangan masih meliputi kami. Rin mengajakku pulang setelah puas melihat percikan kembang api warna-warni di atas langit. Kami memilih jalur melalui jembatan.
Pikiranku, sejujurnya masih penuh, dan aku merasa ini adalah saat yang tepat untukku berbicara intens dengan Rin.
Rin berhenti berjalan dengan tiba-tiba. Aku mengikutinya.
“Onechan.” Aku terkejut karena Rin yang memulai percakapan.
“Hmm?”
“Maafkan aku. Aku telah menjadi beban untuk Onechan.” Rin menunduk, menyembunyikan wajah. Aku tertegun, Rin mengatakan hal seperti itu.
“Rin, apa yang kau katakan. Tidak ada yang menganggapmu begitu.” Aku mencoba menyejajarinya. Wajah Rin dalam keremangan terlihat sedih. “Rin-kun adalah hidupku. Satu satunya keluargaku yang berharga.”
Rin hanya diam. Apa yang sebenarnya ia pikirkan?
“Jangan khawatir. Semua akan baik-baik saja.” Aku menepuk-nepuk lengannya untuk meyakinkan.
“Mmm, Onechan… mau membelikan kembang gula untukku? Janji, ini adalah permintaan terkahirku. Aku tidak akan menyusahkanmu lagi.”
Dan sebuah keajaiban terjadi. Rin tersenyum.
Aku tak dapat mempercayainya. “Kau tersenyum?” Kubelai wajah Rin lembut. Ekspresi ini yang kurindukan selama tiga tahun kami hidup tanpa Eomma.
Ya Tuhan, adikku tersenyum!
“Aku akan membelikannya. Berapa pun yang Rin inginkan, ya. Jangan berkata begitu. Kau bisa mendapatkannya sebanyak yang kau mau. Tunggulah di sini, Onechan akan segera kembali.”
Lantas, aku berlari untuk memenuhinya.
Rin tidak pernah meminta, baik kepada ibu maupun padaku. Aku pasti akan bisa membahagiakannya. Pasti akan kupenuhi semua keinginannya. Pasti.
Bayangan keharuan dan Rin yang melompat kegirangan nyatanya tak pernah terjadi. Aku menjatuhkan kembang gula dalam genggaman, setelah mendengar teriakan seseorang. Ada banyak orang di pinggir jembatan.
“Ada anak yang tercebur ke dalam sana! Cepat panggil polisi!”
Aku melihat ke sekeliling. Mencari cari sosok Rin di antara mereka. Rin tidak terlihat. Di mana? Di mana Rin? Apa dia bersembunyi? Apa dia ketakutan? Apa yang terjadi?
Aku menguak kerumunan, meneriaki mereka yang menghalangi jalanku.
“Permisi. Permisi, Ahjussi!” Mereka akhirnya menanggapi pertanyaanku. “Aku sedang mencari adikku. Apakah… apakah anak yang tercebur berpakaian kuning dan mengenakan celana cokelat? Apakah Ahujussi benar benar melihat anak itu terjun?”
Tidak. Jangan beri aku tatapan itu. Aku menatap ngeri wajah-wajah yang memandangku dengan simpati.
“Aku tidak tahu apakah itu adikmu. Saat itu aku sedang melintas. Karena mendengar suara tangis, tak lama kemudian terdengar suara tercebur, aku mendekat, dan sempat melihat anak berkaus kuning yang hanyut terbawa arus.”
Tidak mungkin.
“Tidak mungkin! Anda pasti salah! Rin pasti… ah, Riiin! Riiin!”
Aku menangis histeris. Beberapa orang mendekat mencoba menenangkanku. Aku menepisnya, mendekat ke pinggir jembatan. Gelap. Yang kulihat hanya arus deras yang terindikasi membawa tubuh Rin menjauh.
Kekuatanku langsung habis, aku tersungkur ke tanah. Rin tidak mungkin melakukan hal bodoh. Tidak mungkin!
Semua salahku. Seharusnya aku tidak meningalkannnya. Seharusnya aku meyakinkannya. Aku tak pernah tahu bahwa Rin merasa seperti itu. Ini semua salahku. Seharusnya aku bisa merawatnya lebih baik, membelikannya lebih banyak makan enak, pakaian yang layak. Sekarang Rin pergi. Pergi hingga aku tidak akan pernah menemukannya kembali.
Aku berlari. Rin mungkin sudah pulang dan orang-orang itu mungkin salah. Ya, Rin mungkin telah pulang dan anak itu bukan adikku.
Aku mencari Rin, namun adikku tidak di sana.
Aku hendak mengabari Ae Ra, namun wanita itu juga tak ada. Banyak barang jatuh berserakan. Seluruh barang-barang Ae Ra lenyap.
Ae Ra pergi.
Dan aku kembali sendiri.
Seminggu kemudian, jasad Rin yang membusuk ditemukan.
Aku benar-benar luluhlantak.(*)
Heuladienacie, seorang penulis amatir yang masih terus belajar mengembangkan tulisannya. Pernah beberapa kali tergabung dalam beberapa antologi. Wanita 23 tahun penyuka cokelat dan kucing ini bisa ditemui di akun Line, Ig, Wattpad: @heuladienacie
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata